Darsimah

1406 Words
Akmal ternyata membawa Nirmala ke rumah tua mewah bergaya klasik berlantai dua berdiri kokoh, mereka berdua berdiri mematung di depan rumah yang sudah bercat kusam. "Ini rumahmu, 'kan?" tanya Akmal penuh menyelidik, menatap tajam ke arah wanita bule di hadapannya itu. "Iya, sewaktu kecil pernah tinggal di sini. Tapi, aku tidak mau kembali ke tempat ini lagi," sahut Nirmala memutar badannya, derap langkahnya dipercepat menjauhi rumah tua itu. "Kamu, tidak ingat. Kalau di rumah itu adalah kenangan orang tuamu!" Akmal menjelaskan yang ia tahu dari Bayu, kalau sebenarnya Nirmala adalah bayi yang ditemukan di pematang sawah oleh Pak Boni dan Ibu Susi. Warga kampung disuruh menyimpan rahasia ini, kalau Nirmala bukan anak kandung mereka. Di sebuah dus terdapat surat dari orang tua kandung sang bayi, siapa pun orangnya yang mengasuh bayi perempuan ini akan kaya raya dan disuruh tinggal di rumah besar mewah di ujung jalan desa. Rumah itu adalah warisan untuk Nirmala. "Orang tuaku Pak Boni dan Ibu Susi dan kamu jangan ikut campur urusan keluargaku!" Kaki jenjang wanita berambut sepunggung itu menendang sesuatu sebuah kepala lelaki melempar senyum kepadanya. "Arggghhhh ... setan kepala, kok mukanya kaya kenal?!" Nirmala terbelalak. Wajah kepala itu adalah Rian--suami ke sembilan Nirmala yang meninggal gantung diri di pohon sirsak. Wanita bermata belo itu terduduk lemas, mengamati kepala buntung itu di tanah bergerak-gerak dan bola matanya berkeliling. "Siapa yang membuatmu seperti ini?" tanya Nirmala tanpa ada rasa takut melihat sosok kepala buntung itu. Justru rindunya terobati bisa melihat sosok orang yang dicintainya walaupun itu berbentuk makhluk astral dari alam gaib. Bulir bening luruh sudah dari retina mata sang janda kembang itu, hidupnya penuh misteri dan dikelilingi oleh alam metafisika yang terhubung dengannya. "Nirmala, aku adalah jin Qorinnya Rian sedang mencari tubuhnya yang dicuri oleh seseorang demi ilmu hitamnya," sahut Rian sembari menampilkan gigi putihnya yang berbaris, tetapi darah segar mengalir dari mulutnya. "Siapa yang mencuri tubuhmu? Jahat sekali, kenapa kamu meninggalkanku di malam pengantin kita?" Akmal mengkerutkan dahinya sembari menyilangkan tangannya ke depan d**a, bersandar di depan pagar besi berwarna hitam itu. Mengamati wanita bule itu berbicara sendiri. Suara isak tangis Nirmala pecah mendengar semua cerita yang dialami oleh Rian. Wanita bermata belo itu bangkit dan memeluk kepala buntung itu, lalu bergegas berbalik badan menatap tajam ke arah rumah tua itu. Alam pikirannya menerawang ke masa lalu. Ya, rumah berdesain Belanda itu adalah rumah berdarah yang ada hanya kematian di sana terhubung dengan dirinya. Semenjak kecil Nirmala melihat kematian para pembantunya dan tukang kebun yang dihabisin secara sadis oleh seseorang bertopeng tengkorak di depan matanya dengan dimandorin oleh sosok setan wanita iblis yang tertawa puas melihat kematian di rumah itu. Darsimah--penari jaipong korban pemerkosaan yang mayatnya dibuang di rumah itu, menjadi penghuni rumah tua dan mengganggu manusia yang tinggal di rumah Nirmala, tetapi Nirmala kecil selalu bersikap pura-pura tidak melihat tentang kejadian berdarah di depan matanya. "Darsimah, keluar kau! Aku tahu jika yang selama ini membantai para pengantin pria itu adalah iblis yang haus darah perjaka!" teriak lantang Nirmala menatap lekat pintu besar rumah itu terbuka sendiri. Akmal menarik tangan wanita bermata belo itu karena bulu halus ditangannya sudah berdiri merasa merinding disco sekujur tubuhnya, suara lolongan anjing menambah suasana mistis semakin mencengkam. Pria bermata sipit itu mengusap tengkuknya sendiri. "Lebih baik kita pulang, aku merasakan energi tidak enak di sini!" titah Akmal sembari mendongak ke atas jendela besar itu sekelebat bayangan-bayangan putih terbang. Keluarlah sosok wanita berwajah pucat menggunakan pakaian jaipong, berdiri di ambang pintu menatap nyalang sembari melebarkan selendang di pinggulnya. "Jauhi, kekasihku!" bentak Darsimah mengibaskan selendangnya ke arah Nirmala dan membuat tubuh mungil wanita bermata belo itu terlempar jauh menabrak sebuah pohon. Suara hantaman tubuh Nirmala menabrak pohon sangat keras sampai menyapa indra pendengaran Akmal, spontan pria bermata sipit itu lari menuju arah jatuhnya wanita yang tadi ia bawa paksa datang ke rumah tua itu. Tubuh sang janda kembang luruh ke tanah, darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Nirmala merasakan tubuhnya seperti merasakan bahwa tulang punggungnya hancur terkoyak. Ia meringis kesakitan sembari tangannya mengusap darah segar yang menempel di sudut bibir. Darsimah menampilkan mode cantik, sehingga Akmal bisa melihatnya, tangan pucatnya mendarat di pundak pria bermata sipit itu. "Akhirnya, kamu datang ke sini pengantinku. Aku sudah tak sabar menunggu waktu yang tepat untuk segera memilikimu," ujar Darsimah lembut sembari berbisik dan tubuh pria bermata sipit itu mendadak kaku. Wanita bermata sipit itu berlenggok-lenggok di depan Akmal, memberikan goyangan jaipong sembari melempar senyum genit dan mengibaskan kipas kecil di tangannya, menari untuk menarik perhatian sang pria. "Siapa kamu?" bentak Akmal sembari menghunus tajam ke arah wanita yang berdiri di depannya yang berusaha menggoda imannya. "Tanyakan saja sama nenekmu, dia pasti akan menjawab semuanya siapa aku? Dan apa yang kumau, senangnya aku bisa bebas dari pohon petai itu. Ternyata dendam seseorang mampu membangkitkanku lagi!" Suara Darsimah menggelegar lantang sembari menggoyangkan kipasnya di tangan. Nirmala terduduk lemah sembari berkomat-kamit membaca doa dan seketika itu juga terdengar suara teriakan melengking kata-kata panas yang keluar dari mulut Darsimah. "Wanita sial, kamu itu lebih baik mati, hentikan doa-doamu itu!" gertak Darsimah memelotot. Wanita bermata belo itu terus mengencangkan doa-doanya dan akhirnya, Darsimah menghilang begitu saja hilang dari pandangan bersama angin p****g yang mengelilinginya. Akmal pun langsung membantu Nirmala untuk berdiri. Mereka berdua berjalan menuju ke rumah Pak Ridwan dengan tertatih. Dalam perjalanan pikiran mereka masing-masing bertanya. Pria bermata sipit itu ingin tahu kebenarannya kenapa setan wanita itu mengincar dirinya untuk menjadi pengantinnya? Sedangkan di lain sisi, dirinya baru pertama kali menginjakkan kakinya ke kampung janda. *** Nirmala duduk memeluk kedua lututnya di atas kasur di ruangan kamar yang asing. Ia menginap tidur di rumah Pak Ridwan, kepalanya menopang di kedua lututnya, sembari menangis tersedu-sedu. Kenyataan membuat jatuh dan sakit lagi, orang tua yang selama ini menyayanginya ternyata bukan orang tua kandungnya dan siapakah orang tua kandungnya? Siapa orang yang bekerja sama membangkitkan Darsimah dan mengacaukan kehidupannya. Wowo, hanya perantara untuk membuat hidupnya sial tidak bisa menikah, tetapi ini semua ada dalangnya. "Terus apa kaitannya dengan mimpi bertemu anak kembar, siapa mereka? Apa ada hubungannya dengan kehidupanku? Arghh, siapa orang yang jahat mengusik hidupku?" gerutu Nirmala dengan seribu pertanyaan dalam pikirannya menggelayut menjadi beban seperti ditindih sebongkah batu besar. Wanita bermata belo itu mengusap air matanya, lalu tidur menyamping ke kiri dan mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya masih seperti benang kusut. Air matanya tidak bisa berhenti. Karena rasa haus yang sangat dahaga, ia pun beranjak keluar kamar. Namun, di pertengah perjalanan munuju pintu dapur terdengar samar-samar suara perdebatan Pak Ridwan dan istrinya di ruang televisi. "Pak, lebih baik mendesak Akmal suruh cepat pulang saja ke Jakarta, jangan sampai ia dekat dengan wanita pembawa kematian itu si Nirmala! Akan bahaya jika dekat dengannya." Suara wanita berkulit kuning langsat itu begitu keras, membuat Nirmala menghentikan langkahnya. Merasa dirinya sebagai topik pembicaraan sepasang suami istri itu. "Bu, jangan bilang begitu. Ini kemauan Akmal mau menyelidiki tentang kampung kita, kasihanlah para gadis di sini, zomlo nggak ada yang mau menikah. Kemarin saja Bayu menggagalkan pernikahannya karena orang tuanya ketakutan," sahut Pak Ridwan dengan tenang sambil tangannya memegang sebatang rokok dan menyalakannya menjadi obat pengusir cemasnya. Nirmala mengehela napas pelan, melanjutkan langkahnya ke dapur. Ia pun sudah muak dengan kehidupannya yang tidak pernah menemukan kebahagiaan. Tangan mulusnya mencengkram gelas begitu erat sehingga gelas itu pecah di tangannya, tetesan darah turun dari telapak tangannya itu, tetapi tidak seberapa sakitnya jika dibandingkan dengan kesakitan hatinya, karena dituduh sebagai pembawa kematian. Malam ini terasa panjang bagi Akmal dan Nirmala, mereka tidur gelisah tidak tenang. *** Suara kokok ayam sudah terdengar dan Nirmala mengendap-endap keluar dari rumah Pak Ridwan. Mata sembab tidak mampu dihindarinya lagi, wanita berkulit putih itu berjalan menyusuri pematang sawah menuju ke sungai. Ia ingin bunuh diri, mengakhiri semuanya. Mata hatinya sudah buta karena keputus asaannya terus merogoti rongga hati yang paling dalam. "Siapa ayah dan ibuku?! Semuanya memojokkan kalau aku hanyalah pembawa kematian." Nirmala berdiri teriak kencang meluapkan kepenatan dan kekesalannya itu di tepi sungai di atas batu besar. Tiba-tiba rintihan minta tolong dari balik batu suara perempuan. Nirmala mencari sumber suara itu dan membulatkan mata belonya itu, ternyata suara rintihan itu karena keluar dari mulut Ria yang tergeletak di atas batu dengan posisi tidak memakai baju apa-apa. "Apakah kamu mau melihatku mati?!" bentak Nirmala menatap tajam. Hanya Ria yang membenci dirinya di kampung janda dan gadis yang terletak di atas batu itu menggeleng dan tubuhnya bergemetar karena menggigil kedinginan memeluk tubuhnya sendiri, meringkuk seperti anak bayi. Suara Ria parau minta tolong. "Tolong aku, Nirmala," ujar Ria memelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD