Akmal dan teman-temannya sampai di sebuah rumah sederhana nan asri berdiri dengan megah, warna cat putih gading dan kuning memberi kesan cerah. Wangi cat menyeruak ke indra penciuman mereka, pemilik rumah baru mempercantik istananya tadi pagi.
Di sebelah kanannya ada perkebunan kol dan wortel yang sebentar lagi siap dipanen.
Kedatangan Akmal disambut oleh pria berambut putih beberapa helai, melempar senyum. Lalu, memeluk tubuh tegapnya pria yang memiliki lesung pipi itu.
Akmal menggaruk-garuk tubuhnya yang terasa gatal dan meminta minyak angin kepada Bu Risma---istri Pak Ridwan. Bu Risma hanya menggeleng lembut melihat tamunya baru datang sehari saja sudah kena sial karena diserang ulat bulu.
"Apa yang membuat kalian seperti ini?" tanya Bu Risma mengkerutkan dahinya, mengaitkan kedua alis merasa keheranan.
"Kita salah masuk kebun, ternyata banyak ulat bulu," timpal Angga sembari tangannya sibuk menggosok minyak angin ke tangannya yang sudah bentol-bentol.
Akmal hanya diam tidak mau menjawab, tidak mungkin jujur kalau dikejar kerbau dari rumah Nirmala. Bisa ditertawakan oleh pamannya yang sedang berdiri di depannya itu menyilangkan tangan di depan d**a, menatap tajam dengan kedua alis menukik.
"Kamu masih utuh 'kan? Tidak kurang organ tubuhmu," tanya Pak Ridwan mengejek lawan bicaranya seorang pemuda yang mempunyai jiwa detektif kuat. Lalu dia pun menarik lengan Akmal untuk duduk di kursi rotan bulat berwarna-warni.
"Saya minta izin untuk tinggal beberapa hari lagi di sini sampai masalah ini terungkap jelas, siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa kematian di desa Sukaratu?" Dahi Akmal berkerut sembari bola matanya memutar ke atas sedang memikirkan langkah selanjutnya.
"Sudahlah, jangan kamu ikut campur urusan desa ini. Lebih baik bawa pulang teman-temanmu itu, takut ada korban selanjutnya," tutur Pak Ridwan sembari menyalakan sebatang racun mematikan itu yang akan lambat laun mengoyak paru-parunya. Mulutnya mengembuskan gumpalan asap putih.
Pria berkulit putih itu melirik ke arah wanita berjilbab merah dengan sorotan teduh. Angga dan Bonbon mengerti situasi saat ini, mereka langsung mengajak Pak Ridwan berkeliling ke kebun kol, basa-basi ingin tahu tentang pertanian cara menanam wortel.
Sepasang insan yang sedang kasmaran duduk berdampingan. Pandangan mereka lurus menatap jalan perkampungan yang identik hanya dilewati oleh motor yang dapat diitung oleh jari, pohon-pohon jati yang di sisi jalan berjejer.
Hening, hanya deru napas mereka berdua yang terdengar. Akmal pun membuka pembicaraan sembari tangan lembutnya itu menggenggam jemari lentik Tina.
"Tin, pulang saja. Abang, mau selidiki ini sebuah tugas yang harus dijalani," ucap Akmal sembari menatap lekat sang empu bola mata berwarna kecokelatan itu.
"Bang, Tina mau nemenin di sini. Takut kena goda para jendes yang muda dan cantik," sahut Tina sembari mengerucutkan bibir mungilnya itu merasakan tidak rela kalau pria di depannya yang baru jadi pacar, seumur jagung itu direbut oleh pekaor---perebut kekasih orang.
Akmal menjelaskan dengan tegas, kalau dia tidak akan tergoda dengan gadis, maupun janda yang ada di desa Sukaratu. Wanita berhijab merah itu menyimak semua perkataan dari mulut manis sang kekasih.
Sehingga Tina mempercayai cintanya itu menetap sampai tugas-tugasnya selesai. Sepasang kekasih itu berdiri sambil berpelukan, wajah Tina begitu dekat di detak jantung pria berhidung mancung. Tangan Akmal melingkar di pinggang wanita pecinta kopi.
Suara detak jantung bertalu terdengar oleh Tina. Akmal hanya mengulas senyum sembari mengusap lembut puncak kepala sang gadis. Mereka melepaskan dekapan hangat itu dan kembali duduk di tempat semula. Karena takut Pak Ridwan dan teman-temannya datang tiba-tiba.
Lalu, terdengar suara ketawa sang pemilik rumah terbahak-bahak dari pekarangan luar bersama Angga dan Bonbon. Tangan mereka kotor sambil memegang wortel dan kol yang baru saja dicabut dari kebun samping rumah.
"Angga, cepetan cuci tangan, sekarang cepetan balik ke Jakarta bawa Tina!" perintah Akmal sembari mengibaskan tangannya ke arah Angga.
Pria kurus itu mengangguk pelan sembari melempar senyum, langkahnya beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Tina berpamitan kepada Pak Ridwan mencium punggung tangan yang berwarna kecokelatan karena terik matahari menyengat kulit kekarnya itu.
Mobil jeep yang dikendarai oleh Angga membawa Tina kembali ke Jakarta. Wanita pemilik mata elang itu melambaikan tangan ke arah Akmal menatap nanar. Pria jangkung itu melempar senyum membalas lambaian wanitanya.
"I love you!" teriak Akmal kencang.
Suara Akmal terbawa oleh angin dan anehnya suara teriakan pria itu, terdengar oleh Nirmala yang sedang terbaring membaca n****+ romantis.
Dia tersentak kaget bangkit terduduk, pandangannya menyapu setiap sudut ruangan kamar yang dominan berwarna hijau tosca. Buku n****+ yang tadi sedang dibaca terjatuh ke lantai keramik berwarna putih. mengkerutkan dahi dan tangan kirinya menopang dagu.
"Suara siapa itu? Bilang i love you." Nirmala bertanya-tanya. Kaki jengjangnya turun dari ranjang melangkah ke arah jendela. Lalu, tangannya menyibakkan tirai kamar dan tidak ada siapa-siapa di pekarangan rumahnya.
Kamar Nirmala tepat berhadapan dengan bunga-bunga anggrek yang ditanam oleh sang ibu. Pikirannya mengawang mengingat kejadian Rosa yang pingsan ketika bertemu dengan Akmal, sahabatnya benar mempunyai penyakit androphobia.
"Rosa sudah tiga puluh menit lalu. Pergi dari sini," gumam Nirmala sambil tangannya menutup kembali tirai berwarna putih polos tipis itu.
***
Cahaya jingga sudah menguar dari langit, sang bagaskara pun perlahan tenggelam di ufuk barat. Rembulan sebentar lagi datang, merajai pekatnya gelap.
Nirmala berjalan menuju ke masjid, menggunakan jilbab berwarna hitam dan tangannya mendekap mukena dan sajadah. Pertengahan jalan bertemu dengan Rosa dan mereka beriringan melangkah ke rumah Allah SWT.
Suasana masjid menjadi ramai oleh para wanita yang mendadak mengidolakan Akmal yang baru dua puluh menit berada di masjid untuk salat berjma'ah. Nirmala yang mendengar nama orang yang tadi siang menuduhnya mendelik sembari mencebikan bibir cerinya.
"Baru datang sudah disambut nama orang yang menyebalkan itu," decak kesal Nirmala sambil menyenggol lengan Rosa yang ada di sampingnya.
Rosa menatap lekat penuh kekaguman kepada pria tertampan di kampung janda saat ini yaitu Akmal menjadi bintang bibir para gadis dan janda kembang. ilernya mengalir tidak terasa dari mulutnya dan ia mengusap itu oleh ujung mukena putihnya.
Setelah selesai salat Magrib. Nirmala dan Rosa berdiri beranjak keluar, mereka berdua tidak mau bertemu dengan Akmal dan Bonbon. Langkah mereka dipercepat, remang-remang dari lampu damar dari rumah-rumah warga, menghiasi jalan perkampungan yang gelap hanya suara kodok dan jangkrik saling berbisik.
Ketika melebarkan langkah di pertengahan jalan lolongan suara anjing terdengar menyayat sampai ke tulang sumsum, bulu kuduk mereka berdua meremang.
Dua wanita itu menghentikan langkahnya sambil mengatupkan bibir, di depan mereka ada sosok wanita menghadang jalan sambil membawa kayu besar dan panjang.
"Ira!" Nama itu yang lolos dari mulut Nirmala sembari menyilangkan kedua tangan di depan d**a.
Rosa mengerlingkan mata ke wanita di sampingnya. Ini kode tidak baik, Ira pasti akan berbuat jahat. Namun, Nirmala bergeming tetap berdiri memandang wanita berambut sebahu dengan bibir dowernya itu.
"Kamu yang membuat bibir seksiku menjadi dower, dasar wanita terkutuk!" Ira memaki dengan lantang sambil mengayunkan kayu panjang ke arah Nirmala.
Nirmala menepis dan memegang kayu panjang yang menjadi senjata lawannya itu.
"Apa maksudmu? Aku tidak pernah sedikit pun menyentuh kulitmu itu," tanya Nirmala sembari memelotot.
"Bohong, siangnya aku mengejekmu dan malamnya dengan cara licik kamu itu menyelinap masuk ke dalam kamar ...."
"Mungkin kamu digigit serangga besar atau nyamuk raksasa," potong Rosa sembari berkacak pinggang.
"Walaupun samar-samar bayangan wanita yang mencubit bibirku karena mati lampu, aku yakin itu kamu!" bentak Ira menendang perut Nirmala sehingga wanita pemilik netra biru itu terhuyung jatuh ke tanah.
Nirmala mencium tanah dan meringis kesakitan, tendangan Ira mampu membuat perutnya terasa diiris-iris pisau terasa perih.
Rosa menghambur menolong Nirmala supaya berdiri. Namun, tiba-tiba suara bariton datang menghampiri. Sosok Akmal dan Bonbon menatap tajam ke arah mereka.
"Kenapa kalian bertengkar di sini?" tanya Akmal tatapannya menyipit ke arah Ira.
"Siapa kamu? Tidak usah dekat-dekat dengan wanita pembawa kematian. Nanti kamu akan mati," sergah Ira sembari menatap licik ke arah pria berkulit putih yang ada di depannya.
"Saya temannya Nirmala," jawab singkat Akmal sembari membusungkan dadanya.
Nirmala yang mendengar pengakuan dari orang kota itu membuatnya mendadak mual, dia membenci Akmal.
Bonbon dengan sigap mengunci tangan Ira dan mengancamnya akan memanggil Pak Ridwan karena di sini sudah terjadi kekerasan. Ira yang mendengar nama kepala desa itu langsung memohon minta dilepaskan dari cengkraman tangan pria berbadan besar tersebut.
"Hai gajah, lepasin. Aku mau pulang," pinta Ira sembari kakinya mengentakkan, berusaha menginjak kaki Bonbon. " Nirmala kalau sampai besok bibirku masih dower seperti ini, tunggu pembalasanku!" Ira mengancam dengan sorot tajam ke arah Nirmala.
Nirmala menyuruh Bonbon untuk melepaskan Ira dan pria itu mengangguk pelan.
Ira pun langsung pergi sembari terus mengumpat kalau Nirmala wanita pembawa sial.
Wanita berjilbab hitam itu hanya mengusap dadanya berusaha sabar atas cacian warga kepada dirinya. Ia melirik ke arah Rosa yang merasa tidak nyaman dan resah melihat pria tampan di depannya.
Rosa mengalami penyakit androphobia---wanita yang takut melihat pria tampan, hidung mancungnya mengeluarkan mimisan lagi. Kedua tangannya bergetar meraba darah yang keluar deras.
Nirmala langsung melempar mukena ke arah Akmal memberi perintah. "Tutupi wajah jelekmu itu dengan mukena ini!"
Akmal terbelalak menerima mukena dari wanita berkulit putih itu.
Nirmala memelototinya supaya segera memakai mukena. Karena ia tidak mau melihat drama pingsan Rosa untuk kedua kalinya.
Tiba-tiba suara rintihan suara wanita meminta tolong dari arah selatan. Nirmala, Akmal dan Rosa memutar badan berbarengan. Bobon masih santai menatap lurus karena ada masalah sedikit indra pendengarnya, bicara dengannya harus memakai volume tinggi tidak boleh pelan.
Terlihat sosok wanita berambut keriting dan mempunyai ukuran d**a yang besar. Ia menyeret kakinya dengan wajah yang pucat dan darah segar keluar dari perutnya seperti terkena tusukan benda tajam.
Mereka bertiga saling memandang dan berteriak tersentak kaget, "Ada setaaaan!"