Lullaby 08

1486 Words
“Apa?” Rajata menoleh, menatap Indra dengan tajam. “Kau tidak bisa membawanya karena oorang tua dari makhluk kecil itu menolak mentah-mentah? Bahkan setelah kau imingi dengan uang?!” “Ya, Tuan. Di balik sifat Dharma yang kejam, ternyata dia sangat menyayangi putriny–” Terdengar suara benturan yang lumayan keras, disusul bunyi pecahan menggema di dalam ruang perpustakaan milik Rajata. Indra yang menjadi objek kemarahan Rajata terlihat masih tenang, walaupun darah perlahan mengucur dari dahinya akibat lemparan gelas tadi. Dengan tenang Indra mengeluarkan sapu tangan dari kantong belakang celana, kemudian menekan luka untuk menghambat darah agar tidak keluar lagi. “Kau tahu, Indra? Kau satu-satunya orang terlama di sisiku. Dibandingkan Ardian dan istrinya, aku lebih mengandalkanmu. Tapi, hari ini untuk pertama kalinya kau mengecewakanku. Ini hanya seorang makhluk kecil, kekuatannya pun tidak ada seujung kuku. Namun rupanya itu sangat sulit untukmu.” “Saya seorang ayah, Tuan. Saya memahami bagaimana posisi Dharma. Saya boleh keras mendidik anak saya, tapi orang lain tidak boleh memperlakukannya serupa.” “Apa aku terlihat mau mendidik makhluk itu?” tanya Rajata dengan suara rendah, namun terdengar mengerikan. “Kau menyimpulkan seolah-olah semua yang kulakukan padanya tertulis jelas di wajahku. Dengan tenangnya kau menebak, seakan kau pikir tebakanmu benar.” “Maaf, Tuan.” Tatapan Rajata menyapu pada meja yang ada di depannya, lalu tanpa pikir panjang mengambil ponsel kemudian melemparnya sampai benda itu hancur berkeping-keping. Kepalanya memiring ke kiri, seolah hal tadi bukan apa-apa. Bahkan terhitung masih kurang, karena masih belum berhasil mengurangi kemarahannya. “Semua orang boleh membicarakan hal-hal buruk tentangku, di belakangku. Selagi aku tidak mendengarnya langsung, maka tidak akan masalah. Tapi yang satu ini merupakan penghinaan besar. Dia terang-terangan mengejekku. Menolak uang yang kutawarkan lewat kau dengan sombongnya, seolah harga putrinya tidak bisa dinilai dengan nominal berapa pun. Itu sangat menggelikan sekali! Sampai membuatku jengkel setengah mati!” “Tuan, Anda berlebihan. Hanya karena belum pernah merasakan peran seorang ayah, bukan berarti Anda bisa berkata seperti ini. Suatu saat Anda akan paham bagaimana jalan pikiran kami.” “Kau salah! Sampai mati pun aku tidak akan merasakannya! Karena aku tidak akan pernah mau terjebak dengan hubungan yang penuh kesialan semacam itu.” Dengan sombongnya Rajata berucap, ia bahkan tersenyum sinis. “Jangan pernah mengatakan omong kosong semacam ini lagi di depanku!” Indra kembali mengantongi sapu tangannya saat dirasa tidak ada darah lagi yang keluar. Ia berdiri dengan kepala tegak, tatapannya tidak terlihat gentar di depan Rajata. Meski tempramen Rajata sangat buruk, rasa takut tidak pernah sama sekali melintas di benak Indra. Dulu Rajata adalah anak yang baik. Ia sopan, pada siapa saja yang memiliki usia di atasnya. Tapi tragedi naas itu membalik semuanya dalam sekejap, menciptakan sosok yang kejam dengan kata-kata, bahkan tindakan. Rajata menjadi dingin tak tersentuh, menghindari orang-orang bahkan keluarganya sendiri. Memilih tinggal tanpa bersama keluarga di usia muda, mengasingkan dirinya sendiri dari banyak orang. Tapi, satu hal yang harus dikagumi dari kubangan luka dan trauma yang Rajata miliki, yaitu ia tumbuh menjadi sosok pria yang hebat dan mengagumkan. “Saya tidak sepantasnya berbicara seperti tadi di depan Anda. Tuan jelas berhak menghukum saya. Maaf karena sempat melibatkan emosi, saya akan berusaha profesional. Bisa memisahkan mana pekerjaan dan mana masalah pribadi.” “Tidak perlu karena itu sama sekali tidak berarti!” sarkas Rajata. “Sekarang aku butuh orang untuk memberi orang tua itu pelajaran. Kau hanya perlu memberi mereka perintah untuk mengacak-acak rumah miliknya lalu menculik makhluk buruk rupa itu tanpa sepengetahuannya. Kita akan lihat, apakah kesombongan itu akan bertahan lama di wajah menjijikan orang tua itu.” “Tuan, sebelum melaksanakan perintah Anda, bisakah saya tahu untuk tujuan apa sebenarnya? Kenapa Anda terlihat sangat tertarik sekali dengan gadis yang bernama Kamania? Jika memang benar tertarik, kenapa justru memakai cara seperti ini untuk membawanya ke hadapan Anda?” “Aku tidak tahu kalau fungsi mulutmu sekarang bertambah. Selain dikhususkan untuk mematuhi semua perintahku, sekarang kau juga ingin tahu urusanku dan dengan lancangnya bertanya.” Alhasil Indra hanya kembali mengangguk patuh. “Saya mengerti, Tuan. Segera saya melaksanakan perintah Anda. Kali ini akan berhasil, tidak gagal seperti sebelumnya.” “Tentu saja. Kalau sampai kegagalan benar-benar terulang, kau lebih baik mengundurkan diri dan merasa malu seumur hidupmu, Indra.” Senyum licik tersungging di bibir Rajata. Ia menyugar rambut dengan gerakan pelan, namun penuh tekanan. Benar saja adanya, makhluk kecil yang buruk rupa itu sudah mulai merepotkan Rajata. Untuk membawanya ke hadapan Rajata saja perlu melewati serangkaian gangguan yang berhasil membuat amarahnya terpancing. Kalau saja Rajata tidak butuh bukti mengenai suaranya, sudah pasti akan Rajata musnahkan detik itu juga. *** Saat menyentuh beberapa titik lebam yang memudar di wajahnya, Kamania langsung merasakan dadanya bergemuruh karena saking senangnya. Ia tidak merasa sakit lagi, bahkan luka baru pun tidak ada. Ini seperti sebuah keajaiban, ayah beberapa malam ini tidak pernah ringan tangan lagi padanya. Bahkan kadar mabuk ayah bisa dikatakan berkurang, mungkin itu yang membuat kesadaran ayah tinggi. Sekarang Kamania dengan semangat mengambil kupluk wol miliknya lalu memakai serapi mungkin di kepala. Ia optimis penampilannya jauh lebih baik dari terakhir kali memakai topi ini. Senyum yang terlihat dari pantulan cermin pun menandakan dengan jelas kalau Kamania tengah bahagia. Sesederhana ini menciptakan senyumnya. Meskipun hanya di rumah, Kamania tidak keberatan merasa gerah di kepala. Segala aksesoris rambut selalu menjadi kesukaannya. Karena kebetulan sekarang Kamania hanya mempunyai dua saja, itu pun dua-duanya pemberian Shaka, maka dari itu Kamania dengan senang hati mengenakannya. Kamania sekarang membaca buku miliknya sendiri yang sudah tidak terhitung berapa kali ia mengulang. Langkahnya kini mondar-mandir di ruang tengah yang merangkap jadi ruang tamu. Ia menghabuskan waktunya seperti ini, seraya menunggu kedatangan Shaka yang katanya akan berkunjung tiap akhir pekan karena libur bekerja. Kamania tidak sabar ingin menunjukkan perubahannya pada Shaka, termasuk juga akan menceritakan perubahan ayah. Jari jempol kakinya berkali-kali menekuk, melampiaskan rasa gemas karena waktu terus berlalu tapi tidak terdengar tanda-tanda keberadaan mobil Shaka terdengar di depan sana. Ia balik lembar halaman ke-54, perasaannya semacam tergelitik saat membaca kalimat tokoh yang ada di dalam buku ini. Jenis kalimat yang mengungkapkan perasaan, namun dibungkus rapi dengan kedok perhatian antar teman. Karena di sini berkisah tentang dua orang lawan jenis yang berteman, salah satu dari keduanya memiliki perasaan lebih dari teman, ia selalu mengatakan kalimat tersirat dari semua perhatiannya, namun yang satunya tidak peka. Tapi di ending cerita ini, mereka pada akhirnya tetap berteman. Karena hubungan keduanya tidak akan bisa menjadi lebih, sebab pada dasarnya memang kemistri percintaan mereka tidak lebih kuat dari ikatan pertemanan itu sendiri. Kamania menyukai endingnya. Itulah kenapa sebabnya ia tidak pernah bosan untuk mengulang buku ini. Baginya, segala jenis hubungan yang dimulai tentu saja harus dijalani dengan konsisten sampai akhir. Ia tidak ingin yang tadinya berteman, pada akhirnya akan berubah menjadi sepasang kekasih, bahkan sampai jadi suami-istri. Memang banyak buku dengan ending seperti itu, tapi jelas bukan selera Kamania. Fokusnya buyar begitu terdengar ketukan, yang nyaris seperti gedoran, di pintu. Kamania kaget, tapi secepatnya berganti jadi sebuah senyuman karena ia pikir itu adalah Shaka. Setelah meletakkan buku dengan keadaan terbuka di atas meja, Kamania sedikit berlari kemudian memutar kunci dan menarik handlenya tanpa pikir panjang. Badannya tiba-tiba terdorong beberapa langkah, membuat Kamania memekik. Bola matanya langsung melebar, karena bukan mendapati Shaka, tetapi empat orang tidak dikenal dengan postur tubuh yang besar. Wajah mereka mengerikan, dengan tatapan tajam seolah ingin menelan Kamania bulat-bulat. Salah satu dari mereka terlihat mengode dengan anggukan, hingga detik berikutnya Kamania terhuyung lagi karena didorong tanpa perasaan. Keempat orang itu melewatinya lalu tanpa diduga membanting semua benda-benda yang mereka lihat. Kamania panik dan ketakutan. Ia berlari mendekati salah satu dari mereka, menahan tangan besar yang tengah mengangkat kursi tunggal untuk dilemparkan pada kaca jendela. Tindakan Kamania ini sukses membuat orang itu menoleh, namun bukannya berhenti seperti isyarat gelengan cepat Kamania, orang itu justru tersenyum sinis lalu melemparnya tanpa ampun. Berikutnya Kamania yang disikut sampai ia terjatuh. Melihat kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang asing itu, Kamania langsung menutup kedua telinganya serta memejamkan mata. Tubuhnya mengkerut takut, juga mulai gemetar. “Ingat! Jangan sampai ada yang terlewat dihancurkan. Rumah ini harus benar-benar berantakan sebelum kita pergi.” Suara itu terdengar menggema. Kamania merasa tubuhnya melemah, namun ia berusaha memberontak untuk lari. Air mata mengalir di pipi, dengan sekuat tenaga Kamania memundurkan tubuhnya, berusaha tidak menarik perhatian salah satu dari mereka agar ia bisa selamat. Dalam pandangan Kamania yang memburam, rumah sederhananya dan ayah sudah tidak berbentuk lagi. Pecahan ada di mana-mana. Gorden pun tidak luput dari tangan kejam mereka. Apa jadinya kalau ayah melihat ini? Pasti ayah akan marah sekaligus sedih. Posisi Kamania sudah dekat dengan pintu. Tinggal ia berusaha berdiri, lalu lari sekencang-kencangnya dari sini. Kakinya yang lemah nyaris tidak bisa diajak berkompromi, namun Kamania meyakinkan dirinya sendiri kalau ia pasti bisa. Tapi, di saat Kamania pikir ia akan bebas, tiba-tiba saja pukulan mendarat di tengkuknya. Membuat Kamania memekik dengan pilu, sebelum kemudian ia kehilangan kesadaran akibat dari rasa sakit yang tidak bisa ditoleransi oleh tubuhnya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD