Chapter 4

1059 Words
Suara ayam jantan dan ayam betina berkokok saling bersahutan. Sebagai pertanda bahwa pagi akan segera tiba. Oh, atau ini hanya halusinasi Alan saja karena saking kelaparannya? Sepenglihatannya meski samar-samar, di luar masih sangat gelap. Belum ada tanda-tanda munculnya matahari. Jadi mana mungkin ayam sudah berkokok. Pagi-pagi buta, ya masih sangat pagi. Alan yang bangun lebih awal berjalan sempoyongan menuju dapur. Ini masih sekitar pukul setengah lima pagi tapi isi dalam perutnya sudah berbunyi merdu minta diberi asupan. Akhirnya, dengan kapasitas mata kurang dari 5 watt ia menghampiri lemari pendingin. Tangannya mengobok-obok mencari sesuatu yang bisa dimakan, sementara matanya susah sekali untuk dibuka. “Akkh!” jerit Alan. Sebuah yogurt mencuat dari dalam lemari pendingin saat Alan menariknya agar lepas dari bekunya freezer. Sayang, akibat dari tarikannya yang menggunakan tenaga dalam itu yogurt tersebut terpental cukup jauh sampai menubruk mukanya hingga ia pun oleng dan ... "Aduh!" Berakhir terngkurap di lantai dengan kepala tertimpuk kemasan s**u fermentasi tersebut. Oh, maalangnya nasib wahai Alan. Bunyi persendian lelaki itu saat ia mencoba bangun dari posisinya yang sangat tidak aestetic ini. Meski sampai jatuh bangun Alan mendapatkan yogurt dan sebungkus roti, ia tetap membawanya ke ruang tamu untuk disantap. Peduli ghost! Cacing-cacing di lambungnya sudah meraung-raung minta nutrisi. "Huh, dasar cacing solimi!" batinnya. “Benzie s****n! Selalu saja memperbudak juniornya sesuka hati!” maki Alan sembari membuka bungkusan roti. Pasalnya, karena mengerjakan laporan dan bahan presentase untuk besok dia sampai begadang dan melupakan makan malam. Sementara tugas kuliahnya juga sedang butuh perhatian. Maka, acara lembur dadakkan yang menyita banyak energi dan menguras pikiran membuat Alan melupakan makan dan tidur. Ia baru bisa terlelap saat jarum jam berhenti di angka dua dini hari. Tentunya setelah menyelesaikan semua tugas-tugas fucek to the bingsit tersebut. Ya, Alan selalu mengatai tugas-tugas yang Benzie beri seperti itu. Belum lagi perkembangan divisi bagiannya yang harus diselipkan bahan penyampaian dalam bentuk laporan berkedok presentase ini. Dua jam setengah, hanya segitu waktu tidurnya dalam 24 jam dalam satu hari. Memang sungguh petaka. Yang demi khayalannya menjadi seorang raja di dunia dongeng, kalau suatu saat dirinya dan Bensin s****n bujangan lapuk itu bertemu di kehidupan yang baru, Alan ingin pria jenius licik itu menjadi bawahannya. Atau paling tidak, derajatnya harus lebih tinggi dari orang itu. Disaat membuat laporan itu seharusnya adalah tugas si Bensin, bukan tugasnya. Tapi malah dia juga yang mengerjakan. Benar-benar sudah bosan hidup itu manusia. “Aakkh ... aakkh!! Astaga!!!” Begitu saklar lampu telah dinyalakannya, ia terlonjak kaget. Tersentak histeris melihat sesuatu di atas sofa yang berjarak kurang dari tiga meter darinya. “Oh?” Jarinya menunjuk-nunjuk objek di depan sana dan matanya membelalak terkejut. Lantas mengerjap seperkian sekon setelah kewarasannya kembali. Kenapa ada seorang wanita yang teronggok di sofa ruang tamu rumahnya? Dan, pakaian macam apa yang perempuan itu kenakan? Kemudian ... “Ah! Penguntit aneh!” celetuknya setelah teringat. “Gadis yang hendak bunuh diri di sungai tadi malam.” Alan mengusap surainya frustasi. “Astaga ya Tuhanku, kenapa pula kubawa pulang ya orang ini? Seharusnya kucampakkan saja dia ke dalam sungai tadi malam agar aku tidak perlu repot-repot.” Kembali memerhatikan seonggok daging yang bersemayam di atas sofanya masih memejamkan mata. Alan mendengkus sebal. “Bisa-bisanya tidur sepulas ini di rumah orang asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Cck, ck ck, benar-benar perempuan aneh,” hardiknya. Tak mempedulikan lagi, Alan memilih melanjutkan makannya. Mengisi perut yang sudah mulai tenang setelah tanpa lagi ada suara kriyak-kriyuk yang mengganggu tidur tenangnya. “Cepatlah bangun dan cepat pergi dari rumahku, gadis aneh!” Adalah kalimat terkahirnya sebelum kemudian lengser dari sana dan kembali ke kamarnya. Melanjutkan kembali tidurnya yang sempat terganggu karena cacing-cacing rakus kelaparan di perutnya. Bagaimanapun, Alan harus pandai mengatur waktu dan strategi. Karena besok, jadwalnya sangat padat. *** “Baik, pelajaran kita berkahir sampai di sini. Sampai bertemu di kelas saya berikutya,” ucap seorang dosen pria berkepala pelontos. Kelas selesai, Alan segera membereskan buku-buku dan alat tulisnya. Bersiap-siap untuk bekerja setelah makan siang nanti. Beruntung dirinya adalah seorang freelance yang masuk bekerja tidak berpatok pada waktu. Namun, dibeberapa kesempatan dia juga harus tetap mengikuti prosedur yang berlaku jika para petinggi perusahaan hadir. Atau kedatangan tamu yang mengharuskannya stay di sana kapan pun dan di mana pun. Tapi sejauh ini, Alan tidak merasa terbebani. Peraturan yang kantornya berikan cukup ringan dan banyak toleransi karena status tetapnya sebagai seorang mahasiswa. Belum lagi upah yang pihak perusahaan berikan, lebih dari cukup untuk membiayai sekolah dan hidupnya selama di tanah rantau. Hari ini, Alan tampak santai dengan balutan kemeja abu-abu dan celana bahannya. Ia akan mampir sebentar ke kantin untuk mengisi ulang tenaganya. Setelah itu baru akan berangkat ke kantor lebih cepat. Hari ini Mr. Jazz akan datang, CEO resmi tempatnya bekerja jadi, Alan tidak ingin datang terlambat. Ponsel dalam sakunya bergetar, yang lekas Alan rogoh dan angkat tanpa perlu melihat dari siapa panggilan suara tersebut. “Halo, Al. Kau di mana? Sudah selesai?” Suara cempreng Andrew terdengar di ujung sana. “Hum, baru keluar kantin. Kau di mana?” “Arah menuju gerbang belakang. Kutunggu ya?” “Apa-apaan, mau nebeng lagi?” Suara kekehan Andrew kembali terdengar. “Ayolah kawan, kau ini jangan pelit-pelitlah. Nanti gajian aku traktir.” “Ck, yasudah.” Panggilan berakhir, Alan masukkan kembali benda pipih tersebut ke dalam sakunya. Ia berjalan menuju area parkiran tempatnya memarkirkan kuda besi bututnya. Iya, Alan mendapatkan mobil itu hasil mungut di tempat perdagangan barang-barang sitaan milik negara. Dan tentunya legal karena sudah dikelola langsung oleh pihak pemerintahan. Meski bentuk tidak secantik mobil-mobil mewah lainnya tapi, Van hitam jelek ini juga sudah sangat bagus di mata Alan. Dia bahkan bersyukur bisa memilikinya. Terlebih lagi bisa ia dapatkan dengan harga jauh lebih murah. Hemat, dari pada untuk beli yang baru. Sesaat, sesuatu melintasi pikirannya. Ia berhenti melangkahkan kakinya. Mengenai gadis aneh di rumahnya, kira-kira apa wanita itu sudah pergi? Atau masih dengan tidak tahu malunya berada di sana dan menghabiskan semua bahan-bahan makananya di dalam kulkas? Oh my God! Kalau hal seperti itu benar-benar terjadi, Alan tidak segan-segan akan meminta ganti rugi dan mengusir gadis aneh itu dari rumahnya dengan cara yang kejamm. Iya, lihat saja nanti. Lantas ia melirik jam di pergelangan tangannya. “Ck, terserahlah. Urusanku lebih penting dari pada orang aneh itu,” monolognya. Kemudian menghampiri mobilnya dan melajukan Van hitam tersebut ke arah yang Andrew katakan di telepon tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD