***
“Aku memperingatimu karena aku peduli padamu, dan juga karena hubungan baik kita. Jadi, aku sarankan dari sekarang, sebaiknya urungkan niat burukmu terhadap Clarissa, Axel.”
Axel sontak menoleh ke samping kiri; memandang wajah pria yang saat ini tengah berdiri dan menatap lekat padanya. Pria yang usianya terpaut beberapa tahun lebih tua darinya ini merupakan sahabat baiknya.
Pria tersebut adalah Gerald Deville, suami dari Jesslyn bibinya Clarissa.
“Kau berkata seperti ini karena istrimu adalah Bibi dari Clarissa bukan?” ucap Axel dengan suara terdengar sarkas.
“Alasan pertama memang itu. Kedua, karena aku sangat mengenal bagaimana keluarga ini, dan yang ketiga karena aku peduli padamu,” balas Gerald.
Membuang nafas kasar. “Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana rasa kecewa yang aku rasakan terhadap keluarga ini,” ucap Axel sembari menarik pandangan dari Gerald dan menatap lurus ke arah depan seperti semula.
Saat ini Axel dan Gerald juga berada di teras belakang Mansion dekat dengan taman tempat Clarissa dan Jesslyn berada.
Namun, kedua wanita itu tidak bisa melihat keberadaan Gerald dan Axel. Tetapi kedua pria itu bisa melihat mereka.
“Aku mengerti bagaimana rasa kecewamu. Tapi, yang perlu kau ingatkan, dalam kejadian ini bukan Clarissa yang bersalah, tapi Gabriel yang telah membawa kabur calon pengantinmu. Seharusnya kau melampiaskan amarahmu kepada Gabriel, bukan kepada Clarissa,” ucap Gerald berusaha memberi pengertian kepada Axel, serta membuka jalan pikiran pria itu.
“Jika aku menyakiti Clarissa, bukankah itu sama saja dengan aku menyakiti Gabriel? Pria itu pasti akan merasa bersalah seumur hidupnya!” tangkas Axel.
“Tapi konsekuensinya jelas berbeda, Xel. Kumohon jangan jadi pria bodoh. Coba kau lihat, belum apa-apa kau sudah dibuat babak belur oleh istrimu sendiri,” menjeda kalimatnya, Gerald mengedikkan bahu. “Ya, meskipun aku tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian. Tapi, jika dilihat dari luka-luka yang kau dapatkan ini, sepertinya Clarissa hanya mengerahkan setengah dari tenaga yang dia punya,” sambung Gerald sambil mengangguk pelan, “Ya, hanya setengah, belum sepenuhnya, Xel. Bisa kau bayangkan bagaimana bahayanya wanita itu jika dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawanmu?”
Terkekeh pelan setelah menatap kembali kepada Gerald. Kemudian, Axel mengibas tangan ke udara, “Sekuat apapun Clarissa, dia tetap seorang wanita yang lemah!”
Kali ini Gerald benar-benar tertawa. Bukan merasa lucu terhadap ucapan yang dilontarkan Axel barusan. Tetapi, dia menertawakan kebodohan sahabatnya ini.
“Axel, Axel. Aku berbicara seperti ini kepadamu berdasarkan pengalaman, karena mau bagaimanapun wanita yang aku jadikan istri itu adalah bagian penting dari keluarga Blaxton. Walau dia tidak menyematkan nama Blaxton di belakang namanya, tapi di tubuhnya mengalir deras darah mereka. Jesslyn tidak jauh berbeda dari Clarissa. Tapi jika dilihat, Clarissa sedikit lebih berbahaya dari Jesslyn. Itu sebabnya aku memperingatimu dari jauh-jauh hari sebelum kau menyesal,” ucap Gerald.
Kali ini Axel terdiam dan kembali menatap serius pada Gerald.
“Clarissa bukan Caroline yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi menuruti apa yang diinginkan oleh Ayahnya, yaitu dijodohkan denganmu. Ya, Caroline melakukannya karena dia tidak ingin mengecewakan Ayahnya, bukan karena Caroline mencintaimu. Maaf, jika aku harus berkata seperti ini. Tapi, berbeda dengan Clarissa. Jika perempuan itu tidak menginginkannya, maka dia tidak akan pernah mau mendengarkan ucapan siapapun. Dan itu tidak mudah, Axel. Bukan sesuatu yang mudah menghadapi wanita yang berwatak keras seperti Clarissa. Kau harus menyiapkan mental mu sekuat mungkin,” ucap Gerald.
“Baiklah, aku berterima kasih kepadamu karena kau sudah memperingati ku seperti ini. Kita lihat saja nanti, aku yang gila atau malah sebaliknya,” ucap Axel sambil membawa pandangan ke arah sana; melihat Clarissa dan Jesslyn duduk di kursi taman.
Gerald hanya mampu menghela nafas pelan. Sahabatnya ini cukup keras kepala dan susah dikasih tahu. Sehingga, dia pun memilih mengalah.
Terserah Axel saja, apa yang mau dilakukan oleh pria itu. Yang terpenting dia sudah mengingatkan pria itu dari jauh-jauh hari.
Usai berbicara dengan Axel, pun Gerald meninggalkan pria itu di sana dan membawa langkah menghampiri istrinya.
“Baby Jess," seru Gerald memanggil istrinya; membuat kedua wanita itu seketika menoleh ke arah belakang dan melihat kepadanya.
“Ya, ada apa?” tanya Jesslyn seraya mendongak menatap Gerald yang saat ini tengah berdiri di sampingnya.
Gerald melirik sebentar pada Clarissa. Lalu beralih pada istrinya. “Sudah hampir jam dua belas, aku sudah tidak tahan,” ucapnya terdengar ambigu. Gerald terkekeh pelan saat melihat Clarissa mendengus. Sementara istrinya hanya memutar malas kedua bola matanya.
“Di sini terlalu ramai dan berisik, Baby. Walaupun terdapat banyak kamar kosong, aku yakin kita tidak akan bisa menikmatinya. Jadi, aku pikir sebaiknya kita pulang saja, hm?” sambung Gerald semakin menjadi-jadi.
“Haah!” Jesslyn mendesah kasar. “Pria ini sungguh gatal dan murahan sekali!” gumamnya sehingga membuat Gerald tertawa pelan dan Clarissa hanya mengulum senyum.
“Cla, boleh aku membawa wanita cantik ini pulang?” tanya Gerald pada Clarissa. Merendahkan tubuhnya, lalu mengecup mesra pipi kiri Jesslyn di depan Clarissa.
Clarissa mengangguk pelan, “Ya, silakan. Siapa tahu sebentar lagi kalian akan punya anak lagi,” jawabnya sembari mengedikkan bahu cuek.
“Oh tentu saja, Cla. Satu saja tidak akan cukup. Deville masih ingin mencetak baby boy yang banyak. Bukankah begitu, Baby Jess?” Gerald menarik pandangan dari Clarissa, dan beralih pada Jesslyn.
Jesslyn mendengus. Lama-lama dia mulai jengah dengan tingkah suaminya ini. Sedangkan Clarissa hanya terkekeh pelan. Dia sudah terbiasa dengan tingkah tengil Gerald. Pria itu senang sekali menggoda istrinya, tanpa melihat situasi dan kondisi.
Setelah itu, Jesslyn pun berpamitan kepada Clarissa, dan dia langsung dibawa pulang oleh suaminya. Sementara Clarissa masih di sana, duduk di kursi taman itu sendirian sambil termenung.
Hampir 20 menit Clarissa menghabiskan waktu sendirian di sana. Tiba-tiba dia tersentak kaget saat seseorang mendaratkan b****g di sampingnya.
“Aku mencarimu sejak tadi, rupanya kau di sini,” ucap Axel tiba-tiba. Padahal yang dikatakannya itu adalah bohong, sebab sejak dia berbicara dengan Gerald tadi, dia juga melihat keberadaan istrinya di tempat ini.
“Buat apa kamu mencariku?” tanya Clarissa sambil menoleh ke arah Axel.
“Aku lelah dan mengantuk. Dan aku tidak tahu di mana letak kamar tidurku berada,” jawab Axel.
“Kamu bisa langsung naik ke lantai 2. Setelah dari tangga, kamu terus jalan lurus saja. Masuklah ke salah satu kamar di sana,” ucap Clarissa memberitahu.
“Kamar kita berdua?” tanya Axel.
“Kamarmu sendiri,” jawab Clarissa.
“Mengapa tidak berdua saja?” Axel mengangkat sebelah alis.
“Untuk apa berdua?” Clarissa berbalik melempar pertanyaan.
Axel mengedikkan bahu, “Mungkin kita bisa saling memberi kehangatan?”
“Mungkin bukan kehangatan yang akan kamu dapatkan, melainkan tulangmu yang akan patah-patah,” timpal Clarissa.
Axel terkekeh pelan. Ia memandang gemas pada Clarissa.
“Saat ini kita masih didalam ruang lingkup keluargamu, Cla. Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa kita harus menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya?” tanya Axel.
“Yang harmonis dan romantis, begitu maksudnya?!” Clarissa balik bertanya dengan nada sinis.
“Oh, ya tentu saja,” jawab Axel.
Mendesah pelan, “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku akan mengizinkanmu untuk tidur di kamarku.” Clarissa menggeser tubuhnya semakin rapat ke arah Axel. Ia membawa tangan kanannya ke arah wajah pria itu, lalu membelai lembut rahang tegas yang ditumbuhi oleh bulu-bulu khusus di sana. “Kebetulan, tadi aku sempat melihat kamar tidurku sebentar. Dan rupanya Mom Janeeta dan Mom telah membuat dekorasi yang indah di sana. Itu artinya mereka mengharapkan kita bermalam di tempat itu. Dan, aku tidak menyangka kalau kamu tertarik melakukannya. Kenapa, Axel? Kamu tidak tahan lagi?”
Dalam hati, Axel menggeram. Apalagi jari-jari lentik itu aktif membelai lembut permukaan bibirnya.
Menjauhkan jari-jarinya dari permukaan bibir Axel, Clarissa menarik pandangan dari pria itu, kemudian menatap lurus ke arah depan. “Sejujurnya, aku paling tidak suka memiliki pasangan hidup yang tidak punya prinsip,” ucap Clarissa.
“Apa maksudmu?” tanya Axel.
“Seorang pria yang membenci wanitanya, dia tidak akan sudi menyentuh apalagi menginginkan. Tapi berbeda sama kamu. Digoda sedikit saja, kamu langsung tegang! Milikmu ereksi! Mengapa dia murahan sekali?” hina Clarissa.
“Apa bedanya denganmu?” Axel balik melempar pertanyaan dengan sinis.
“Kenapa denganku? Aku murahan? Perasaan aku tidak ada menggodamu, apalagi menginginkanmu sedikitpun. Bahkan, aku tidak merasakan kedutan apapun pada milikku ketika melihatmu dengan jarak dekat seperti ini.” Clarissa mendekatkan wajah, lalu menempelkan bibirnya di atas permukaan bibir Axel. Dia menyapu permukaan bibir pria itu dengan lidah hangatnya.
Ketika Axel hendak menahan tengkuknya, Clarissa dengan segera menarik diri, sehingga membuat pria itu menggeram karena gagal melumat bibirnya.
“Jangan permainkan aku, Clarissa!”
“Aku tidak melakukan apapun, Addison. Lantas, bagaimana mungkin kamu sanggup menuduh ku mempermainkanmu?” Clarissa memandang wajah suaminya dengan ekspresi biasa saja. Membuat pria itu semakin mengeraskan rahang.
Clarissa mengedikkan bahu. Ia tak peduli dengan rasa kesal suaminya itu. Kemudian, Clarissa bangkit dan berdiri dari duduknya. Hendak meninggalkan Axel disana.
Namun, dengan segera Axel menyambar pergelangan tangan Clarissa, sehingga membuat perempuan itu hilang keseimbangan tubuh dan jatuh diatas pangkuannya.
“Ax… Hhmmpphh…”
Tak memberi kesempatan, Axel langsung melumat dengan rakus bibir ranum Clarissa. Ia menekan tengkuk perempuan itu dan semakin memperdalam lumatannya pada bibir Clarissa. Sehingga membuat Clarissa tak berdaya di bawah kuasanya.
***