"Jangan bermain-main denganku! Dimana adikku!? Dimana dia!? Cepat katakan!!" pekikan lantang yang kembali Gerald kumandangkan.
Tak ada hal lain, yang Gerald inginkan. Selain membawa adiknya pulang. Terlepas dari apa yang sudah terjadi. Ia tetap harus membawa adiknya itu kembali.
"Maaf. Tapi orang yang Tuan maksud tidak berada di sini. Jadi, silahkan Tuan kembali," perintah Griffin.
Gerald tidak serta merta menerima. Ia malah semakin kesal dibuatnya.
"Bawa adikku kemari sialan!!" pekikan lantang dari Gerald yang sudah muak dipermainkan.
Griffin bangkit dari sofa. Mengulas senyum tipis di bibirnya. Lalu pergi begitu saja. Tanpa mempedulikan orang yang berteriak serta merutuknya sedari tadi.
Gerald putus asa. Dan sudah merasa lelah sendiri. Karena berteriak tanpa henti dan tanpa ada yang mau mendengar.
Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali, sambil mencari cara untuk membebaskan adik sematawayangnya, yang kini entah berada dimana.
Sementara itu di tempat lain.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam glossy nampak memasuki villa, yang berada di tengah-tengah hutan. Seorang lelaki dengan kemeja putih dengan satu kancing paling atas tidak ditautkan, serta dengan lengan yang digulung hingga hampir mencapai siku, nampak keluar dari dalam mobil tersebut.
Malam ini, ia kembali ke sini. Ke tempat dimana wanita yang sudah berhasil ia jamah tubuhnya saat siang tadi.
Satu kali dorongan dilakukan untuk menutup rapat pintu mobil, kemudian lelaki tersebut pun berjalan masuk ke dalam. Menapaki setiap anak tangga dan pergi ke kamar paling atas.
Pintu terbuka. Kini, nampak seorang wanita yang tengah merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size, dengan mata terpejam.
Lelaki tersebut, menarik kedua ujung bibirnya. Menciptakan sebuah lengkung senyuman. Dilanjutkannya langkah kaki dan ditutupnya pintu, oleh lelaki tersebut seraya mengunci rapat pintu. Hingga langkah kakinya terhenti, pada tepi tempat tidur.
Perlahan satu persatu kancing pada kemeja yang tertaut ia lepaskan. Sebelum akhirnya, menanggalkan serta melemparkan kemejanya secara sembarang.
Pelan tapi pasti. Lelaki tersebut naik ke atas ranjang, lalu mengulurkan tangannya. Untuk melepaskan kancing kemeja putih kebesaran, yang membalut tubuh wanita, yang masih belum menyadari kedatangannya. Hingga semua kancing terlepas. Ditelannya saliva dengan begitu berat.
Tubuh yang begitu indah serta terawat. Membuatnya semakin tidak sabar, untuk menjamahnya kembali.
Baru akan ditanggalkan. Rupanya, wanita tersebut pun tersadar dari mimpinya. Membeliakkan kedua matanya dan mundur dengan cepat, sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Untuk apa kamu di sini laki-laki breng*sek!!" rutuk wanita yang dicari oleh kakaknya sore tadi, Grizelle.
Tawa kecil menghiasi bibir lelaki yang tak lain adalah Griffin. Ia memandangi Grizelle dengan tatapan menginginkan. Sementara Grizelle sendiri, berusaha untuk semakin mengeratkan selimut pada tubuhnya.
"Untuk apa? Tentu saja untuk bersenang-senang," ungkap Griffin yang membuat Grizelle membuka mulutnya. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Setelah siang tadi ia melampiaskan keinginannya. Dan sekarang, ia ingin melakukannya lagi. Benar-benar gila.
"I want you. Satisfy me, dear. Come on!" ajakan yang Griffin layangkan, sambil tersenyum dan mendekat, lalu berusaha menyentuh bahu Grizelle.
"Lepas! Pergi dari sini!" Grizelle memekik kencang saat tubuhnya berhasil dikungkung. Kedua tangannya mendorong serta menjauhkan wajah lelaki yang hendak mengecupnya.
"Hei, tenanglah sedikit. Apa kamu tidak ingin merasakan surga dunia?" tutur Griffin dengan begitu puas.
Grizelle diam mematung. Napasnya tersengal-sengal. Amarahnya memuncak dan saat Griffin kembali mendekat. Ayunan tangan Grizelle tepat mendarat, di pipi kiri Griffin.
Griffin menghentikan gerakannya. Ia menatap Grizelle dengan lekat. Sebelum akhirnya menarik kedua tangannya dan mengunci kedua tangan di atas kepala Grizelle, hingga ia tak mampu lagi berontak.
"Sepertinya, kamu menyukai permainan yang kasar. Baiklah. Akan aku berikan!" cetus Griffin yang dengan cepat menuju leher Grizelle dan menggigitnya di sana.
Grizelle menjerit. Namun, jeritannya malah membuat Griffin semakin gelap mata. Diberikannya lagi tanda merah, hampir di setiap inci leher Grizelle. Berontak pun percuma saja. Karena ia kalah tenaga. Apalagi, berhadapan dengan orang yang sudah kehilangan akal sehatnya.
"Arghhhh lepas!" pekik tertahan Grizelle saat tubuhnya dihujam dengan begitu cepat.
Tak pernah ia merasa jijik seperti ini. Tubuhnya sudah penuh dengan tanda kepemilikan, serta saliva yang diulaskan disetiap bagian tubuh Grizelle.
Pikirannya menerawang dan kosong. Ia sudah tidak dapat merasakan apapun lagi. Hanya bak sebuah boneka yang dipermainkan dengan seenaknya.
"Ini sudah yang kedua kali. Tapi kenapa rasanya masih saja menakjubkan seperti ini??" ujar Griffin dengan posisi telentang di samping Grizelle, seraya menghela napas, setelah penyatuan panas mereka ia selesaikan.
"Tolong bunuh aku. Bunuh saja aku," pinta Grizelle lirih. Ia menelungkup tak berdaya, dengan tubuh yang polos. Bercak jejak kemerahan hampir memenuhi sekujur tubuhnya.
Rasanya, ia sudah tidak memiliki harapan. Sudah tidak ada hal yang bisa ia harapkan lagi. Lelah. Harus diperlakukan serendah ini. Apalagi, oleh orang yang asing untuknya.
Hilang sudah harga dirinya. Hilang sudah apa yang terjaga selama ini. Ia tidak dapat membayangkan. Hidup dibawah kendali seperti ini setiap hari. Mungkin, bila hidupnya berakhir. Penderitaan ini pun ikut berakhir.
Sunggingan senyuman Griffin ciptakan. Ia menoleh ke arah Grizelle di sampingnya, yang tengah menatap ke arah lain. Griffin sedikit bangkit dan menyentuh bahu Grizelle, yang tanpa kain penutup.
"Kamu tunggu apalagi? Ayo cepat. Bunuh aku," pintanya lagi dengan mata yang berkaca-kaca.
"Andai saja bisa semudah itu," ucap Griffin sambil mengelus bahu Grizelle. "Tapi, aku tidak seperti kakakmu itu. Aku bukan seorang pembunuh!" ucap Griffin kemudian dengan penuh penekanan.
"Kakak? Pembunuh?" ulang Grizelle dengan dahi yang sedikit dikerutkan.
"Iya. Kakakmu adalah seorang pembunuh. Dia telah melenyapkan nyawa orang yang tidak bersalah. Orang yang berarti di hidupku. Aku rasa, hal ini pun tidak cukup untuk membayar apa yang telah dia lakukan. Dia harus merasakan, bagaimana kehilangan orang yang kita kasihi, bagaimana melihat orang terkasihnya hancur. Jadi, tidak perlu meminta aku untuk menghabisi nyawamu. Karena aku bukan dia. Aku punya caraku sendiri. Untuk membalas setiap perbuatannya!"
Griffin mendekat dan mengecup bahu Grizelle. Sebelum akhirnya bangkit dari atas tempat tidur untuk membersihkan tubuhnya, lalu berpakaian kembali dan pergi begitu saja meninggalkan Grizelle yang terbaring lemah di atas tempat tidur, dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
Sepeninggalan Griffin. Grizelle bangkit dari atas tempat tidur dengan bersusah payah. Ia pergi ke dalam kamar mandi untuk membersihkan semua tanda, yang melekat di tubuhnya.
Barulah setelah itu, ia kembali ke atas tempat tidur. Mendaratkan tubuhnya di sana, dengan posisi menelungkup, lalu terpejam dengan selembar handuk putih, yang masih membalut tubuhnya.
Tangan kanannya mengepal erat seprai, sambil merutuk laki-laki yang dengan teganya menghancurkan kehidupannya.