8. Demi Si Buah Hati.

809 Words
"Saya lupa nama lengkapnya. Yang saya ingat pasien adalah anak perempuan berusia sepuluh tahun yang mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar jam sebelas siang." "Anak perempuan sepuluh tahun yang mengalami kecelakaan ya? Sebentar saya cek ya?" Sang perawat mengotak-atik kompoter di depannya. "Satu-satunya anak perempuan yang mengalami kecelakaan tadi siang namanya Aszanasari Parinduri." "Iya... iya... Aszanasari namanya. Ruangannya di mana ya?" Gayatri yakin itulah nama anaknya setelah mendengar nama belakangnya. Karena nama itu sama dengan nama yang disebutkan ibunya. "Saat ini pasien ada di ruang ICU, Bu. Pasien mengalami pendarahan dan memerlukan transfusi darah." Putrinya dalam bahaya rupanya. Pantas saja ibunya memintanya datang ke sini. "Ruang ICU di mana ya?" Gayatri panik. Ia belum sempat melihat putrinya. Ia takut kalau putrinya kenapa-napa. "Naik satu tingkat saja lagi, Bu. Nanti sebutkan nama pasien yang ingin Ibu jenguk pada nurse station di sana. Jam besuk ICU dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Tapi itu juga tergantung dari peraturan di sana ya, Bu? Dalam sebagian kasus ada pasien ICU yang tidak boleh dijenguk sembarang orang," terang sang perawat tegas. "Baik, saya akan menanyakannya pada perawat di atas." Gayatri bergegas berjalan ke arah lift. Karena pintu lift tidak kunjung terbuka, Gayatri tidak sabar. Ia kemudian naik ke tangga darurat. Gayatri baru berniat menghampiri nurse station, sebelum pendengarannya terdistraksi dengan percakapan suami istri di sudut ruangan. Sang istri terus menangis sementara sang suami berupaya menenangkannya. "Bagaimana ini, Bang? Kalau ibu kandung Zana tidak datang, kita bisa kehilangan dia. Aku tidak mau itu terjadi!" "Sabar, Dek. Bu Fauziah bilang putrinya, Gayatri dalam perjalanan ke sini. Semoga saja Gayatri tiba tepat waktu." Benar, kedua suami istri yang tampak kalut ini adalah orang tua adopsi putrinya! "Tapi aku juga takut, Bang. Bagaimana kalau si Gayatri ini ingin mengambil Zana? Dulu kita mengambilnya di rumah sakit tanpa sepengetahuannya bukan? Persetujuan kita hanya dengan Pak Sarwani dan Bu Fauziah. Aku takut, Bang?" "Kita pasrahkan saja semuanya pada Allah, Dek. Semoga saja Gayatri bijaksana dan bisa menahan diri demi kebaikan semuanya." "Aku takut Zana akan sedih jikalau tau bahwa kita bukanlah orang tua kandungnya. Makanya aku melarangmu menelepon Bu Fauziah tadi. Tapi aku juga takut kalau Zana kenapa-napa karena tidak segera mendapatkan pendonor. Aku dilema, Bang!" Mereka takut kalau ia akan membawa Zana rupanya. Dengan langkah mantap Gayatri menghampiri sepasang suami istri itu. Mereka sangat menyayangi putrinya ternyata. "Selamat malam, Pak, Bu. Saya Gayatri, ibu kandung Zana." Gayatri memperkenalkan diri. Sontak sepasang suami istri menatap Gayatri. "Jangan ambil putriku! Aku sangat menyayanginya. Jangan rusak mentalnya dengan mengatakan bahwa kami hanyalah orang tua angkatnya. Aku mohon." Bu Nuraini memandangi Gayatri kalut. Walau tidak mirip seratus persen, tapi hidung dan bibir Zana sama persis bentuknya dengan Gayatri. "Dek, jangan bersikap begini. Adek ingin Zana tetap hidup bukan? Ingat apa yang sudah kita diskusikan berulang kali tadi." Pak Azwar menenangkan istrinya. "Iya, Bang. Iya. Aku cuma takut kehilangan Zana." Bu Nuraini mengangguk berulang kali. Ia harus bisa mengontrol emosinya. "Di mana... Zana?" Gayatri mengubah kalimat anak saya menjadi menyebut nama putrinya secara langsung. Ia tidak boleh sembarangan berbicara, mengingat kondisi psikologis Bu Nuraini. "Anak kami ada di dalam." Anak kami. Pak Azwar langsung menunjukkan kepemilikannya. Sesungguhnya Pak Azwar juga sama takutnya dengan Bu Nuraini. "Anak kami mengalami kecelakaan tadi siang saat pulang dari sekolah. Mobil yang membawanya ditabrak mobil pick up yang remnya blong." "Nama anak itu Zana bukan? Sekarang keadaan Zana bagaimana?" Gayatri memberi singnal kalau ia tidak menyukai kalimat kepemilikan Pak Azwar. Melalui sudut mata, Gayatri memindai Bu Nuraini memeluk erat sebelah tangan Pak Azwar. Bu Nuraini menangkap maksud ucapannya. "Ehm, Zana kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi darah secepatnya. Masalahnya golongan darah Zana itu adalah AB-. Sementara saya dan istri memiliki golongan darah A+ dan B+." Gayatri tidak mendengarkan secara jelas lagi apa sisa kalimat Pak Azwar. Karena golongan darahnya sendiri adalah O+. Itu artinya ia juga tidak bisa memberikan darahnya untuk Zana. Golongan darah AB- itu hanya bisa menerima pendonor dari golongan darah O-, B- dan AB- itu sendiri. Itu artinya ia harus bisa menghadirkan Iwas di sini. "Kebetulan stok darah golongan AB-, O- dan B- sedang kosong di rumah sakit ini maupun PMI. Kantong terakhir yang digunakan Zana sudah habis setengah jam tadi. Makanya kami meminta Bu Fauziah menghubungimu." "Golongan darah saya O+, Pak. Jadi saya juga tidak bisa menjadi pendonor. Saya akan menghadirkan ayah kandungnya saja." Gayatri membuka tas tangannya. Ia akan menghubungi Citra. Di antara teman-teman sekelasnya dulu ia hanya masih saling berkirim kabar dengan Citra. "Jangan!" Pak Azwar dan Bu Nuraini kompak menolak. "Pak Sanwani dulu berpesan kalau orang tua kandung Zana tidak boleh mengetahui tentang keberadaan Zana. Itulah syarat dari Pak Sanwani saat memberikan Zana pada kami dulu." "Jadi Bapak dan Ibu lebih memilih Zana mati? Kalau saya sih tidak. Anak saya harus tetap hidup. Ingat, sayalah ibu kandungnya. Kedua orang tua saya dan kalian berdua telah merampasnya begitu saja tanpa sepengetahuan saya!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD