Sudah hampir tiga bulan Tarendra bekerja di bengkel Surya. Bosnya lumayan puas dengan hasil kerjanya. Kehidupan rumah tangganya bersama Adhia juga semakin membaik. Mereka bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung. Adhia memang istri yang cerdas. Apalagi sekarang Adhia sedang hamil. Mereka baru tahu kabar gembira itu beberapa hari lalu saat berkunjung ke coffee shop Tyas, beberapa kali Adhia ke kamar mandi mengeluh perutnya mual.
Tyas yang sudah punya anak tentu saja curiga. Dan karena adiknya yang masih sangat muda, apalagi iparnya yang sangat belia dan polos - keduanya mengira Adhia masuk angin saja karena telat makan - Tyas memaksa Adhia untuk mencoba test pack. Saat ditanya kapan terakhir datang bulan pun Adhia hanya menyengir saja, lupa katanya. Karena terlalu sibuk bekerja di toko kue yang semakin maju dan mengurusi suami manjanya.
Dan kecurigaan Tyas terbukti saat Adhia keluar dari kamar mandi sambil menangis sesenggukan. Langsung memeluk Tarendra yang tentu saja kebingungan melihatnya. Adhia menyodorkan test pack itu, terlihat dua garis. Semua berucap syukur alhamdulilah. Bahkan Tarendra langsung bersimpuh di hadapan Adhia, kemudian mencium perutnya penuh sayang.
"Ren, tanggung jawabmu semakin besar dengan akan hadirnya calon bayi kalian. Kamu harus bisa melindungi Adhia dan anak kalian. Kakak takut, kalau mamamu tahu, dia akan mengintimidasi Adhia. Istrimu itu masih sangat belia. Dia juga belum tahu sifat mamamu. Layaknya kewajiban seorang suami, kamulah yang harus melindungi Adhia dan anakmu. Jangan jadi seorang pengecut seperti papa, yang bahkan tidak mau melindungi kami."
Tyas menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan perkataannya, "Kalau ada apa-apa, kabari kakak ya. Kakak akan bantu semampu kakak." Pesan Tyas pada Tarendra saat adiknya berpamitan pulang. Tarendra berjanji, pasti akan melindungi istri dan anaknya. Harus! Itu kewajibannya.
Menginjak kehamilan delapan bulan, dengan perut membuncit, Adhia tetap aktif bekerja. Pemilik toko sampai bingung, karena sepertinya Adhia tetap aktif beraktivitas seperti biasa. Disuruh banyak beristirahat, dia tidak mau. Tetap lincah dengan tubuhnya yang imut.
Menjelang sore, saat akan pulang, ada sebuah mobil mewah berhenti di depan toko kue. Si supir membukakan pintu penumpang dengan sopan. Keluarlah seorang perempuan usia pertengahan empat puluh, terlihat sangat necis, sangat perlente, sangat angkuh. Dilewatinya pintu kaca toko kue itu. Matanya memindai sekeliling toko. Sedikit mencemooh. Huuh, untuk kelas bawah!
Toko kue itu bukanlah sebuah toko kue mewah yang menjual cake, bakery dan pastry untuk kalangan orang kaya dan berduit banyak. Toko kue itu hanyalah toko kue biasa tapi didesain dengan hangat agar siapapun yang datang bisa menjadi betah dan menikmati kue yang dijual. Rasa produknya enak, untuk kue-kue yang dijual dengan harga terjangkau, rasa kue toko itu enak. Ibaratnya, beyond expectation.
Tergopoh, salah satu karyawan mencari Adhia di dapur. Bilang bahwa ada seorang pelanggan yang ingin bertemu dengannya. Adhia melepas celemek yang dipakainya. Mematut sebentar di depan cermin agar pantas bertemu dengan pelanggan. Perut besarnya membuatnya agak susah berjalan sekarang.
"Maaf, saya Adhia. Ibu ingin bertemu saya?" Tegurnya sopan pada tamu yang sedang duduk sambil mengamati sekeliling. Adhia tampak heran mengapa ada seorang perempuan kaya yang mencarinya. Wajahnya, sekilas, mirip seseorang. Tapi dia abaikan saja.
Ibu kaya itu melepas kaca mata hitamnya dengan anggun. Memindai perempuan di depannya. Cantik, imut, sederhana. Pantas saja Tarendra jatuh cinta padanya. Keningnya berkerut saat melihat perut besar Adhia.
"Kamu Adhia?" Tanyanya dengan nada yang tidak ramah.
"Iya, bu. Saya Adhia." Adhia menjawab manis. Sudah biasa baginya menerima cemooh dari orang lain yang memandangnya remeh.
"Dengarkan ini, saya hanya akan berkata satu kali saja! Jauhi Tarendra! Kamu tidak pantas untuknya. Kamu tidak punya asal usul yang jelas. Kamu bukan dari kaum kami. Kamu pasti hanya ingin uang kami saja kan? Nih...!! Uang ini bisa kamu pakai untuk menghidupi kamu dan anak yang kamu kandung itu selama beberapa tahun!" Ibu itu dengan pongahnya melemparkan selembar kertas segi empat kecil ke arah Adhia. Selembar cek!
Adhia menarik nafas, beristighfar dalam hati. Tyas pernah sekilas cerita tentang mamanya Tarendra. Tyas sudah wanti-wanti berpesan padanya agar jangan sampai terintimidasi oleh mamanya Tarendra. Well, dia sudah sering, teramat sering malahan, jika dihina dan dicemooh karena statusnya yang anak panti asuhan.
Memangnya kenapa kalau dia anak panti asuhan? Bukan keinginannya untuk menjadi anak panti asuhan. Pun dia yakin, semua penghuni panti juga mempunyai keinginan yang sama sepertinya. Mereka juga ingin punya keluarga lengkap, yang menyayangi mereka, mencintai mereka.
Tidak ada kesalahan bagi mereka menjadi anak panti asuhan. Mereka sama-sama manusia, sama-sama ciptaan Tuhan. Sama-sama berhak untuk hidup, berhak untuk disayangi, berhak untuk dihormati, berhak untuk mendapatkan hak-hak yang sama seperti orang-orang lainnya. Seharusnya tidak ada yang membedakan status mereka. Apalagi di mata sesama manusia. Yang membedakan hanyalah tingkat kesholehan mereka di hadapan Yang Maha Kuasa. Itu selalu dicamkan oleh ibu pengurus panti.
Mereka anak-anak panti, tetap harus berbangga diri, jangan minder atau lemah. Justru harus membuktikan bahwa mereka juga bisa, mampu untuk berbuat sama atau bahkan lebih daripada orang-orang lain.
Adhia ingin mengambil selembar kertas itu, tapi perutnya yang sudah membuncit, membuatnya susah untuk menunduk atau jongkok. Rekan kerjanya membantu mengambil kertas itu. Matanya sempat membola melihat nominal yang tertera. Diberikannya kertas itu ke Adhia dengan tangan agak ragu dan gemetar. Seakan takut kertas itu rusak atau sobek, dan jika dia harus mengganti, dia bisa ganti pakai apa? Kerja keras seumur hidup, jika dengan kondisinya sekarang, pastinya tidak akan cukup.
Adhia menerima kertas itu. Diberikannya kembali ke ibu yang sekarang sedang duduk di depannya. Bahkan dengan sikap duduknya yang anggun pun, sudah menandakan perbedaan status mereka. Nyata terlihat.
"Ibu..., saya baru kali ini bertemu ibu. Kalau ibu adalah ibunya Tarendra, berarti ibu adalah mertua saya. Maaf, saya tadi benar-benar tidak tahu." Adhia berusaha bersikap sesopan mungkin. Diulurkannya tangan kanannya berniat untuk mencium punggung tangan mertuanya itu.
Sayangnya, "Saya memang mamanya Tarendra. Tapi saya bukan ibumu! Dan tidak akan pernah menjadi ibu mertuamu! Kamu tidak pantas untuk Tarendra. Kamu tidak pantas menjadi keluarga kami! Sekali lagi, camkan! Jauhi putra saya! Uang itu cukup untuk menghidupi kamu dan anakmu sampai beberapa tahun. Dan jika kamu pintar, kamu tidak akan bilang akan hal ini ke Tarendra!" Ibu kaya nan sombong itu segera berdiri. Berniat pergi.
Tapi sebelum pergi, dia kembali berkata pada Adhia, "Kalau kamu tidak mau terjadi sesuatu pada toko ini, pada teman-teman kerjamu, lebih baik kamu turuti apa kata saya! Atau kamu akan menyesal!"
Badan Adhia lemas, dia bahkan akan jatuh di lantai jika saja teman-temannya tidak segera menangkap tubuhnya.
Ternyata mertua jahat memang ada! Gak cuma di sinetron saja.