***
Clarissa membawa langkah menuju ruang pribadi sang Ayah. Tak lama berselang, Clarissa sampai di ruang tersebut. Namun, ia tidak langsung masuk, melainkan malah berdiri mematung di depan pintu tersebut.
Berulang kali ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskan perlahan. Tanpa Clarissa sadari ada sebuah kamera cctv di pojok kirinya yang tengah mengabadikan gerak-geriknya saat ini.
Mungkin saja Clarissa lupa bahwa terdapat cctv di depan ruang pribadi Ayahnya ini.
Memberanikan diri menggenggam tuas pintu, Clarissa menekan perlahan, lalu mendorongnya hingga terbuka lebar.
Membawa pandangan ke arah sebuah meja kerja disana. Clarissa melihat kepada pria paruh baya yang merupakan Ayah kandungnya itu.
Menarik kedua sudut bibirnya hingga menghasilkan senyum manis yang jarang ditampilkan oleh Clarissa di depan orang lain.
“Daddy!” serunya sambil membawa langkah memasuki ruangan tersebut. Tidak lupa, Clarissa menutup pintu rapat-rapat.
Disana, Morgan mematikan layar ponselnya yang sejak tadi menyita perhatiannya. Ia beralih kepada sang putri sembari tersenyum. Morgan berdiri dari duduknya dan menjauhi kursi kerjanya.
Merentangkan kedua tangan sebagai tanda permintaannya agar sang putri segera memeluk tubuhnya.
Clarissa pun dengan segera menghambur ke dalam pelukan hangat pria yang sangat amat disayanginya ini. Clarissa membiarkan telinganya menempel di dadaa sang Ayah sambil memejamkan kedua mata.
‘Jantung ini adalah bagian dari Adisson, Cla. Jangan pernah lupakan fakta ini.’ Clarissa membatin saat mendengar detak jantung sang Ayah.
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang membuka suara, Ayah dan anak itu hanya saling berpelukan erat. Keduanya sama-sama saling memejamkan kedua mata.
“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Morgan dengan suara pelan dan serak. Sedangkan kedua lengan besarnya semakin erat mendekap tubuh sang putri.
“Sangat baik, Dad.” Clarissa menjawab sembari menarik diri dan mengurai pelukannya dari sang Ayah.
Clarissa menengadahkan wajah menatap lekat wajah Ayahnya itu. Ia memaksakan senyum di bibirnya walaupun sebenarnya hatinya sangatlah perih.
“A-Aku baik-baik saja. Seperti yang Dad lihat saat ini,” imbuhnya dengan suara yang sedikit terbata-bata.
Morgan bergeming. Ia hanya menatap lekat wajah putrinya. Memperhatikan setiap jengkal wajah cantik itu. Selang beberapa saat kemudian, Morgan membuka suara.
“Axel melakukan sesuatu padamu?” tanyanya, dan melihat sang putri menggelengkan kepala. “Jangan berbohong, Nak. Tidak mengapa, katakan saja yang sejujurnya,” imbuhnya.
“Saat ini aku berkata jujur, Dad. Axel tidak melakukan hal buruk apapun kepadaku. Dia tidak melakukannya sama sekali. Bukankah Dad melihat sendiri bagaimana kondisiku saat ini?”
Morgan terdiam.
“Demi Tuhan, aku baik-baik saja,” tambah Clarissa berusaha meyakinkan sang Ayah.
Tak tahan lagi karena kedua matanya semakin memanas, akhirnya Clarissa kembali memeluk tubuh kokoh Ayahnya itu.
Memejamkan kedua mata dengan erat. Clarissa berusaha menahan cairan bening yang terus mendesak keluar dari kedua netranya. Namun sayangnya, ia tak sanggup lagi dan akhirnya membiarkan cairan tersebut mengalir di pipi.
Berusaha meredam isak tangis. Clarissa berhasil, namun tidak dengan getaran pada bahunya.
Morgan merasakan itu. Ia tahu sang putri menangis. Morgan hanya mampu mendekap erat tubuh putrinya, tanpa mampu berucap sepatah kata pun.
Lidahnya terasa kelu, ditambah lagi dadanya semakin sesak ketika merasakan gerakan pada bahu sang putri semakin terasa kencang.
“Menangislah, Nak.” Hanya kalimat itu saja yang Morgan lontarkan. Hingga akhirnya isak tangis Clarissa pun terdengar.
“Maaf, Nak. Dad minta maaf,” gumam Morgan juga merasakan rasa panas pada kedua matanya. Sehingga, ia ikut memejam erat sama seperti putrinya.
Clarissa masih disibukkan oleh isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Dan selang beberapa saat kemudian, Clarissa pun menyudahi dan mengurai pelukan dari Ayahnya.
Membiarkan tangan lebar itu menangkup kedua pipinya, sambil menyeka lelehan air mata di pipinya.
“Aku bersedih karena sebentar lagi aku akan berpisah dari kalian,” ucap Clarissa, “ya, aku menangis karena hal itu, Dad,” imbuhnya.
Morgan terdiam. Ia sadari jika apa yang barusan putrinya katakan bukanlah kebenarannya. Sedangkan tangannya terus menyeka air mata yang mengalir tiada henti di pipi putrinya itu.
“Aku … Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau aku akan berpisah dari kalian. Rasanya aku belum siap. Tapi aku sadar, jika semua ini sudah menjadi konsekuensi bagi seorang wanita yang telah menikah,” kata Clarissa lagi.
Menghela napas, “Apa pun yang kamu rasakan sekarang, dan apapun yang tengah kamu alami, Dad hanya ingin bilang, kamu tidak sendiri, Nak. Apapun keputusanmu ke depannya, Dad adalah orang pertama yang akan memberimu dukungan. Jangan pernah berpikir bagaimana pandangan orang lain terhadapmu, Nak. Cukup kamu ingat bahwa di belakangmu ada Dad yang selalu mendukungmu,” ucap Morgan.
Kalimat yang barusan ia lontarkan itu semakin membuat Clarissa terisak. Dan hal itu juga yang membuat Morgan yakin bahwa alasan yang diberikan oleh putrinya barusan adalah kebohongan.
Morgan kembali membawa tubuh ramping itu ke dalam pelukannya. Ia mendekap lebih erat daripada sebelumnya.
‘Dad tahu kamu sakit, Nak.’ Monolog Morgan dalam hati.
‘Aku lelah, Dad. Aku lelah, tapi aku harus tetap kuat.’ Clarissa pun sama seperti Ayahnya. Hanya mampu membisikan kalimat-kalimat tersebut dalam hatinya.
••••
Beberapa saat kemudian…
Puas menumpahkan tangis yang ia bendung sejak semalam dalam pelukan sang Ayah, akhirnya Clarissa dan pria paruh baya itu memutuskan untuk keluar dan menuju ruang keluarga.
Sesampainya disana, Clarissa langsung menyapa semua keluarganya dan juga Grandpa dan Grandmanya.
Sementara Morgan sama sekali tidak menyapa Axel. Ia tidak peduli walaupun sang istri terus menatapnya sebagai tanda jika wanita itu keberatan atas sikapnya yang dingin terhadap sang menantu.
Celine hanya tidak enak hati terhadap besannya. Namun, sayangnya Morgan tak mengindahkannya.
Sampai pada akhirnya Axel datang dengan sendirinya untuk menyapa pria yang merupakan mertuanya itu.
Morgan menyambut biasa saja. Ketika Axel memeluknya, Morgan sama sekali tak membalas dan membiarkan kedua tangannya menggantung di sisi tubuh.
Selama duduk bersama di ruangan tersebut, Morgan tak banyak melihat ke arah menantunya yang duduk bersisian dengan putrinya.
Bukan karena Morgan tidak suka, namun ia hanya mencemaskan dirinya sendiri. Ia takut gelap mata dan lepas kendali menghajar Axel detik itu juga.
Setiap Morgan mengingat isak tangis pilu putrinya saat lalu, membuatnya semakin bernafsu untuk menghabisi pria yang merupakan menantunya itu.
“Sayang, apa Morgan tidak menyediakan pengawal untuk menjaga Clarissa dan Axel? Mengapa bisa ada orang yang mengganggu mereka sampai membuat Axel terluka seperti itu?” tanya Sally kepada suaminya dengan suara pelan.
Terdiam. Jordhan tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya. Ia melihat sebentar ke arah cucunya Clarissa. Melihat perempuan itu duduk bersisian dengan suaminya sambil tertawa kecil ketika di goda oleh bibi-bibinya disana.
Menghela napas. Jordhan beralih pada istrinya. Memandang lekat wajah wanita yang sangat dicintainya itu.
Sally mengerti akan rasa bimbang yang dirasakan oleh suaminya itu, “Bukan orang jahat, ‘kan?” tanyanya. Lebih tepatnya ia menebak apa yang tengah bersarang dalam benaknya saat ini.
Dan benar saja, Sally melihat suaminya itu menggelengkan kepala. “Ya Tuhan…” Sally bergumam pelan seraya menampilkan wajah cemas.
“Aku tidak tahu persis apa yang sudah terjadi diantara mereka. Aku hanya mendapat laporan dari Lucas. Dia bilang Clarissa mampu menghadapinya. Hanya itu, dan aku menyimpulkan bahwa luka di kening Axel adalah ulah Clarissa,” ungkap Jordhan. Membuat Sally mendesah pelan.
Beberapa saat kemudian, Clarissa bangkit dari samping suaminya. Ia menuju dapur hendak mengambil minum. Dan kini, Clarissa sudah berada di dapur bersama dua orang pelayan disana.
“Cla!” seru seseorang.
Clarissa menoleh sebentar; melihat pada pemilik suara yang barusan menyapanya. Rupanya orang itu adalah sahabat kakak sepupunya Maureen.
“Terima kasih,” ucap Clarissa setelah beralih pada pelayan karena telah menuangkan air untuknya.
Pelayan itu membalas. Lalu bertanya, apakah Clarissa menginginkan sesuatu yang lain atau tidak. Dan perempuan itu menjawab jika ia hanya ingin minum saja.
Sang pelayan pun bergegas menyingkir disana; meninggalkan Clarissa dan seorang wanita yang memiliki nama Amber.
“Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Amber sembari menatap lekat wajah Clarissa dari samping.
Sebelum menjawab, Clarissa meneguk cairan bening di dalam gelas di tangannya terlebih dahulu. Setelahnya selesai, ia menyimpan kembali gelas tersebut ke atas meja.
Clarissa memiringkan posisi tubuh supaya bisa melihat wajah Amber dengan jelas, “Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya sambil mengangguk pelan. Melihat Amber tak bergeming, pun Clarissa mengulas senyum tipis di bibir.
Clarissa cukup dekat dan akrab dengan Amber, sejak wanita itu belum menikah hingga kini sudah memiliki suami dan anak. Clarissa lebih dekat dengan Amber dibandingkan dengan kakak sepupunya Maureen.
Menurut Clarissa, Maureen terlampau menyebalkan, dan wanita itu cocok bersama saudari kembarnya Caroline.
“Tapi wajah suamimu babak belur, Cla. Kamu menghajar dia?” tanya Amber menatap serius pada Clarissa.
Wanita ini meskipun sudah bersuami, tetapi polosnya yang melampaui batas tak pernah hilang. Membuat Clarissa terkadang gemas sekaligus kesal padanya.
“Tidak. Mana mungkin aku menghajar suamiku sendiri. Kan sudah aku jelaskan tadi, kalau kami sempat diganggu oleh orang yang tidak dikenal,” jawab Clarissa.
“Tapi masalahnya aku tidak percaya, Cla. Bukankah selalu ada pengawal? Bagaimana mungkin kalian bisa diganggu oleh orang yang tak dikenal? Kamu jangan bohong sama kakak. Kamu yang hajar Axel, ‘kan?” desak Amber lagi.
“Kamu terlalu banyak mau tau, Kak Amber!” kesal Clarissa merasa jengah.
“Ih, namanya juga orang penasaran, Cla. Ya wajar saja. Kamu apakan dia, hm? Sampai babak belur begitu?” Amber semakin penasaran.
“Aku pukul pakai meja. Aku juga menembaknya, tapi meleset,” jawab Clarissa dengan enteng. Seolah-olah yang barusan di ceritakan itu bukanlah masalah besar.
Amber seketika meringis ngilu saat mendengar jawaban Clarissa, “Ya Tuhan … kamu serius? Cla, kamu tidak bergurau bukan?”
“Aku serius,” jawab Clarissa seraya mengedikkan bahu, “dia menyebalkan, makanya aku hajar dia habis-habisan,” imbuh Clarissa. Lagi-lagi membuat Amber meringis.
“Kamu kejam sekali, sih, Cla. Ya Tuhan … Kan kasihan dia, mana tampan begitu. Hot pula. Iya, ‘kan?”
Mengangguk. “Iya, dia hot di mata orang berotak mesumm seperti kamu,” jawab Clarissa.
Amber membulatkan kedua mata. Dengan segera melihat ke arah pintu dapur. Ia takut jika ada orang yang mendengar ucapan Clarissa tadi yang mengatai dirinya mesumm.
“Hati-hati didengar oleh suamimu kamu memuji pria lain,” ucap Clarissa memperingati Amber.
“Ish, makanya kamu jangan keras-keras kalau bicara, Cla. Bisa-bisa suamiku berubah jadi kera. Si manusia bulu itu, ‘kan, pencemburu!” ketus Amber.
Clarissa terkekeh mendengar julukan Amber untuk suami sendiri.
“Kalau suamimu tidak begitu berbulu. Tapi dia besar macam gorilla, Cla. Sedangkan badan kamu kecil macam sapu lidi,” ucap Amber.
Clarissa terdiam; menatap datar pada Amber.
“Tapi kamu tenang saja. Nanti aku ajarkan bagaimana caranya menaklukan pria menyebalkan macam Eksel,” tambah Amber.
“Namanya Axel!” ralat Clarissa dengan ketus.
“Tau. Tapi aku suka panggil dia begitu. Soalnya dia playboy.” Amber menyengir. “Mau aku sharing ilmunya tidak? Ini manjur sekali, Cla. Aku jamin dia akan bertekuk lutut kepadamu,” ucap Amber menggebu-gebu.
“Apa? Nonton bokep?!” Clarissa mengangkat sebelah alis.
“Ya Tuhan!” Amber meringis lagi. Ia mengeplak gemas lengan Clarissa, “Bukan ih! Kamu selalu saja berburuk sangka.”
“Ya, mau bagaimana lagi, bokep, ‘kan favorit kamu dan Caroline,” sahut Clarissa membalas.
“Clarissa! Jangan suka bongkar aib orang, itu tidak sopan namanya, astaga!” geram Amber.
Clarissa memutar malas kedua Bola mata sembari mengibas tangan ke udara, lalu meninggalkan Amber sendirian disana. Membiarkan wanita itu menggerutu tiada henti.
“Padahal dia juga ikut menonton. Tidak hanya aku dan Caroline saja. Dasar Clarissa, gengsian! Tidak mau mengaku kalau dia juga termasuk kaum pecinta bokepp juga!” gerutu Amber sambil membawa langkah keluar dari dapur itu. Menyusul Clarissa yang sudah kembali ke ruang keluarga.
***