Lullaby 07

1362 Words
Rajata langsung duduk di kursi kebesarannya. Sudah ada sebuah map yang tidak tebal di atas meja. Rajata tidak akan heran, sebab ia tahu secekatan apa Indra dalam bekerja. Tidak pernah sekalipun Rajata dibuat kecewa, kecuali untuk sikap Indra yang tidak mudah dibantah jika menyangkut penghuni rumah utama.  Langsung Rajata buka, mata tajamnya memindai dengan penuh ketelitian, membaca apa yang ada di dalam map itu, sementara tangan kanannya mengambil sebuah foto yang berukuran 4R. Kini Rajata telah melihat bagaimana rupa seseorang yang memiliki postur tubuh begitu kecil dengan rambut yang panjangnya sesiku. Sama seperti pertama kali Rajata melihatnya, rambut gadis di foto ini juga berkibar. Ditambah dengan sudut bibir yang melengkung ke atas, juga pandangannya terlihat sadar akan keberadaan kamera. Yang mengherankan, gadis ini memakai seragam sekolah. Rajata jadi meragukan kebenaran dari informasi yang ditemukan Indra. “Semua ini sudah benar?” tanya Rajata begitu mendongak. “Kau tahu akibatnya kalau membohongiku?” “Foto itu diambil diambil sebelum kelulusan. Kamania Arshavina, gadis 19 tahun yang telah menamatkan SMA sepuluh bulan yang lalu. Dari informasi yang saya temui, ia anak dari pasangan Dharma dan Ishana. Mereka telah bercerai karena Ishana berselingkuh di belakang Dharma. Kamania tidak begitu pandai dalam pelajaran, tetapi selalu meraih nilai sempurna dalam bidang seni. Kemampuannya menyanyi berhasil memukau guru serta teman-temannya, bahkan kabar terakhir yang didengar ia ingin mengambil kuliah jurusan vokal.” “Lalu?” “Dibatalkan. Karena perselingkuhan, Dharma jadi membenci apa pun yang berhubungan dengan Ishana. Termasuk suara serta rupa Kamania yang hampir mirip ibunya. Sampai sekarang, Kamania dikurung dan tidak dibiarkan keluar dari rumah, meski hanya di depan teras. Tetangga di sekitar rumahnya sering mendengar kalau setiap malam Dharma pulang dalam keadaan mabuk lalu menghajar Kamania untuk melampiaskan amarah.” Rajata menyandarkan punggungnya pada kursi, masih dengan memegang foto gadis yang bernama Kamania. 19 tahun benar-benar muda. Rajata tidak senang dengan fakta yang baru saja ia ketahui, terlebih dari wajahnya, Rajata bisa menilai pasti akan merepotkan serta menyusahkan. Tapi ... ia membutuhkan suara makhluk kecil yang memiliki kehidupan menyedihkan ini. “Di mana Shaka mengenalnya?” “Dia satu sekolah dengan Tuan Muda Shaka. Keduanya berteman, saat itu Tuan Muda Shaka berada di bangku kelas tiga sementara Kamania kelas satu. Kedekatan mereka membawa perubahan pada Tuan Muda Shaka, yang tadinya sering membolos, menjadi tidak lagi.” “Shaka menyukai makhluk ini,” ujar Rajata terkekeh sinis. “Rendahan sekali seleranya. Bahkan sampai sekarang sepertinya tidak berubah.” Indra hanya diam. Ia tidak punya alasan untuk menanggapi, lagipula mengenai Shaka menyukai Kamania masih belum diketahui kebenarannya. Kecuali fakta mereka berteman itu memang kenyataan adanya. Ditutup Rajata map yang hanya berisi selembar kertas biodata, sedangkan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, lebih tepatnya Rajata tengah berpikir. Di satu sisi ia penasaran, ia ingin kembali mendengarkan suara gadis ini dan akan memastikan apakah benar-benar bisa membuatnya tertidur begitu saja. Sementara di sisi lain, Rajata tidak senang dengan segala macam informasi yang didengarnya. “Apa tindakan selanjutnya, Tuan?” “Menurut kau sendiri?” Indra terlihat tenang, meskipun ia heran. Tujuan mencari informasi Kamania saja Indra belum tahu alasannya apa, apalagi saat ditanya langkah selanjutnya. Tapi, tidak ada dalam kamus seorang Rajata ditanya balik oleh bawahannya sendiri, jadi Indra selalu harus bisa memilah kata-kata. “Saya tidak mungkin lancang mengajukan saran. Lebih bijak lagi Tuan sendiri yang memutuskan.” Rajata mendengkus. “Dapatkan makhluk ini untukku. Ada sesuatu yang ingin kucari tahu, kalau tidak terbukti benar adanya, pikirkan hukuman apa yang pantas dia terima.” Kembali lagi Indra heran, ada salah apa gadis ini? Dari yang Indra temukan, tidak ada sama sekali Kamania bersinggungan dengan Rajata. Yang artian belum bertemu secara langsung satu sama lain. Tapi, rasa penasaran Rajata bukan hal yang biasa terjadi. Tindakannya sama seperti sedang menandai buruannya. “Imimg-imingi orang tuanya uang, agar anaknya bisa kaubawa ke mansion. Aku tidak ingin kau kembali membawa tangan kosong.” “Baik, Tuan,” kata Indra akhirnya. “Bagus.” Barulah Indra membuka buku agenda yang dari tadi hanya dipegangnya saja. “Jadwal Anda berikutnya harus menghadiri rapat dengan para petinggi perusahaan mengenai bangunan perusahaan baru.” Rajata mengangguk sekali, setelah itu tanpa kata ia bangkit. Tangan kanannya sibuk meraba kantong celana, mengeluarkan rokok dan pemantik dari dalam sana. Namun begitu melewati Indra, rokok beserta pemantik itu langsung direbut begitu saja. “Tuan, Anda tahu, merokok dilarang di dalam perusahaan.” Tatapan Rajata begitu tajam, namun ia hanya menoleh sekilas kemudian memilih keluar tanpa ada keinginan untuk memarahi Indra. *** Kamania membuang botol minuman beralkohol. Tidak hanya itu, ia juga membersihkan semua benda-benda yang berhamburan di ruang tamu sampai depan pintu kamarnya. Yang Kamania syukuri, ayah tidak tahu kalau seharian kemarin ia pergi dari rumah. Hanya saja ketidak-beruntungan saat malam selalu menghampiri, kali ini kaki Kamania yang terluka karena dalam keadaan tidak sadar ayah melempar botol alkohol ke dinding, pecahannya tidak sengaja Kamania injak saat mencoba untuk memapah ayah. Lukanya kecil namun cukup dalam, membuat Kamania berjalan dengan tertatih-tatih. Selain dari ini, tidak ada lagi yang bertambah. Mungkin ayah sudah mulai pelan-pelan menahan diri, meski kebiasaan mabuknya tidak berkurang. Selesai dengan semuanya, Kamania mencoba beristirahat. Terlebih luka di kakinya berdarah, hingga mau tidak mau Kamania membuka perban yang ia buat sendiri lalu mencoba menyapunya dengan kapas yang ditetesi alkohol. Rasanya luar biasa perih, sampai membuat Kamania berkaca-kaca dan meringis. Hari ini Shaka tidak datang, karena ini hari pertama Shaka menjadi karyawan di perusahaan kakeknya. Hadiah ulang tahun sang kakek berupa jabatan staf keuangan, katanya satu perusahaan dengan abangnya. Shaka tidak memberitahu Kamania siapa nama abangnya dan Kamania sendiri tidak bertanya, meskipun ia sedikit heran, sebab ia mengira Shaka anak tunggal. Sekarang Kamania jadi bingung bagaimana ia menghabiskan hari. Tidak ada yang bisa ia kerjakan sekarang, benda-benda yang Shaka bawa pun tidak ada di sini, terlebih karena kakinya yang tidak begitu bersahabat. Setelah menarik napas dan mengembuskan perlahan, akhirnya Kamania memutuskan untuk tidur saja. Semoga hari berlalu dengan cepat, karena demi apa pun setelah terbiasa ditemani Shaka, sekarang Kamania jadi merasa sedih dan kesepian. Ini bahkan lebih parah dari awal-awal ia dikurung dulu. *** Saat Kamania terbangun, tahu-tahu lampu kamar sudah menyala. Yang artinya sudah malam. Kamania juga merasakan kalau ada sesuatu di dahinya, membuat Kamania segera meraba dan menemukan handuk yang mulai mengering. Apa Kamania sakit, sampai ada seseorang meletakkan benda ini? Pikirnya. Semua itu langsung buyar saat terdengar suara marah-marah dari luar. Kamania bergegas bangkit, berusaha menguasai rasa pusingnya terlebih dahulu sebelum kemudian pelan-pelan membawa kakinya, yang ternyata membengkak, itu keluar. Di depan pintu, Kamania melihat ayah menunjuk-nunjuk orang dengan perawakan tinggi tegap. Dengan suara yang terdengar menakutkan milik ayah, orang itu sama sekali tidak terlihat gentar. Ia justru tenang dengan posisi terbaiknya, berdiri dengan kedua tangan berada di sisi tubuh. “Tentu saya tidak datang dengan tangan kosong ke sini,” katanya setelah berhasil membuat ayah terengah-engah karena banyak menghabiskan tenaga. “Atasan saya akan memberikan Anda banyak uang, asal anak gadis Anda saya bawa.” Kamania terkejut. Ia bahkan membekap mulutnya, agar tidak menciptakan pekikan yang tanpa disadari oleh dirinya sendiri. Seumur-umur, Kamania baru pertama kali melihat orang ini, tapi kenapa tiba-tiba ia ingin membawa Kamania? Padahal mereka belum pernah bertemu satu sama lain. “Anakku bukan barang! Pergi, berengsek! Uang kalian sama sekali tidak dibutuhkan di sini. Katakan pada atasanmu, jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan Kama!” “Ini bukan mengarah ke sana, atasan saya hanya ingin mengkonfirmasi sesuatu. Tanpa putri Anda, jelas tidak akan bisa. Lagipula, saya bisa menjamin putri Anda akan pulang dalam kondisi tidak kurang satu pun.” “Kau tuli?” Ayah mendekat kemudian tanpa pikir panjang melayangkan pukulan serta mendorong. “Aku tidak menerima segala jenis alasan! Pergi!” Namun yang mengagumkan, orang itu terlihat tidak roboh bahkan mundur sama sekali. Ia hanya menurut saat ayah mengusirnya di depan pintu, bahkan tidak berniat menerobos sampai pintu tertutup kembali dengan bunyi debuman yang kencang. Kamania bergegas kembali ke tempat tidur, meskipun tidak mudah. Ada banyak pertanyaan yang menggelayuti. Mulai dari kenapa ayah bisa pulang lebih awal dari biasanya, sampai maksudh kedatangan orang tadi. Namun semuanya terpaksa Kamania tahan, sebab tiba-tiba terdengar bunyi langkah mendekat dan Kamania bergegas untuk menaruh handuk kembali di dahinya lalu pura-pura tertidur, seolah tidak tahu apa yang terjadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD