7. Mencari Belahan Hati.

937 Words
"Lihat akibat perbuatan tidak pikir panjangmu. Sekarang kamu hamil. Masa depanmu hancur sudah!" Gayatri hanya terdiam saat ayahnya melemparkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak peristiwa ulang tahun di rumah Citra. Gayatri yang kerap mual-mual di pagi hari, membuat ibunya curiga. Ibunya kemudian membawanya ke rumah sakit untuk melakukan medical check up. Dan inilah hasilnya. Gayatri memungut amplop yang jatuh di lantai. Mengeluarkan isinya dan membaca dengan bibir bergetar. Dugaan ibunya benar. Mual-mualnya selama ini karena ia hamil! "Bu, segera bawa Ratri ke rumah sakit Mas Wahyudi. Minta dia mengugurkan kandungan Ratri." "Jangan, Yah! Anak ini tidak salah apa-apa. Ratri yang salah. Jangan membunuhnya." Gayatri beringsut dari kursi. Ia bersimpuh di hadapan ayahnya. Ia tidak mau anaknya dibunuh. "Kalau kamu mempertahankannya, lantas bagaimana dengan kuliahmu? Ingat, minggu depan kamu akan menghadapi ujian besar. Bulan September nanti kamu sudah akan mulai kuliah. Berarti kamu hanya punya waktu sekitar empat bulan terhitung mulai hari ini untuk menata masa depan. Bagaimana kamu melewati semua itu dengan perut yang makin lama makin membesar?" Pak Sarwani mengamuk. "Beri Ratri waktu setahun, Yah. Setelah Ratri melahirkan, Ratri janji akan menebus semua kesalahan Ratri. Ratri akan kuliah dengan rajin. Setelah tamat Ratri juga bersedia mengurus semua bisnis-bisnis Ayah. Ratri janji, Yah." Gayatri berikrar sungguh-sungguh. "Berarti kamu tidak akan kuliah tahun ini?" "Benar, Yah. Biarkan Ratri melahirkan anak ini dulu. Setelahnya Ratri akan patuh pada semua perintah Ayah. Ratri janji." Ibu akan melakukan apapun asal kamu tetap dilahirkan ke dunia ini, Nak. "Baik, Ayah kabulkan. Tapi ingat, setelahnya kamu harus menepati semua janji-janjimu ini. Mengerti, Ratri?" "Mengerti, Yah." Ratri mengangguk lega. Akhirnya ayahnya mengalah juga. Ayahnya ini berkarakter keras. Menaklukkan hatinya tidaklah mudah. Apa yang sudah ayahnya niatkan, pasti akan ia realisasikan. Terbukti dengan dikeluarkannya Iwas dari kampus, serta dipecat secara tidak hormatnya Pak Ilham dari sekolah. Gayatri tahu kalau ayahnya punya andil besar di sana. Bukan itu saja. Pak Ilham sekeluarga juga menghilang dari tempat tinggalnya yang biasa. Pak Ilham pasti malu karena nama baik keluarga besar mereka sudah hancur tak bersisa. "Ayah pergi dulu untuk mengurus keperluanmu. Ingat, jangan mengatakan pada siapa pun kalau kamu hamil. Ayah akan memastikan pihak sekolahmu juga tutup mulut atas keadaanmu saat ini." Gayatri memandangi kepergian ayahnya. Ia tahu ayahnya pasti akan menekan pihak sekolah untuk tidak mengusik tentang perubahan bentuk tubuhnya. Walaupun perutnya masih rata, namun bahasa tubuhnya sudah berbeda. Ia sering mual-mual di dalam kelas. Seperti mimpi, hari-hari berikutnya Gayatri jalani seperti keinginan ayahnya. Ia mengikuti ujian, lulus dan mengurung diri di dalam rumah hingga tiba saatnya melahirkan. Sayangnya bayinya tidak selamat. Kedua orang tuanya mengatakan bahwa bayinya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Hidup terus berjalan. Gayatri tidak sempat meratapi diri, karena telah disibukkan dengan kegiatan kuliah. Namun ada yang berubah didirinya. Ia bukan seperti dirinya yang dulu lagi. Ia tidak lagi menyukai keriuhan ala remaja puber. Ia jadi pendiam dan lebih nyaman sendirian. Oleh karena itulah teman-teman sekampusnya menjulukinya si ratu es yang sombong. Gayatri tidak mempedulikannya. Fokusnya sekarang adalah kuliah dan membangun masa depan seperti janjinya pada sang ayah. "Mbak... Mbak Ratri, kita jadi ke bandara tidak?" "Hah? Apa? Bandara ya? Jadi dong, Mang. Sebentar saya membereskan meja dulu." Lamunan Gayatri buyar saat Mang Diman berdiri di depannya. Refleks Gayatri memindai jam dinding hotel. Pukul setengah sebelas siang. Itu artinya ia telah melamun setengah jam lamanya. Sekarang dirinya telah kembali ke tahun 2023. Sepuluh tahun ke depan dari lamunannya tadi. "Baik, Mbak. Mamang menunggu di parkiran saja ya? Oh ya, Bu Fauziah sudah menyiapkan keperluan Mbak selama di Medan di koper kecil. Jadi Mbak tinggal berangkat ke bandara saja." "Baik, Mang. Terima kasih." Gayatri mengucapkan terima kasih pada Mang Diman. Supir setia keluarganya yang kini sudah mulai menua. Waktu berlalu begitu cepat. Dulu dirinya hanyalah seorang anak SMA yang kebingungan. Sekarang dirinya adalah eksekutif muda yang berusia dua puluh tujuh tahun. Saat ini ia mengelola hotel-hotel milik ayahnya yang semakin berkurang. Pandemi telah meluluhlantakkan perekonomian keluarganya. *** Sudah puluhan kali Gayatri terbang ke Medan. Sudah puluhan kali pula ia berjalan melewati orang-orang yang membawa troli berisi koper dan oleh-oleh untuk sanak saudara yang menjemput. Sampai bulan lalu perasaannya biasa saja ke bandara Kualanamu ini. Ia malah menikmati pertemuan haru para penumpang yang dijemput oleh keluarganya. Namun saat ini perasaannya kacau balau. Ia berjalan seperti robot menuju tempat parkir, di mana Pak Tono, supir hotel mereka yang di Medan menjemputnya. Benak Gayatri terus membayangkan pertemuannya nanti dengan putrinya. Bagaimana keadaan putrinya? Seperti apakah rupa sang putri? Juga bagaimana ia akan bersikap nantinya. Haruskah ia memperkenalkan dirinya sebagi ibu kandungnya atau bagaimana? Sungguh Gayatri bingung memikirkannya. "Mbak Ratri!" Gayatri menoleh pada asal suara yang memanggil. Pak Tono telah berdiri di sampingnya. Terus berdebat dengan pikirannya sendiri membuat Gayatri tidak memperhatikan sekeliling. "Sini, kopernya, Mbak. Biar saya saja yang membawanya." Pak Tono mengambil alih koper kecil dari tangan Gayatri. Bersisian mereka berdua berjalan menuju tempat parkir. Sejurus kemudian mereka sudah melaju menuju rumah sakit Harapan Bunda. Dan di sinilah sekarang Gayatri berada. Di lorong tumah sakit dengan langkah maju mundur di nurse station. Ia perlu menenangkan hatinya terlebih dahulu. Dua jam di pesawat dan satu jam setengah perjalanan ke rumah sakit, membuat Gayatri jet lag. Ia perlu menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah Menarik napas panjang dua kali, Gayatri menghampiri perawat di nurse station. "Selamat sore eh malam, Suster." Gayatri refleks mengubah ucapannya saat melihat jam di dinding rumah sakit. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit rupanya. "Pasien yang bernama--" Gayatri menghentikan kalimatnya. Astaga, ia tidak mengetahui nama putrinya. Ibunya hanya mengatakan kalau nama orang tua yang mengadopsi putrinya adalah Pak Azwar Parinduri dan Bu Nuraini. "Bernama siapa, Bu?" Sang perawat bertanya ramah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD