Kamania terbangun di kamar yang asing. Ia terlalu pusing, bingung dan takut, sampai-sampai setelah membuka mata, Kamania langsung bangkit. Penglihatannya berputar sesaat, namun ia berusaha menahannya.
Saat Kamania menoleh ke samping, ia menahan napas karena begitu kaget mendapati seseorang tengah mengawasinya. Dengan tatapan yang tajam, kedua kaki saling bertumpu satu sama lain, juga wajahnya yang datar tanpa ekspresi. Aura pria itu membuat Kamania terancam, perasaannya tidak nyaman dan ia ingin pergi dari sini.
Kamania beringsut ke sisi lain bersiap akan melarikan diri, tapi rupanya tindakan Kamania itu sangat salah sekali, karena pria itu justru berdiri dan menghampirinya. Sekarang, ia tepat berada di depan Kamania. Seolah tanpa mengeluarkan suara saja ia sangat bisa mengintimidasi. Kamania dibuat mengkerut di posisinya.
Bibir Kamania bergetar, dengan mata yang perlahan mulai berkaca-kaca. Jantungnya berdetak tidak tenang, Kamania merasa tersesat, ia tidak tahu di mana ia berada dan juga siapa pria ini. Karena ini pertama kali mereka bertemu, lagipula Kamania merasa tidak pernah membuat kesalahan dengan siapa pun.
“Lakukan itu!”
Tubuh Kamania memberi refleks dengan cepat. Ia terperanjat mundur, seraya mendongak dengan takut-takut. Saat tatapan mereka bertemu, Kamania langsung memutuskan detik itu juga, karena ia merasa seperti akan ditelan bulat-bulat.
“Aku perlu memastikan sesuatu, itu sebabnya kau ada di sini.”
Dengan jelas Kamania mendengar apa yang diucapkannya. Tapi Kamania seolah kaku, jangankan untuk menjawab, menggerakkan tangan saja rasa sulit sekali. Terlebih yang ada di pikirannya sekarang hanyalah pergi dari sini. Lalu rumah, terakhir yang Kamania ingat rumahnya dirusak oleh orang yang tidak dikenal. Juga Shaka, pasti sekarang Shaka panik mencari keberadaannya, Kamania yakin itu.
“Hey, kau mendengar apa yang kuperintahkan? Lakukan itu!”
Kamania menggeleng untuk alasan yang ia sendiri pun tidak tahu. Selanjutnya Kamania mencoba memperpanjang jarak di antara mereka, namun pria di depannya semakin tidak menyukai tindakan Kamania. Kakinya tiba-tiba ditangkap, dicengkeram dengan erat sampai membuat Kamania meringis lalu memberontak, Kamania juga memukul tangan pria itu bertubi-tubi.
“Kau berani melakukan ini padaku, makhluk kecil?” Suara pria itu terdengar rendah namun jauh lebih mengerikan daripada makian. Pria itu perlahan menunduk, menatap Kamania dalam-dalam. “Siapa yang bisa menebak, tangan sekurus ini bisa bertindak lancang. Sejauh ini, tidak ada satupun yang berani menyentuhku, kau orang pertama.”
Gelengan cepat pertanda Kamania tidak akan mengulanginya lagi. Ia meminta maaf dalam hati seraya melayangkan tatapan paling menyedihkan, berharap belas kasihan. Air mata mengalir di pipi, bibirnya yang tidak berhenti bergetar harus digigit keras-keras.
“Tidak ada gunanya menangis. Aku bukan orang yang mudah termakan dengan jenis tipuan semacam itu.” Dengan sekali sentakan, Kamania ditarik agar berdiri. Perbedaan tinggi badan yang jauh membuat Kamania dipaksa mendongak dan dagunya ditahan agar tetap dalam posisi itu. “Sebelum aku mendapatkannya, kau tidak akan bisa bebas.”
Apa yang pria ini inginkan? Kamania ingin sekali bertanya, tapi keberaniannya tidak ada. Ketidak-jelasan dari perintah, membuat Kamania sangat tidak mengerti. Amarah pria itu pun bisa dikatakan tidak berdasar, tujuannya semata-mata ingin mengintimidasi Kamania. Sayangnya Kamania benar-benar terintimidasi.
Di hidupnya, hampir setahun belakangan hanya ada ayah, ayah, kekerasan, kekerasan dan Shaka. Lalu, orang di depannya ini juga tiba-tiba muncul begitu saja, menambah daftar kerumitan yang ada. Kamania yang sudah rentan dengan segala jenis tindakan kekerasan, jelas dengan mudahnya terpuruk. Ia lemah dan tidak berdaya. Kekuatan apa yang ia punya untuk melawan? Sementara orang yang menyakitinya selalu mempunyai tenaga serta tubuh yang besar.
“Cepat lakukan, berengsek!”
Kamania semakin terisak. Dengan tersendat-sendat Kamania menggerakkan tangannya, “Me–melakukan ... a–pa?”
Namun Kamania lupa, beberapa orang tidak mengerti bahasa isyarat. Jadi, alih-alih gerakan tadi berhasil menyampaikan pertanyaannya yang dibalut dengan rasa takut, yang ada justru Kamania disentak begitu saja sampai ia termundur beberapa langkah.
Raut marah bercampur kecewa begitu jelas terpancar di wajah pria itu. “Kau pikir aku lelucon? Aku menyuruhmu bernyanyi! Bukan untuk mengejekku dengan gerakan-gerakan sialan itu!”
Langsung Kamania membekap mulutnya dengan kedua tangan, kemudian ia menggelengkan kepala dengan cepat, karena tidak mau. Alasan kekerasan yang diterimanya ternyata karena nyanyian. Kamania tidak tahu, apakah ia harus lebih sedih lagi atau menyesali kenapa bisa sampai orang ini mendengarnya bernyanyi.
“Kau mau bertindak seperti seseorang yang bisu?! Asal kau tahu, itu sama sekali tidak bisa membohongiku, karena aku pernah mendengar suaramu. Jangan mempersulit diri sendiri. Kau yang memulai semua ini. Kalau saja bukan karena kau bernyanyi, aku tidak akan mungkin mengotori tanganku dengan tindakan-tindakan tidak berguna.” Pria itu tiba-tiba mendongak, kepalanya memiring ke kanan dengan mata memejam. “Kau dan ayahmu ... kalian punya sifat yang––berengsek!”
Mata Kamania memejam mendengar umpatan yang baru saja keluar. Bukan, umpatan itu bukan ditujukan untuknya, tapi untuk sesuatu yang tiba-tiba saja berbunyi. Berikutnya Kamania tahu kalau sesuatu itu ternyata ponsel. Milik pria itu sendiri. Kamania bersyukur karena bisa terlepas dari kata-kata menyakitkannya.
“Kau tahu, ini bukan waktu yang tepat?” sahut pria itu. Nada suaranya terdengar menusuk, membuat Kamania mengepalkan tangannya. Kedua kaki Kamania menekuk, ingin sekali pergi namun ia takut sedikit saja bergerak, maka ia akan diseret lalu dipukuli habis-habisan. “Kau ada untuk mengatasi sesuatu yang tidak bisa kutangani saat aku sibuk! Sekarang dengan ringannya kau memintaku ke perusahaan setelah aku mengatakan jangan mengganggu untuk beberapa jam ke depan?”
“...”
“Kau akan tahu akibatnya saat aku tiba nanti.” Pria itu menjauhkan ponsel dari kupingnya. Terlihat gerak-geriknya seperti akan membanting benda itu, tapi tidak jadi entah karena alasan apa. Selanjutnya pria itu kembali menatap Kamania, dengan telunjuk tertuju pada Kamania juga raut muka yang semakin menakutkan. “Kau lepas kali ini. Saat aku kembali nanti dan aku masih menemukan kekeras-kepalaanmu masih belum luntur, lihat saja apa yang akan terjadi.”
Tidak sedikit pun Kamania mau mendongak. Ia hanya menunduk seraya kembali memejamkan mata erat-erat. Posisinya seperti patung dengan kedua tangan masing-masing di sisi tubuh, keringat terasa di sana saking lamanya Kamania mengepal.
Hingga yang terdengar selanjutnya adalah langkah kaki menjauh lalu bunyi pintu dibuka kemudian dibanting setelahnya. Sampai beberapa menit terlewat, Kamania masih bertahan dengan posisinya. Saat merasa tidak sanggup lagi, Kamania langsung luruh begitu saja dengan kaki ditekuk. Ia menangis keras, terisak-isak menumpahkan semua perasaan ketakutannya.
***
Shaka meremas rambutnya kemudian memukul setir mobil karena marah. Ia terus-terusan menyalahkan diri atas hilangnya Kamania. Kalau saja Shaka tidak memenuhi permintaan kakeknya untuk bekerja di perusahaan, tidak akan mungkin Shaka lepas pengawasan terhadap Kamania.
Ini sudah lebih dari 24 jam sejak Shaka menemukan rumah Kamania yang berantakan, bahkan bisa dibilang benar-benar dirusak, karena kaca-kaca bertebaran di lantai, semua lemari dirobohkan dengan isinya habis dikeluarkan, juga kursi-kursi patah.
Shaka hanya bisa terlelap beberapa jam, ia mencari Kamania dari kemarin sampai siang ini, namun tidak menemukan jejak. Shaka juga lupa apakah ia sudah makan atau belum, bahkan ia rela tidak pergi bekerja serta melewatkan kesempatan bertemu abangnya di rapat hari ini, demi mencari Kamania.
Motif hilangnya Kamania tidak jelas. Bisa dibilang dari pengamatan Shaka, ayah Kamania pun tidak tahu. Yang jelas tadi malam ayah Kamania berlari seperti orang kesetanan ke sana ke mari dan berakhir pulang ke rumah setelah beberapa jam. Shaka hanya melihat dan membuntuti, ia belum bisa menghampiri karena tentu saja akan menjadi masalah.
Ada banyak asumsi sekarang. Mulai dari pencuri, musuh ayah Kamania sendiri, sampai ibunya. Tapi, Shaka masih belum yakin. Sebab dua di antara ketiga alasan sangat lemah. Di rumah Kamania tidak mempunyai harta yang berharga. Terlebih lagi ibunya Kamania sudah lama pergi, kemungkinan kembalinya juga sangat kecil. Asumsi terakhir ini terdengar lebih masuk akal sebenarnya.
Di saat Shaka sibuk dengan pikirannya sendiri, bunyi getaran ponsel di dashboard menyadarkan. Segera ia meraih benda tipis itu lalu mengangkatnya. “Halo, Pa.”
“Anak kurang ajar! Berani-beraninya kau melewati rapat penting hari ini! Bagaimana kau bisa mendapatkan dukungan, sementara mencari muka dengan petinggi saja belum pernah kau lakukan!”
Shaka menghela napas berat, lebih ke mendengkus sebenarnya. “Nanti, di rapat selanjutnya, Pa.”
“Tidak ada nanti! Sekarang temui aku, kau akan ikut makan siang bersama manajer dari beberapa divisi. Saatnya kau mengakrabkan diri, untuk mencari dukungan.”
“Pa, ada beberapa urusan yang penting, saya tidak bis–”
“Mau sampai kapan kau menjalani hidup sesukamu? Shaka, sadarlah. Posisimu kalah jauh dibandingkan Rajata. Seujung jari kelingkingnya pun kau tidak memiliki ambisi sepertinya. Kalau terus-terusan seperti ini, makin lama kau makin diinjak-injak. Makin tidak ada harga dirinya di mata opa-mu.”
Ini sebenarnya yang membuat Shaka muak. Ayahnya ingin Shaka melampaui Rajata, begitu juga mamanya. Tapi sayang, niat Shaka tidak sejalan dengan mereka. Namun karena Shaka terlalu menghormati keluarganya, maka menolak berada di daftar urutan ke sekian.
“Ya sudah. Kirim alamatnya, saya langsung ke sana.”
Panggilan dimatikan detik itu juga. Shaka tanpa membuang waktu untuk melemparkan ponselnya pada jok samping. Sekali lagi ia memukul setir mobil, sebelum kemudian menjalankannya dengan ekspresi datar.
***