Suara pintu terbuka, reflek membuat Tarendra melihat ke arah pintu. Dia langsung menuju ke arah Adhia, yang tampak kebingungan melihatnya duduk di lantai, kemudian memeluknya erat.
"Kamu kenapa?"
"Kupikir kamu pergi, tinggalin aku, entah ke mana." Masih dipeluknya tubuh imut itu. Tercium harum sabun, Adhia pasti sudah mandi.
"Tadi ke warung sebentar, beli telur. Aku masakin telur orak-arik saja yang praktis." Adhia berusaha melepaskan pelukan Tarendra, tapi sungguh sulit. Dia dipeluk erat sekali.
"Ren... aku gak bisa bergerak nih, nafasku juga jadi susah gini. Lepasin dong. Mandi dulu gih, habis itu kita sarapan bareng ya." Didorongnya tubuh Tarendra.
"Iyaa, aku mandi." Segera dia ngibrit ke kamar mandi dan mandi secepat dia bisa. Dia harus minta maaf atas kelakuannya kemarin. Menjelaskan pada Adhia kenapa dia bisa bersikap kekanakkan seperti itu.
"Di..." Tarendra mengambil tangan mungil istrinya. Diciumnya pelan.
Adhia melihatnya dengan santai. Mulutnya asyik mengunyah sarapan.
"Euum... ya.... Ada apa?"
"Aku mau minta maaf atas sikapku semalam. Aku yang salah, karena sudah bersikap sungguh kekanakkan. Tapi malah marah sama kamu. Maafin aku ya...." Rayunya.
"Aku juga minta maaf karena sudah bicara seperti itu. Aku tidak mempermasalahkan uangnya, Ren. Kamu mau pakai untuk minum kopi di kafe juga gak papa. Tapi aku cuma ingin diperlakukan layaknya seorang istri. Diakui. Itu saja kok."
"Kita akan lalui ini bersama kan, Di? Jangan tinggalkan aku ya."
Berdua mereka melanjutkan sarapan dalam diam.
"Eh iya, Mbak Tyas bilang ada lowongan di bengkel temannya Mas Dino. Nanti sepulang dari kampus aku ke bengkel itu ya, mau ketemu pemiliknya. Kalau dia cocok, aku bisa secepatnya mulai bekerja. Jadi gak cuma kamu yang kudu banting tulang, Di. Itu sepantasnya jadi tugasku, tanggung jawabku. Doain ya..."
***
Tarendra menelan ludah, saat berhadapan dengan lelaki pemilik bengkel kenalan kakak iparnya itu. Lelaki itu masih muda, sepertinya usianya di pertengahan tiga puluh. Tapi bengkel yang dikelolanya, lumayan maju. Banyak kendaraan baik roda dua ataupun roda empat yang ada di situ. Entah untuk servis atau malah hanya sekedar untuk melihat pemilik bengkel yang terkenal ganteng.
Dia dengar cerita dari kakak iparnya itu, kalau suami istri pemilik bengkel terkenal ganteng dan cantik. Dan sekarang dia membuktikannya. Belum bertemu dengan sang istri calon boss sih, tapi sepertinya kabar itu benar.
Setelah mengobrol sebentar dan dilanjutkan dengan tawaran upah yang diterima selama dia masih dalam masa percobaan, Tarendra menarik nafas lega. Akhirnya, lepas satu beban dengan dia mendapatkan pekerjaan. Dia tidak peduli walau hanya bekerja di bengkel, memakai baju bengkel bukan memakai kemeja yang rapih dan wangi. Bekerja berlumur oli bukan diruangan ber-ac yang nyaman. Yang penting, pekerjaannya halal. Dan dia bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Saat akan berpamitan, tetiba pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang perempuan berpakaian sangat sopan, memakai gamis dan berhijab syari, bersama kedua anak kembar perempuan yang sangat cantik. Tarendra melihat ke arah perempuan itu dengan takjub. Memang benar, istri bos sungguh cantik! Cocok sekali dengan pak bos yang sangat ganteng. Adhia cantik, tapi ibu bos jauuuh lebih cantik. Terawat.
Dilihatnya perempuan itu mencium punggung tangan suaminya dengan sopan. Kedua anak kembarnya pun demikian.
"Eeh... ada tamu toh?" Saat Tarendra mengangsurkan tangan berniat untuk bersalaman, perempuan super ayu itu hanya menangkup kedua tangannya di depan d**a dan sedikit tersenyum. Tapi sedetik kemudian keningnya berkerut, seperti memikirkan sesuatu.
"Bun, ini orang yang dibilang sama Mas Dino semalam. Adik iparnya. Mulai besok akan kerja di bengkel kita." Kata pak bos.
"Ooh..., kamu adiknya Mbak Tyas ya?" Perempuan ayu itu manggut-manggut.
"Eeh tapi kalau kamu adiknya Mbak Tyas, berarti kamu putranya Pak Soemitro?"
Tarendra menelan ludah dan mengangguk. Kalau dia tahu papa, berarti aku harus menjelaskan kenapa aku bekerja di sini sebelum dicurigai.
"Loh... kok... emm... kenapa kamu mau bekerja seperti ini? Di sini?" Tanya istri calon bos, penasaran.
"Sebentar, saya akan minta anak-anak keluar dulu." Istri bos segera membawa putri kembarnya keluar ruangan itu, kemudian tampak bercakap sebentar dengan salah satu karyawan. Sebelum ke ruangan lagi, terlihat dia sibuk memberi instruksi pada seorang anak laki yang asyik mengganggu pekerjaan karyawan lain. Terpaksa, salah satu karyawan bertugas untuk khusus mengawasinya.
Setelah istri bos itu masuk ruangah, mau tak mau, Tarendra menceritakan tentang kisah hidupnya selama enam bulan ini. Kenapa nekat mencari kerja padahal berasal dari keluarga kaya raya. Tak lupa cerita tentang Adhia, secukupnya. Untuk saat ini, semakin sedikit orang tahu tentang Adhia, mungkin akan semakin baik.
Usai cerita, dilihatnya istri bos mengangguk-angguk, entah memikirkan apa. Semoga saja hal yang baik. Dia butuh pekerjaan agar bisa punya penghasilan. Dan Tarendra tersenyum senang, saat bosnya berkata dia bisa mulai bekerja besok. Segera dia pulang dan akan mengabarkan kabar gembira ini pada Adhia.
"Dia anak muda yang hebat ya bun!" Kata si pemilik bengkel pada istri ayunya itu.
"Hebat di apanya? Menurutku lebih tepat nekat sih."
"Looh hebat lah dia. Karena tidak mau berbuat zina, dia menikahi Adhia. Rizki mah sudah diatur bun, gak akan tertukar. Coba deh, umur belum genap dua puluh satu, tapi sudah berani mengambil keputusan seperti itu."
"Itu mah nekat, Mas. Lah sekarang buktinya, dia kelabakan kan? Selama lima bulan ini kan istrinya yang bekerja. Hebat sama nekat beda tipis sih." Jawab istrinya.
"Jadi keinget kita pas masa lalu, bun! Coba kalau kamu gak pakai ngambek, gak pakai kabur dariku hampir tiga tahun, kita pasti akan menikah di saat umurku belum dua puluh lima loh. Dapetin maaf sama kepercayaanmu susah banget sih bun. Untunglah aku gak tergoda cewek-cewek cantik di luaran sana. Udah mentok di kamu sih! Jawaban doaku." Tiba-tiba, si pemilik bengkel itu, memeluk istrinya dari belakang. Teringat perjuangannya yang penuh liku saat hendak menaklukkan perempuan yang dicintainya ini.
"Halaaah kamu, Mas! Kenapa jadi pinter ngerayu gini? Udaah ah, jangan ingetin masa lalu, jadi geli tahu. Tuh, buntut kita aja udah tiga. Udah tua kita, Mas!" Perempuan ayu itu berbalik, mencium suaminya kilat, sebelum anak-anak mereka datang dan mengomel melihat mereka bermesraan.
Benar saja, saat mereka sedang bermesraan, si bungsu yang masih berusia empat tahun menjerit marah melihat bundanya dipeluk sang ayah.
"Ayaaah Iyaaaas.... itu nda dedek. Awasss..." Badan montoknya segera saja berada di tengah antara ayah dan bundanya dan menatap Ilyas tajam seperti mengajak berkelahi. Membuat Ilyas dan istrinya tertawa geli.
"Rasain deh, Mas, punya saingan. Dulu aku saingan sama si kembar kalau deket kamu, sekarang kamu saingan sama si adek." Bisik istrinya sambil tertawa. Sementara Ilyas hanya bisa tersenyum kecut melihat tatapan ajakan berperang dari si bungsu. Jagoannya itu tidak pernah mau berbagi bundanya. Prinsipnya hanya satu: bundamu bundaku, bundaku ya bundaku, bukan bunda kakak, bukan bunda ayah Iyas! Bunda cuma untuk adek!
Yaaa, ini Bengkel Surya. Yang sekarang dikomandoi oleh Ilyas, menggantikan almarhum ayahnya. Ilyas, si manusia kaku, sudah mempunyai anak tiga orang, hanya dari satu istri yang sungguh dicintainya. Ilyas yang itu!