"Tolong aku," rintih Ria dengan bibir yang gemetaran, tangannya berusaha meraih kaki Nirmala yang jenjang.
Tiba-tiba datang tiga wanita setengah baya yang mau mencuci bajunya di sungai. Mereka berteriak dan melempari Nirmala dengan cucian baju kotor yang mereka bawa.
"Hai, kamu mau membunuh Ria, yah?!"
"Kalau bukan karena orang tuanya yang kaya, dia pasti sudah diusir di kampung ini!"
"Dasar wanita pembawa kematian!" seru serentak para wanita setengah baya itu.
"Aku nggak nyakitin Ria, justru dia sudah dalam keadaan seperti ini," sanggah Nirmala tegas. Lalu dia melangkah mundur, badan, dan tangan sudah bergemetar. Ada ketakutan yang menjalar. Bibir mungilnya pun mengatup dan kedua alis saling bertautan.
"Aku nggak mau melukai Ria! Meskipun dia jahat," sargah gadis bermata belo itu.
Ria ditolong berdiri oleh wanita setengah baya yang rambutnya digulung. lantas gadis itu dipakaikan baju.
"Kalau bukan kamu yang melakukan ini, siapa lagi?"
"Jahat banget punya wajah cantik. Tapi, hatinya busuk. Kenapa mau celakai Ria?!"
Pertanyaan menghujani Nirmala yang masih berdiri mematung oleh para ibu-ibu gibah itu, tatapan Nirmala memincing ke Ria yang masih menunduk.
"Ria, jawab siapa yang melakukan ini?" tanya Nirmala.
Telunjuk Ria menunjuk ke arah Nirmala dan spontan para ibu-ibu itu menyerang janda kembang, sehingga wanita bermata belo itu kesakitan. Kemudian dia diseret sampai ke sebuah gubuk tua di pertengahan kebun milik Pak Boni. Gubuk itu sudah tidak terpakai, biasanya untuk penyimpanan beras, lantainya pun masih tanah, atap-atapnya bukan dari genting, tetapi dari ijuk sapu yang disulam menjadi atap. Tembok masih bilik-bilik bambu yang sudah berlubang.
Teriakan dan bantahan dari wanita bule itu tidak diindahkan oleh para ibu gibah. Kaki jengjang mulusnya janda kembang tersebut dipasung oleh mereka.
"Aku tidak melakukan apa-apa, lepaskan aku!" teriakan Nirmala geram sembari gigi-giginya bergelutuk.
Di balik punggung wanita setengah baya Ria menatap tajam Nirmala sembari menyeringai iblis, ia menampakkan barisan gigi putih. Tampak raut kemenangan terlihat dari wajahnya.
Hantaman keras mendarat ke kepala Nirmala.
"Arrrggghh!" pekiknya, lalu dia terkulai lemas tergeletak di tanah.
Jebakan Ria berhasil untuk membuat hidup Nirmala susah, lantas ia pun melangkah gontai bersama para wanita gibah meninggalkan si janda kembang itu yang tidak sadarkan diri karena dipukul kayu besar.
"Terima kasih, sudah menolongku," ucap Ria sembari mengulas senyum ke arah tiga wanita setengah baya itu. Kemudian ia beranjak pulang, pandangannya berkeliling sebelum masuk ke rumahnya.
"Halo, aku sudah melaksanakan semua yang kamu mau. Dia sudah masuk jebakan kita, terima kasih informasinya!" Ria berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
"Besok aku transfer uang untukmu, cepat pergi dari kampung janda ini!" titah suara bariton dari seberang telepon.
Ria pun menutup teleponnya dan tertawa bahagia sudah membuat Nirmala dipasung. "Syukurin, lebih baik kamu mati perlahan daripada langsung mati begitu saja."
***
Di rumah Pak Ridwan.
Teror mulai menyerang Akmal dan Pak Ridwan, bibinya kerasukan, matanya merah, dan terus-menerus memukul-mukul perutnya sendiri, lalu membawa pisau yang diarahkan ke Pak Ridwan sembari cekikikan ketawa duduk di atas meja seraya berjongkok.
Akmal lari mencari Nirmala, tetapi wanita itu sudah tidak ada di kamar. Ia mengacak-acak rambutnya. "Kamu di mana?"
Sedangkan Bonbon yang baru bangun tidur, karena baru sembuh dari sakit perutnya, mendengar sebuah keributan dari ruang tamu. Ia berjalan gontai menghampiri sumber suara bising itu. Langkahnya pun terhenti karena istri Pak Ridwan menatap tajam ke arahnya sembari menodongkan pisau.
"Hai, ada buntelan gajah di sini!" teriak wanita setengah baya itu. "Enak nih, di sate," lanjutnya sembari mengulurkan lidahnya itu.
Bonbon berlari ke arah Akmal, ia sembunyi ketakutan di balik punggung sahabatnya itu.
"Bro, masa gue mau di sate, gue 'kan nggak enak. Lemak doang," gerutu Bonbon.
"Makanya mendingan lo sembunyi, gih. Di kolong meja. Biar itu setan nggak ngincar, lo," sahut Akmal meledek bersikap tenang.
Istri Pak Ridwan melayang, menggelendotin punggung Akmal, sembari menciumi tengkuk pria bermata sipit itu.
"Wah, wangi banget kamu, aku sudah tak sabar menikah denganmu," bisik bibinya itu yang masih kerasukan.
"Lo Darsomah, yah? Eh Darsimah lepaskan gue!" teriak Akmal mendengkus kesal.
"Kalo nanti malam ada pocong ngintip di jendela, jangan takut yah, dia memang sengaja aku suruh untuk jagain kamu bobo. Dia akan jadi satpam rumah ini, supaya calon suamiku tak diganggu wanita lain." Suara wanita itu serak-serak basah.
Pria bermata sipit itu akhirnya, berontak, loncat-loncat seperti kelinci loncat, supaya setan centil itu lepas dari punggungnya. Baru pertama kalinya menggendong dedemit, membuat dirinya syok dan terus berteriak lalu, pria bertubuh gempal melemparkan wortel ke arah Akmal sambil berteriak.
"Bro, makan dulu wortel biar larinya kuat. Tadi gue cari bayam. Tapi, kayanya gundul nggak ada daunnya!"
"Lo kira gue itu Popeye makan bayam, langsung jadi berotot gede, Paman tolong!" decak kesal Akmal. " Allahu Akbar!" lanjutnya dengan lantang.
Bibinya pun terjatuh ke lantai dan pingsan. Pak Ridwan hanya berdiri saja karena terkena sirep, Akmal mengusap wajah pamannya itu, tak berselang lama ada sebuah gerakan dari tangan Pak Ridwan, ia sudah sadar seraya mengucapkan takbir dan tasbih.
"Paman jagain Bibi, aku mau pulang dulu mau bertanya tentang Darsimah setan centil itu. Maksudnya apa coba motifnya?" Akmal menyilangkan kakinya yang sedang duduk di kursi.
"Motifnya batik, mega mendung, Hello Kity, The Pooh, Mickey Mouse, atau belang-belang?" tanya balik Bonbon sembari mengernyitkan kedua alisnya.
Akmal yang mendengar temannya yang lola itu langsung bangkit dan beranjak pergi masuk ke kamar. Untuk mengungkapkan sebuah misteri harusnya jangan bawa Bonbon, dalam pikirannya ternyata adanya Bonbon tidak akan bisa membantu karena hanya badannya saja yang besar, tetapi badan besar tidak menjamin orang itu berani. Justru hanya besar napsu makannya saja.
Pria bermata sipit itu merogoh sakunya dan menghubungi sang kekasih pujaan hati, tetapi tidak ada jawaban. Ia pun menghela napas kasar sembari tangannya meraih kunci motor di atas nakas. Kemudian menyisir rambut begitu rapi, pria berwajah tampan itu mematut di cermin. Ia ingin bertemu Nirmala, mencari informasi selanjutnya sebelum dirinya pulang, karena hatinya sudah bulat ingin bertanya kepada sang nenek yang tinggal di Banten.
"Kamu mau ke mana?" tanya sang paman.
"Pulang dulu ke Banten, Paman," sahut Akmal seraya melempar senyum.
"Hati-hati. Iblis itu terus-menerus mengincarmu," ungkap Pak Ridwan.
"Tapi, kalau dibiarkan terus. Dia akan mengganggu. Aku harus selesaikan ini semua."
Akmal mengecup punggung tangan sang paman, kemudian berpamitan pergi. Dia berjalan gontai ingin bertemu Nirmala sebelum pergi ke Banten.