Menunggu adalah hal yang sangat-sangat membosankan, tiga puluh menit telah berlalu semenjak Andrew menyuruhku untuk menunggunya yang sedang asik berkencan. Memang dasar anak biawak.
Bosan duduk diam di dalam, aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar mencari udara segar. Bukankah aku teman yang sangat baik? Mana ada orang lain yang sudi menunggu temannya yang sedang berkencan.
Letak cafe ini pun cukup strategis, di tengah pusat kota yang langsung menghadap sungai yang membentang luas sekitar 800 meter di depan sana. Ada jembatan luas yang tak kalah indahnya. Jembatan yang sangat indah dipenuhi kerlap-kerlip lampu berwarna-warni.
“Panorama yang menakjubkan,” ucapku.
Pandangan di depanku ini sangat memanjakan mata. Rasa lelahku setelah seharian ini kuhabiskan untuk belajar dan bekerja pun terangkat begitu saja. Luar biasa.
Namun, di tengah keindahan itu aku melihat siluet manusia yang sedang duduk di atas pembatas jembatan. Tangannya merentang lebar, dan kepalanya menunduk seperti menatap ke arah air sungai dengan jelas. Meski tidak jelas tapi, pantulan cahaya dari lampu-lampu tersebut meyakinkan penglihatanku.
Sedetik kemudian, aku tersadar. Astaga, jangan-jangan ...
Aku terbirit menuju mobil dan mengendarainya dengan brutal ke arah orang tersebut.
“Hey!!! Jangan lompat!” teriakku.
"Ya Tuhan, zaman sekarang masih ada ya orang mau bunuh diri di sungai?!" Dengan cepat kutahan lengan gadis tersebut.
“Bunuh diri? Apa itu?” tanyanya.
“Jangan bercanda, Nona. Ikut aku!” Kutarik lengan gadis itu hingga ia turun dari posisinya yang nangkring di atas pembatas jembatan. Kududukkan dia di bangku dekat sungai.
“Maaf, Nona. Kalau kau mau bunuh diri jangan di sana. Di tempat lain saja. Lagi pula kau ini kenapa harus bunuh diri? Manusia tidak mengerti bersyukur,” emosiku.
Namun, yang kudapati hanya tatapan kosong gadis itu. Sesekali matanya mengerjap dan ada yang ganjil dari mata itu. Lensanya berwarna biru, apa mungkin dia orang asing?
“Siapa namamu?” Saat kutanyai pun dia hanya mengerjap beberapa kali.
“Nama? Aku tidak punya nama,” jawabnya.
Apa-apaan dia ini.
“Tempat tinggal?”
“Tempat tinggalku bukan di sini.”
Sekuat hati aku mencoba bersabar agar tidak mendorong gadis ini ke dalam sungai. Bisa-bisa jadi buronan diriku kalau benar sampai melakukan hal itu.
“Aku tau, mana mungkin kau tinggal di dalam air. Maksudku, rumahmu di mana?”
“Mana aku tau.” Jawaban itu membuatku murka. Astaga, aku kesal sekali.
“Jadi, apa yang kau lakukan di atas pembatas jembatan tadi?”
“Tidak ada, hanya melihat-lihat saja,” jawabnya santai.
Oh, kesabaran, memang benar diciptakan kata sabar untuk menghadirkan kejengkelan. Ya, aku sedang jengkel setengah hidup.
“Ini sudah jam sebelas malam, lihat! Jalanan di jembatan itu saja sudah lengang. Kau tidak takut hantu? Atau diculik?”
Astaga, aku baru sadar. Jangan-jangan gadis inilah hantunya. Aku menepuk dahiku sendiri cukup keras, ya Tuhan, Alan kenapa kau ini bodoh sekali. Aku meringis melihat apa yang terjadi dengan diriku setelah ini. Apa hantu ini akan mencekikku?
“Alan George Ferdian, 22 tahun. Mahasiswa IT Universitas Ekadanta, Jakarta. Seorang pegawai Doujav Corp sejak tahun 2020. Memiliki tinggi badan 179cm, dan berat badan 68kg. Putra pertama dari pasangan Kevin De Shou dan Stefani Wijaya.”
Apa-apaan ini? Gadis ini penguntit?
“Ka-kau?”
“Hi, George. Senang bertemu denganmu.”
“George?” Aku mendadak tidak bisa bergerak. Dia memanggilku George? Dan apalagi ini, sekarang dia mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman.
“Kau ini apa?!” Suaraku naik beberapa oktaf.
Namun, gadis itu hanya memasang wajah datarnya.
“Tidak mau berkenalan, baiklah.” Ia menarik uluran tangannya yang tak kunjung kutanggapi.
“Aku ini the future, kau manusia,” ucapnya lagi.
Sel otakku semakin beku, the future? Manusia? Apa dia sedang menceritakan masa depan? Menjadi masa depanku begitu? Berarti benar, kalau gadis ini adalah penguntitku. Karena terlalu menyukaiku ia sampai mengaku-ngaku sebagai masa depanku. Begitukan?
“Heh! Jangan berhalusinasi. Aku tidak menyukaimu, jadi lebih baik sekarang kau pulang saja.”
“Aku juga ingin kembali tapi, rumahku di mana?”
Astaga, yang benar saja gadis ini. Kalau dia sendiri tidak tahu di mana rumahnya, bagaimana mungkin aku bisa tahu. Dasar gadis aneh.
“Kau tidak ingat di mana rumahmu?”
“Tidak.”
“Tidak ingat namamu juga?”
“Aku belum diberi nama.”
Hidungku sampai mengembang mendengar perkataannya. Yang benar saja orang ini!
“Mana mungkin. Baiklah, begini, kau berasal dari negara mana?”
“Tidak ada data,” jawabnya.
“Data apa, gadis aneh?! Yang kutanya asal negaramu, bukan data. Data apa, aku juga tidak mengerti!"
Bisa terkena stroke aku jika terus mengobrol dengan gadis ini. Ragaku sedang lelah dan kini, jiwaku juga ikut lelah menghadapi manusia aneh ini.
“Ck, terserahmu sajalah. Pulang sana, aku juga mau pulang.”
Aku mulai beranjak dari tempat duduk dan bersiap untuk pergi. Tapi, ucapannya membuatku merasa kasihan terhadapnya.
“Aku tidak tahu harus pulang ke mana.”
Dengan sisa-sisa kewarasanku yang hampir punah seluruhnya, aku kembali menatapnya. Bahkan wajahnya masih sedatar itu. Ya Tuhan, gadis ini benar-benar.
“Manusia aneh,” hardikku.
“Aku bukan manusia.” Mataku terbuka lebar mendapati sahutannya.
“Aku bukan manusia, George. Aku dan kau, kita berbeda. Aku ini the future yang datang dari masa depan. Dan aku belum memiliki nama.”
“Aku bisa berbicara 134 bahasa, kecerdasanku serupa dengan komputer. Aku diciptakan oleh manusia sementara manusia, diciptakan oleh Tuhan dari hasil perkawinan.”
Tunggu dulu, apa maksudnya ini. Apa dia sedang membodohiku?
“Kau bilang bisa berbicara 134 bahasa? Kalau begitu, tunjukkan padaku lima puluh di antaranya.”
Ya, tidak mungkin dia bisa berbicara lima puluh bahasa dari setiap negara. William James Sidis, panutanku saja tidak sebanyak itu.
“Lima puluh itu cukup banyak, dayaku bisa habis kalau dipergunakan berlebihan. Aku kehilangan charge-ku.”
“Halah, bilang saja kalau tidak bisa. Sudahlah, kau sudah kutolak. Menyerah saja, aku mau pulang,” kataku. Kemudian mulai melangkahkan kaki.
“Baiklah, George.”
“Alan, panggil aku Alan!”
“Jika mataku mengeluarkan sinar kemerahan, itu artinya dayaku habis. Dan aku akan mati, selamat tinggal.”
Yaya terserah kau saja gadis aneh. Mau habis atau tidak, aku tidak peduli. Memang dia pikir, dia itu ponsel yang perlu dicharge jka baterai sudah habis? Gadis aneh tukang kibul.
"Aku tidak tahu apakah ini bisa membuatmu percaya atau tidak, tapi aku sedang jujur. Seseorang yang menciptakanku berkata, aku dilarang berbohong." Gadis itu mulai berbicara dalam bahasa Spanyol.
Dari nadanya aku bisa mengerti yang artinya kurang lebih seperti itu.
Selanjutnya, dia mulai berkata dalam bahasa Jepang, Mandarin, Jerman, dan lainnya. Yang tentunya tidak bisa kupahami sedikitpun arti dari ucapannya tersebut. Yang ada aku malah semakin bingung, pusing tujuh keliling.
Mana kutahu gadis di aneh di hadapanku ini sedang mengoceh apa.
Oh astaga!