"Halo Tuan Griffin," sapa orang yang baru saja datang, dengan tangan yang ada di dalam saku celananya. Orang tersebut nampak mendekati Griffin, yang sedang menikmati sebatang rokok di teras depan villa miliknya, sambil ditemani secangkir teh dan juga gelapnya malam.
"Ada apa?" tanya Griffin kepada orang yang duduk di kursi sebelahnya, seraya meniupkan asap rokok dari dalam mulutnya.
"Tidak ada. Aku hanya sedang bosan saja. Aku mencari mu di mansion. Dan ternyata, kamu malah berada di sini. Oh iya, bagaimana dengan proyek kerja sama kita? Kamu mengatakan, akan ikut andil bukan?" tanya lelaki yang merupakan rekan bisnis, sekaligus teman akrab dari Griffin semasa duduk di bangku kuliah, Edward.
"Akan aku pikirkan lagi," ungkap Griffin enteng.
Edward tersenyum tipis. Sepeninggalan mendiang ayahnya. Griffin yang seorang anak tunggal ini menjadi lebih pendiam dan malas dalam hal pekerjaan. Apalagi, setelah mengetahui kenyataan, karena rekan bisnis ayahnya sendiri lah. Griffin harus kehilangan sosok ayahnya tersebut.
"Hei ayolah. Kamu tidak bermaksud untuk menghabiskan seluruh aset peninggalan orang tuamu bukan? Seberapa pun banyaknya. Kalau tidak diputar dan dikembangkan lagi. Semuanya akan habis, Grif!" ujar Edward menasehati.
Griffin hanya menyunggingkan bibirnya saja. Malas dan tidak bersemangat. Karena sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi. Entah apa yang akan ia lakukan. Setelah puas membalaskan dendamnya.
Belum ada planning. Belum ada sebuah target pencapaian. Karena biasanya, setiap kemajuan akan ia tunjukkan kepada sang ayah. Dengan sebuah pujian sebagai imbalannya.
Dan sekarang, siapa yang akan mendengarkan, setiap pencapaian yang bisa ia raih?
Griffin hanya punya satu ayah dan juga satu ibu yang begitu ia benci. Karena tega meninggalkan Griffin di waktu kecil bersama sang ayah demi laki-laki lain. Benar-benar seorang wanita yang tidak pantas disebut dengan kata ibu.
Wanita mana yang bisa ia percaya. Semua wanita sama saja menurut Griffin. Saat terpuruk dan tidak memiliki apa-apa, mereka ditinggalkan begitu saja. Dan saat memiliki segalanya, setiap wanita akan dengan mudahnya datang dan mendekat, untuk mendapatkan banyak uang serta keuntungan. Menjijikkan.
"Baiklah. Aku ikut." Jawaban yang cukup membuat Edward merasa puas.
"Aku ingin minum. Apakah masih ada stok wine di sini?" tanya Edward seraya bangkit dari kursi dan masuk ke dalam Villa. Sementara Griffin menghabiskan satu batang rokok dan menyusulnya.
Griffin dan Edward tengah duduk di sofa dan menikmati wine bersama. Hingga suara gaduh dari kamar atas, mengusik perhatian keduanya. Terutama, Edward yang merasa bingung dengan hal tersebut.
"Hei? Ada siapa di atas sana? Kenapa seperti ada yang menggedor-gedor pintu dan berteriak?" tanya Edward.
"Kelinci," jawab Griffin enteng dan tidak menghilangkan rasa penasaran Edward sedikitpun.
"Kelinci?? Kelinci mana yang bisa sampai seheboh ini??" tanya Edward lagi.
"Kelinci dari keluarga Livingston!" cetus Griffin yang membuat Edward ternganga.
"Apa?? Keluarga Livingston??" ulang Edward.
Griffin hanya menaikkan kedua alisnya ke atas. Dan Edward, mulai berusaha menebak-nebak.
"Jangan-jangan... Kamu benar-benar melakukannya. Melakukan semua ide gila itu??" tanya Edward yang memang diberitahu tentang rencana balas dendam Griffin. Namun, masih tidak menyangka, bila Griffin benar-benar melakukannya.
"Iya. Begitulah," jawab Griffin.
"Are you crazy!?? Bagaimana bila polisi mengetahui hal ini?? Kamu bisa masuk penjara, Grif!" cetus Edward.
Sunggingan bibir Griffin ciptakan, sambil berkata,
"Tenanglah. Aku menghilangkan banyak barang bukti. Pakaiannya saja sudah ku bakar. Dan tidak akan ada yang bisa menemukannya di sini. Kalau pun ia ingin melaporkan dengan berbekal video saja, hal itu tidaklah cukup. Lagipula, aku tidak yakin dia akan memberikan tontonan gratis kepada para penyidik," ucap Griffin dengan senyum menyeringai.
"Oh shi*t! Kamu benar-benar bermain licik!" cetus Edward.
"Aku hanya sedang membalikkan keadaan. Mereka bermain dengan begitu cantik. Bukankah, aku juga harus melakukan hal yang sama, untuk mengimbangi permainan mereka? Mereka harus tahu, sedang berhadapan dengan siapa! Aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah!" cetus Griffin seraya bangkit dari sofa dan pergi ke atas, untuk menenangkan kelinci kecilnya yang begitu gaduh.
"Hei berhentilah! Berhenti melakukan kegaduhan! Ini sudah malam, pergilah tidur!" perintah Griffin ketika pintu baru saja dibuka. Namun, ia tidak menemukan orang yang baru saja ia tegur di dalam sana. Ruangan kamar nampak kosong. Padahal, tadi wanita itu sedang menggedor-gedor pintu dengan cukup kencang.
Penasaran. Griffin pun melangkahkan kakinya untuk masuk. Hingga seseorang, yang datang dari arah belakang, tiba-tiba saja menyerangnya, dengan memukul kepala Griffin menggunakan vas bunga, yang berada di genggaman tangannya.
Vas bunga pecah. Saat mengenai kepala bagian belakang Griffin. Sontak Griffin memutar tubuhnya dan menatap tajam, kepada wanita yang masih berbalut selembar handuk putih, yang kini berlari keluar dari dalam kamar.
Bruk!
Grizelle menabrak tubuh tinggi seseorang. Lalu mendongak untuk melihat, siapa orang yang ia tabrak itu. Orang tersebut nampak memiliki sedikit bulu halus di dagunya. Ia menatap asing kepada Grizelle. Hingga sebuah cekalan membuat ia membeliak dan dengan cepat menoleh.
"Kamu mau kemana kelinci kecil hm?" ucap Griffin, yang kini menarik kasar tangan Grizelle dan menyeretnya ke dalam kamar, lalu menghempaskan tubuhnya begitu saja ke atas ranjang besarnya. Dan mulai melakukan ancaman demi ancaman, agar ia bisa menjadi penurut dan tidak berulah lagi seperti tadi.
"Kamu benar-benar menguji kesabaranku! Jangan sampai aku berbuat kasar! Maka kamu akan menyesal! Diam dan tidurlah dengan tenang!" cetus Griffin, yang kini kembali keluar dari dalam kamar dan mengunci pintunya kembali. Hanya ada suara gedoran pintu itu lagi, yang sama sekali tidak Griffin hiraukan. Tetapi, tidak bagi Edward yang merasa iba.
"Grif, aku rasa, ini sudah cukup keterlaluan." Perkataan yang Edward layangkan, setelah melihat keadaan Grizelle yang begitu menyedihkan, dengan tubuh yang penuh dengan tanda kepemilikan dan gigitan yang membekas. Belum lagi perlakuan kasar Griffin terhadap Grizelle tadi. Benar-benar di luar batas.
Kenapa juga harus melibatkan seorang wanita yang tidak tahu apa-apa? Yang jelas-jelas tidak melakukan kejahatan apapun. Griffin benar-benar kehilangan akal sehatnya.
Griffin terkekeh. Ia tak menyangka, kawannya itu malah membela musuh sahabatnya sendiri.
Tawa Griffin terhenti. Ia menatap lekat kepada lelaki di depannya dan berkata,
"Keterlaluan?? Aku baru melakukan hal sekecil ini, dan kamu menyebutnya keterlaluan?? Nyawa ayahku dilenyapkan, Ed! Menurutmu, apa itu tidak keterlaluan namanya!!" pekik Griffin dengan lantang.
"Tapi wanita itu tidak tahu apa-apa. Dia tidak terlibat dalam hal ini. Bukan dia yang melakukannya, bukan dia juga pelakunya. Lantas, kenapa dia yang harus menanggung semuanya, Grif!???" Edward mencecar dan Griffin sempat tertegun sejenak, untuk mencari pembenaran atas dirinya sendiri. Atas apa yang kini tengah ia lakukan ini.
"Kenapa??" Ulang Griffin sembari memunculkan senyum menyeringai. Sebelum akhirnya kembali memekik dengan keras. "Karena dia bagian dari keluarganya!! Karena dia orang yang penting, untuk lelaki sialan itu! Dia harus merasakan, apa yang aku rasakan. Kehilangan orang-orang yang begitu penting dan berarti di hidupnya. Termasuk adiknya!" cetus Griffin seraya pergi meninggalkan Edward dan kembali ke bawah.
Edward menghela napas seraya menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Begitu kasihan. Dan juga memperihatinkan. Apalagi, melihat raut wajah wanita yang begitu tertekan tadi. Griffin keterlaluan. Ia benar-benar sudah dibutakan oleh dendamnya.