Chapter 3

1246 Words
“Aku tahu namamu karena aku bisa membaca data seseorang melalui mata mereka. Untuk itu, kita perlu bertatapan agar aku bisa membaca datamu.” Gadis itu masih melanjutkan kalimatnya. Dan kali ini ia menggunakan bahasa Kangton. Sementara Alan, pria itu kelihatan semakin bingung. Entah bahasa apa yang sedang gadis itu ucapkan pun dia tidak paham tahu dari negara mana? Ya ampun, Alan jadi merasa sedang berada di kelas internsional. Itu menurutnya, tidak banyak-banyak kok. Dan, andai saja Alan bisa mengetahui makna dari ucapannya. Hmm ... sayang sekali. “Bisakah kau membantuku kembali ke asalku? Kata yang menciptakanku, bumi manusia tidak sebaik tempat tinggalku. Dan, oh ya aku ingin tahu apakah penciptaku masih hidup. Aku merindukannya George, bantu aku kembali. Aku berjanji tidak akan menyusahkanmu.” Kali ini dengan bahasa Thailand. Yeah, Alan tahu dari logat dan bunyinya tapi tidak dengan artinya. Maka yang bisa dilakukannya kali ini hanya membuka mulutnya kecil. “George-” Sekali lagi Alan melihat ada kilatan merah di mata gadis itu. Suaranya pun mulai tersendat-sendat. Alan jadi merasa was-was. “He-hei, jangan bercanda!” “Aku bukan manusia-” Pancaran matanya meredup, dan kalimatnya terhenti. Dan berakhir dengan bahasa Inggris. Alan tahu artinya, dia juga dengar kalimat yang wanita itu sampaikan sebelum nonaktif. “Astaga, hei! hei!” Setelah bunyi klik yang cukup keras, gadis yang mengaku bukan manusia ini pun hampir tumbang di tanah. Namun, cepat Alan tangkap terlebih dahulu. "Apa-apaan ini. Dia mengaku bukan sebagai manusia tapi, tubuhnya menunjukkan kebalikkannya. Kulitnya seperti kulit manusia pada umumnya, rambutnya pun rambut sungguhan. Aku sempat berpikir mungkin gadis ini adalah robot? Tapi, kalau robot seharusnya berat badannya sangat berat. Karena organ penyusun dari tubuh robot adalah besi, kabel, dan lapisan-lapisan lain yang memiliki berat hingga ratusan kilo. Tapi, ini apa? Tubuhnya bahkan sangat ringan sekali." “Gadis aneh pembohong!" omel Alan. *** “Halo, ada apa, And?” “Hei, Alan semprul! Kau bilang mau menungguku. Mana? Kau pulang kan?! Dasar tidak setia kawan!” Suara Andrew di seberang sana terdengar sangat menggelegar. Membuat Alan segera menjauhkan ponselnya dari telinganya. “Maaf, And. Kau lama sekali, perutku sakit. Kau di mana?” “Di rumah, baru saja sampai. Benzie meneleponmu sejak tadi tapi tidak kau angkat-angkat. Kau mau dipecat ya?” Aku meringis dalam diam. Pasti karena meladeni gadis aneh ini tadi sampai aku lupa mengaktifkan nada dering ponselku yang kuubah menjadi silent selama bekerja. “Ada apa Benzie meneleponku?” “Ck, masih baik nasibmu, kalau hari ini adalah hari sialmu. Kupastikan kau akan segera kembali ke kampungmu. Si Bensin itu memintamu menjadi partnernya dalam presentasi besok dengan Mr. Jazz.” “Mr. Jazz akan berkunjung?” “Hu’um, buat laporan sebaik mungkin kalau tidak mau kena pecat. Berhati-hatilah besok siang, bisa saja kau kena damprat si Bensin itu.” “Ck, ya ampun, aku lupa mengaktifkan mode suara pada ponselku tadi, And. Bagaimana kalau besok aku kena pecat?” “Siap-siap saja mencari pekerjaan yang lain. Lagi pula kau ini ke mana ha? Tidak biasanya lupa menyetel ulang ponselmu.” “Ada urusan mendadak,” jawab Alan berdusta. Tidak mau mengatalan yang sebenarnya kepada Andrew. Jika dia mengaku, Alan bingung apa yang harus dikatakan lagi setelah itu? Mata Alan berlari melirik ke arah seorang gadis yang sedang tergeletak di atas sofa ruang tamu rumah kosnya. Ya, Alan memutuskan membawanya pulang. “Sangat penting?” “Tidak juga, tidak penting sama sekali malah. Hanya sedikit kasihan.” “Tidak jelas. Persiapkan saja sana bahan presentasimu buat besok. Aku mau lanjut sketching.” “Kau masih mengerjakan proyek abal-abalmu itu?” “Robotku, Alan. Jaga mulutmu, kudoakan kau sungguhan dipecat besok di kantor.” Malas, Alan segera menutup sambungan suara nirkabel tersebut. Tak lama, kembali Andrew meneleponnya dan ia reject. Karena menurutnya tidak penting menanggapinya, sama seperti gadis aneh ini. “Lihat, sekarang dia teronggok tidak berguna seperti ini. Menyusahkan saja." Alan segera berlalu begitu saja. Tidak mau ambil pusing dengan gadis itu. "Kalau sudah puas tidur, dia pasti akan bangun. Lebih baik sekarang aku mandi dan merilekskan sejenak tubuh dan otakku. Masih ada tugas kuliah yang harus kukerjakan dan mempersiapkan bahan presentasi untuk di kantor." Alan segera memasuki kamar mandi dan berendam di dalam bath up. Menyetel siaran radio sembari memejamkan mata. Kebiasaan ini rutin ia lakukan selama 15 sampai 20 menit sebelum mengerjakan tugas-tugasnya lagi. "Beberapa urat syarafku juga perlu diistirahatkan," monolognya. Waktu hampir memasuki sepertiga malam. Pukul 1 dini hari, dan Alan masih berendam. Beginilah kalau lembur datang dan tidak bisa terelakkan. Kemungkinan dirinya tidak akan tidur sampai pukul empat pagi nanti, banyak tugas yang menuntut. Untung saja, besok dia tidak ada kelas pagi. Hanya dua mata pelajaran. “Big news big news! Seberkas cahaya kemerahan tampak melintasi langit Indonesia sore ini. Diperkirakan lintasan tersebut membuat bekas sepanjang 16 km pada ketinggian 3000 kaki di atas permukaan laut. Hal ini menyebabkan penuturan seorang scientist Jerman Prof. Hansel Arnold yang mengatakan akan ada benda langit jatuh, menjadi trending topik dunia. Dan kali ini, negara kitalah yang berkesempatan melihat bekas lintasan meteor itu jatuh ke bumi. Saat ini, para peniliti kebanggaan kita sedang mencari jejak jatuhnya meteor tersebut. Beberapa unit-” Nada dering ponsel Alan berbunyi, nama Fabian tertera di sana. “Kakak, cepat buka televisi. Ada meteor jatuh, lintasannya indah sekali. Kakak pasti tidak akan menyesal. Aku saja suka sekali melihatnya, warnanya merah keviolet-violetan. Cantik kak.” “Iya, Bian. Kakak sudah melihatnya. Benar, indah sekali.” “Aku hanya ingin memberi kabar itu saja, Kak. Yasudah kalau Kakak sudah melihatnya, Fabian tutup ya.” Sambungan telepon pun berakhir. Yang itu tadi, Fabian, adik nomor dua Alan. Alias anak bungsu di keluarga mereka. Fabian masih berusia 16 tahun. Dia tidak begitu tertarik dengan planet, benda-benda langit, meteor, atau sejenisnya. "Kenapa ya mendengarnya seantusias ini membuat senyumku mengembang lebar," ucap Alan senang. Berbeda dengan Fabian, Zain adiknya yang pertama. Saat ini usianya memasuki angka ke 19 tahun, sedang duduk di bangku sekolah menengah di tingkat akhir. Sama seperti Alan, Zain juga cukup tertarik sedikit dengan planet-planet dan tata surya. Hanya sedikit, tidak sebesar dirinya. Kembali ponsel Alanberbunyi, kali ini ada nama Andrew yang terpampang di layar ponselnya. “And, halo? Kau sudah lihat berita? Bravo bravo! Prediksi itu benar, ya ampun bisa tidak aku cepat-cepat jadi seorang peneliti saja,” hebohnya. “Luar biasa, amazing. Demi mikroba, ini mengagumkan. Lihat bekas lintasannya, Al. Lebih indah dari mantan kekasihku dua hari lalu.” Ternyata Andrew lebih heboh dari Alan. “Aku sudah melihat lintasannya. Tapi, bukankah itu agak aneh?” “Aneh? Apanya yang aneh? Itu mengangumkan, Al.” Tapi, pikiran Alan tidak berkata begitu. Ada yang mengganjal dari bekas lintasan tersebut. Sejujurnya dia juga tidak tahu tapi, dalam hati terkecilnya itu agak aneh. Tidakkah lintasannya semakin diperhatikan semakin aneh? Dan entah kenapa pula, Alan teringat ucapan gadis yang ia anggap aneh itu tadi. Semua yang gadis itu ucapkan membuatnya kepikiran, tidak tenang. Apalagi dia mengatakan dirinya bukan manusia, datang dari masa depan? “Makhluk luar angkasa?” gumam Alan. “Apa, Al?” tanya Andrew di seberang sana. Alan lupa sambungannya masih terhubung. “Ah ... Tidak ada apa- apa.” Mungkinkah semua yang gadis itu jelaskan tadi adalah kebenaran? Tapi, rasanya Alan tidak bisa menerima ucapan itu adalah bukti mengingat bagaimana struktur tubuhnya yang sangat normal seperti manusia pada umumnya. Namun, ada satu hal yang sempat terlihat mengusik rasa ingin tahunya. Yaitu d bagian belakang leher gadis itu terdapat sebuah benda asing yang terasa keras, dari strukturnya seperti tombol?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD