4. Perang Urat Syaraf.

809 Words
"Hallo, Tri. Lo nggak nyapa gue?" Windy menyeringai. Ia paling senang mengerjai anak musuh ayahnya ini. Ada kepuasan tersendiri di dirinya jikalau melihat mental Gayatri down. "Lo nggak usah basa basi busuk deh. Di antara kita berdua nggak ada yang kepengen mengetahui kabar masing-masing." Gayatri membuat air muka bosan. "Oke, kalo lo nggak suka basa basi, gue nanya langsung aja deh. Lo ke sini sama siapa? Sama pengawal utusan bokap lo ya?" Windy melirik Iwas sinis. "Kesian banget lo ya? Udah tujuh belas tahun, tapi nggak pernah pacaran. Cemen lo ah!" cibir Windy sinis. "Siapa bilang pengawal suruhan bokap gue? Ya pacar gue lah. Iya 'kan, Bang?" Gayatri menggandeng lengan Iwas berani. Dirinya pantang banget dikatain cemen. Iwas melirik lengan Gayatri yang melingkari lengannya. Ia memang tidak mengatakan apa-apa. Karena Gayatri memang bukan pacarnya. Tapi ia tidak menepis rangkulan Gayatri. Ia tidak tega mempermalukan gadis remaja ini. Jangan bilang nggak ya, Bang Iwas? Gue mohon. Batin Gayatri. Gayatri memang ketar-ketir. Ia takut kalau Iwas membuka kedoknya. Untungnya Iwas tidak membantahnya walaupun juga tidak mengiyakan. Iwas tetap dengan mode batunya. "Udah ah, kalian berdua kalo ketemu ribut terus. Bisa nggak sih lo bedua menghentian gencatan senjata, setidaknya untuk hari ini aja? Jangan merusak ultah gue dong." Citra dengan luwes mengurai ketegangan. "Yuk, lo semua temani gue meniup lilin." Citra berjalan menghampiri partisi besar yang ia jadikan sebagai panggung. Gayatri, Iwas dan Windy mengikuti. Setelah Citra berdiri di depan cake ulang tahun bertingkat tiga, mereka semua menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun diiringi dengan tepuk tangan. "Make a wish dulu sebelum meniup lilinnya, Cit," usul Gayatri. "Oh iya." Citra komat-kamit sejenak sebelum meniup lilin berangka tujuh belas itu dalam sekali tiup. Tepuk tangan pun kembali membahana. Acara dilanjutkan dengan makan-makan santai sambil bercengkrama. Sebenarnya kalau tidak ada Windy, Gayatri masih sangat betah di pesta Citra ini. Terbiasa dikurung di rumah, membuat Gayatri sangat bahagia walau hanya duduk dan saling bercengkrama dengan teman-teman sekolahnya. Ketika acara tiup lilin dan makan-makan berganti menjadi acara hiburan, Iwas gelisah. Bagaimana ia tidak gelisah? Anak-anak remaja ini mulai pesta minuman keras sembari menari-nari heboh. Berbagai macam merk minuman keras ditarik satu persatu dari dalam kulkas. Iwas cemas. Ia takut terkena masalah. "Saya pulang sekarang ya, Tri?" Iwas menghampiri Gayatri yang tengah menari-nari. Kegembiraan terpancar dari raut wajahnya. "Apa? Saya nggak denger, Bang?" Gayatri berteriak seraya memegang telinganya. Suara Iwas kalah dengan suara musik. "Saya mau pulang!" Iwas mendekatkan mulutnya ke telinga Gayatri. "Jangan dong, Bang. Sebentar lagi ya? Kalau Bang Iwas pulang sekarang, Windy bakalan tahu kalau Bang Iwas itu bukan pacar saya." Gayatri tidak setuju. "Lha, 'kan memang bukan? Kamu tahu pepatah yang mengatakan bahwa ; sekali berbohong, maka kamu harus terus berbohong demi menutupi kebohongan lainnya bukan?" tegur Iwas. "Sudahlah, Bang. Jangan memaksa saya mengingat pelajaran tata bahasa apalagi seni sastra saat ini. Bantu saya sekali saja kenapa sih, Bang?" keluh Gayatri kesal. Iwas tidak bisa diajak bekerjasama. "Membantumu sekali? Saya sudah membantumu dua kali." Iwas mengacungkan dua jarinya. "Pertama, saya setuju menemanimu ke acara ini. Kedua, saya membiarkan bualanmu pada Windy walau sebenarnya saya sangat tidak setuju. Apakah kamu tahu kalau selama ini ayah sudah mewanti wanti saya, agar saya mendekati murid-muridnya di sekolah?" Jadi Iwas bersikap cuek bebek pada teman-temannya karena diancam oleh Pak Ilham? Pantas saja. "Oleh karena itulah saya selalu menjaga jarak, setiap kali teman-temanmu menggoda saya di sekolah. Ayah bilang, saya harus menjaga nama baik ayah sebagai seorang guru di sekolah. Tapi tadi kamu malah mengumumkan pada teman-temanmu kalau kita sedang berpacaran. Saya pasti akan diamuk Ayah apabila berita ini sampai ke telinga ayah. Dan sepertinya tidak perlu menunggu lama. Senin nanti, pasti ayah akan menghukum saya." Iwas mengeluarkan unek-uneknya. "Oke, Bang. Oke. Saya mengaku bersalah. Saya--" Gayatri menghentikan kalimatnya saat melihat Windy menghampirinya. "Kalian berdua kenapa? Bertengkar? Masa orang pacaran bertengkar terus? Tanda-tandanya harus putus barangkali," sindir Windy sambil menjelingkan mata. Gayanya menyebalkan sekali. "Siapa bilang kami bertengkar? Orang gue mau ngajak Bang Iwas ikut permainan truth or dare kok?" bantah Gayatri resah. Ia takut kalau Iwas kali ini akan menolak permintaannya. "Tri, Windy, ayo sini." Di pinggir kolam, Citra melambaikan tangannya. Di sana telah disiapkan meja bulat besar dengan sebuah botol kosong di tengah-tengah meja. Kursi-kursi disusun sedemikian rupa hingga mengelilingi meja bulat besar tersebut. "Ayo, Bang, kita ke sana. Saya janji, setelah mengikuti permainan ini, kita pulang. Tolong saya sekali eh tiga kali ini ya, Mas?" bisik Gayatri pelan. Ia juga membuat air muka sememelas mungkin. "Ayo, kita semua main. Gue mau liat, lo masih berani bohong nggak sama gue?" Windy memanas-manasi Gayatri. Ia curiga melihat pacar dingin Gayatri ini. Masa iya orang berpacaran namun saling pelotot mempelototi? "Ayo, Bang." Gayatri kembali memberanikan diri menggandeng tangan Iwas yang wajahnya jelas tampak tidak senang. Namun Gayatri tidak peduli. Mau wajah Iwas berseri seperti sinar matahari pagi ataupun sehitam p****t panci, pokoknya Iwas barus bersedia bekerjasama dengannya. Habis perkara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD