Selama perjalanan, Kamania menatap sendu pada apa yang mereka lalui. Jika sebelumnya tadi ia berbinar-binar, takjub bahkan mungkin bahagia, maka sekarang tidak lagi. Hatinya ... kembali pada realita. Ia pulang lalu rasa bersalah memenuhi benaknya. Pertama ia keluar dari rumah, lalu kedua yang mati-matian Kamania pertahankan sekarang dilanggar juga, bersuara.
Di depan Shaka, Kamania serius mengatakan tidak ingin berbicara. Tetapi saat tidak ada Shaka, entah kenapa rasanya keinginan untuk bernyanyi itu muncul dengan kuat. Kamania tadi bahkan sampai meneteskan air mata, saking rindunya ia bernyanyi. Sebab itu adalah hobi sekaligus cita-citanya, yang dulu didukung penuh namun kini dilarang keras.
Kepalanya bersandar pada jok. Rasa sesak kian merayap ketika jarak pada rumah semakin dekat. Ini benar-benar mimpi, ia bersenang-senang dan merasa bebas, lalu semuanya berakhir setelah terbangun. Kalau saja Kamania tahu sesedih ini rasanya, lebih baik dari awal ia tidak menyetujui ajakan Shaka.
Lengan Kamania disentuh pelan, membuat Kamania tersadar. Segera ia menoleh ke arah Shaka, kemudian bertanya lewat tatapan matanya.
Shaka menyempatkan menatap Kamania lama, seakan ingin menelisik lebih dalam pada mata Kamania. Setelah itu ia kembali pada fokus menyetirnya. Ada jeda beberapa saat, sebelum kemudian Shaka bersuara, “Kama ... bagaimana hari ini? Aku minta maaf karena list terakhir kita tidak terwujud, opa dan oma pergi, kamu tidak sempat bertemu mereka.”
Kamania menggeleng, ia menggerakkan tangannya, “Tidak apa-apa, Shaka. Terima kasih untuk semuanya. Kama ... senang sekali.”
“Kalau kamu merasa ...” Shaka berdehem sejenak. “Apa sebaiknya ... kita putar balik saja?”
“Jangan!” gerak Kamania refleks. “Shaka ... Kama tidak apa-apa.”
“Aku akan melindungimu, Kama. Aku bersumpah!”
“Kama aman di sana. Shaka jangan khawatir. Lihat, selama ini Kama baik-baik saja. karena memang di sana tempat Kama.”
Rasanya Shaka tidak terima mendengar kata ‘baik-baik saja’, sementara kondisi Kamania menunjukkan yang sebaliknya. Jejak ungu kehitaman itu masih ada, dan akan bertambah setiap malamnya. Padahal dilihat dari fisik, Kamania adalah gadis yang rapuh. Tapi, siapa yang menyangka kondisinya sekuat ini.
“Kenapa kamu selalu memikirkan ayahmu? Sementara dia sama sekali tidak memikirkan putrinya, bahkan sampai tega menyakiti darah dagingnya sendiri seperti ini.”
“Karena ayah hanya punya Kama. Kalau Kama juga pergi, mungkin ayah akan lebih buruk lagi daripada ini.”
“Tapi itu pun tidak bisa dijadikan alasan untuk kamu bertahan, Kama ...”
Kamania tidak punya jawaban lagi. Bibirnya terkantup rapat, begitu juga tatapannya yang cenderung kosong menatap depan. Kedua tangan Kamania saling meremas, menandakan ia resah namun juga merasa serba salah.
Shaka mengembuskan napas. Pada akhirnya, pembicaraan tentang ini akan selalu berakhir seperti ini. Bukan dikarenakan kurangnya ajakan, tapi Kamania sendiri yang enggan. Lihat betapa keras kepala sekali gadis ini. Tapi anehnya, Shaka tidak bisa menjadi sosok yang penguasa bahkan pemaksa di mata Kamania.
***
Rajata memasuki mobil dengan wajah datar. Sementara itu, setelah menutup pintu, Indra langsung menempati jok samping pengemudi. Mobil perlahan mulai keluar dari halaman luas kediaman Ardian Adyatama.
“Anda menghabiskan waktu lumayan lama di dalam.”
Rajata mendengkus kemudian mengalihkan tatapan pada jalanan yang mereka lewati. “Aku bahkan tidak bertemu para orang tua itu karena mereka tidak ada di rumah,” katanya dengan nada rendah dan tenang.
“Mereka kakek dan nenek Anda.”
Tidak ada jawaban. Kedua kaki Rajata saling menumpu, dengan punggung tegap yang kini disandarkan. Matanya memejam sesaat, mencoba mengingat kembali bayangan samar seseorang dengan suara unik dan ajaib itu, namun nihil. Ia sama sekali tidak memiliki gambaran, karena ini pertama kalinya ia melihat ada seseorang dengan tubuh yang begitu kecil berada di rumah utama. Atau ... Rajata sendiri yang telah melewatkan sesuatu?
“Indra.”
“Ya, Tuan?” jawab Indra tanggap.
“Aku butuh informasi seseorang. Besok pagi semua itu harus sudah ada di mejaku.”
“Baik. Akan saya cari.”
“Kau bisa melihat cctv di rumah utama. Ia datang bersama ...” Sesaat Rajata terdiam, ia mengingat-ingat nama sepupunya yang sudah lama tidak ditemuinya. Atau yang lebih tepatnya, Rajata menghindari mereka. “Wishaka.”
“Baik.”
Selanjutnya tidak ada lagi pembicaraan, bahkan sampai tiba di rumah Rajata sendiri. Mereka melangkah dengan Indra berada di belakang Rajata. Begitu di depan pintu, sudah ada yang membukakan bahkan menyambut Rajata dengan hormat. Juga tanpa diperintah pun, kepala pelayan yang bernama Megan itu dengan sigap mengambil alih jaket yang Rajata kenakan.
Mereka langsung menuju ruang kerja Rajata. Dengan suara Indra yang terdengar memerintah Megan untuk membuatkan secangkir kopi untuk Rajata.
Tiba di ruangan yang didominasi warna cokelat tua, Rajata langsung mengambil tempat duduk pada sofa tunggal. Dengan kedua kaki terangkat, sama sekali tidak ada rasa sopan-santunnya dengan Indra yang notabenenya berusia enam tahun lebih tua dari Rajata.
Matanya memejam, dengan kepala yang mulai berdenyut akibat kurangnya jam tidur. Cekungan mata nampak jelas di wajah Rajata. Orang yang baru melihatnya bisa saja menyimpulkan Rajata seorang pecandu narkoba. Bibirnya yang berwarna merah muda namun cenderung pucat mendukung segalanya. Tatapan Rajata yang tajam menambah daftar tuduhan yang ada. Namun sejauh ini, tidak ada yang berani melayangkan tatapan semacam itu secara terang-terangan.
“Anda terlihat kurang baik belakangan ini.”
Rajata tak menjawab. Ia memiringkan kepalanya dengan kondisi yang masih sama. Bagi Indra, Rajata adalah orang yang mudah tidur. Di mana pun berada, saat Rajata menutup mata, maka Indra simpulkan kalau ia sedang tidur. Namun kenyataannya, sama sekali tidak. Rajata hanya ingin terlihat demikian, karena selain memang tidak bisa tertidur, lebih menyukai menajamkan pendengarannya daripada melihat wajah-wajah banyak orang.
“Perlu saya atur jadwal bertemu dokter?”
“Tidak.”
Suara ketukan menginterupsi. Keheningan melingkupi sesaat begitu terdengar pintu dibuka dan langkah seseorang mendekati mereka. Bunyi nampan yang diletakkan di atas meja, berikut cangkir yang sepertinya berada tidak begitu jauh dari kaki Rajata.
Selesai tugasnya, Megan langsung pamit undur diri. Barulah Rajata mau membuka matanya. Ia menatap gelas kopi yang mengepulkan asap lalu berpindah pada Indra yang terlihat tenang di tempatnya duduk.
“Minum itu.”
Indra menatap Rajata, tidak lama setelah itu ia mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya, lalu segera menuruti perintah Rajata.
Indra benar-benar melakukannya dengan baik. Bahkan dengan santainya Indra meminum kopi itu tanpa ditiup. Ekspresinya sama sekali tidak berubah, tetap tenang sampai meletakkan cangkir kembali ke atas meja.
Rajata mengangguk dengan tatapan yang memancarkan kepuasan. Setelah hal menarik yang baru saja terjadi, barulah Rajata menurunkan kakinya dan menegakkan punggung. “Rambutnya panjang. Tubuhnya ... kecil.”
Indra diam, lebih tepatnya mendengarkan informasi yang disampaikan Rajata. Tuan mudanya memang seperti ini, selalu tidak terduga dengan segala perintahnya. Rajata tidak pernah memiliki tatapan bersahabat, semua orang dipandang layaknya musuh atau mangsa.
“Terlebih ... suaranya. Aku membutuhkan itu.”
Sedikit sulit memahami informasi yang disampaikan Rajata. Untuk lebih mudahnya, Indra akan langsung memeriksa cctv rumah utama. Mungkin sehabis dari sini ia langsung menuju sana, karena seseorang yang bernama Rajata, jika sudah meminta, maka harus tersedia sedetail-detailnya di waktu yang sudah ditentukan.
“Saya mengerti, Tuan.”
“Bagus. Sekarang kau boleh pergi.”
Segera Indra mengangguk kemudian bangkit. “Saya akan meminta Megan untuk menyiapkan minuman suplemen dan vitamin untuk Anda. Besok pagi saya datang seperti biasa, membacakan jadwal lalu berangkat ke kantor.”
Hanya kibasan mengusir sebagai respon. Rajata juga berisyarat dengan tatapan tajamnya untuk segera menyingkirkan gelas kotor dari hadapannya sebelum Indra benar-benar pergi.
***