6. Petaka!

867 Words
"Lo mabuk berat ini, Tri. Handphone lo juga bunyi terus itu. Angkat dulu, gih. Nyokap lo kali." Citra membuka tas tangan Gayatri. Mengeluarkan ponsel yang tidak berhenti berdering. "Bik Dedeh rupanya. Gue nyalain speakernya aja ya? Biar lo gampang jawabnya." Citra mengaktifkan mode speaker. "Non. Udah jam setengah sebelas. Kok Non belum pulang? Tuan dan Nyonya menginap di rumah Bik Ratih. Non cepat pulang ya? Bibik takut ketahuan bohong. Bibik tadi bilang kalau Non sudah tidur." "Iya, Bik. Ini Ratri udah egh... egh... mau pulang." Gayatri menjawab pelan diiringi suara cegukan. "Non kenapa? Suaranya kok kayak orang bangun tidur?" "Nggak apa-apa, Bik. Sebentar lagi Ratri pulang." Dengan susah payah Gayatri berusaha menjawab dengan suara normal. Gayatri mengibaskan kepala ke kanan dan ke kiri berkali-kali demi mendapatkan kesadarannya. "Bang, ayo pulang." Gayatri kembali mengguncang-guncang pundak Iwas yang masih menelungkup di atas meja. "Heh, ayo." Iwas mengangkat kepala. Ia kemudian mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Kepalanya terasa berat dan pusing. Ketika mencoba berdiri, Iwas seperti menginjak udara. Tubuhnya sempoyongan hingga nyaris jatuh kalau tidak ditahan oleh Citra. "Gue rasa lo dan Bang Iwas istirahat sebentar di kamar tamu, Tri. Gue takut kalian berdua kenapa-kenapa. Mana Bang Iwas naik motor lagi," usul Citra. Ia takut kalau kedua temannya ini mengalami kecelakaan. "Ya udah deh. Kami tiduran sebentar. Gue juga pusing banget ini." Gayatri setuju. Ia sadar kalau ia juga tidak mampu mengemudi saat ini. Bersama Citra ia memapah Iwas yang sudah tampak kepayahan ke dalam kamar. Mereka bertiga tidak sadar kalau orang mabuk itu bisa lupa segala. *** "Bangun Ratri! Astaga, apa yang sudah kalian berdua lakukan! Jawab Ayah, Ratri! Ratri!" "Astaghfirullahaladzim, Iwas. Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti ini, Nak?!" "Ada apa sih, Bik? Pagi-pagi udah berisik. Ratri masih ngantuk. Lima menit lagi deh Ratri mandi. Kepala Ratri pusing banget ini." Gayatri mendecakkan lidah kesal. Bik Dedeh selalu begini setiap pagi. Mengusik kedamaian tidurnya agar ia cepat bangun dan berangkat ke sekolah. "Ini, Ayah, Ratri! Bukan Bik Dedeh. Lepaskan pelukanmu pada laki-laki itu! Sikapmu sungguh memalukan!" Lepaskan pelukanmu? Maksudnya apa ini? Bugh! Bugh! "Aduh!" Gayatri kaget saat batal gulingnya direbut darinya. Tapi mengapa bantal gulingnya bersuara aduh? Gayatri membuka mata. Ia kemudian terpekik lirih saat melihat ayahnya menjambak rambut Iwas dan memukulinya dalam keadaan hanya ditutupi selimut seadanya. "Kenakan pakaianmu, Was! Kamu benar-benar sudah membuat Ayah malu!" Gayatri ternganga melihat kehadiran Pak Ilham yang menjejalkan kaos dan celana pada Iwas. Mengapa Pak Ilham ada di kamarnya? "Bang Iwas tidak bersalah, Om. Saya yang meminta Ratri membawa Bang Iwas ke sini." Lho, ada Citra juga yaang berdiri tegang di samping ayahnya. Ulang tahun Citra? Membawa Bang Iwas sebagai hadiah? Mendadak potongan-potongan ingatan perihal ulang tahun Citra, tersusun satu persatu dalam benak Gayatri. Pertemuannya dengan Windy, permainan truth and dare, hingga dirinya dan Iwas yang mabuk. Mabuk? Jangan-jangan... Takut-takut Gayatri memeriksa keadaannya. Gayatri menjerit kaget saat mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun dibalik selimutnya. Ia sekarang sudah bisa menarik benang merah mengapa ayahnya dan Pak Ilham ada di rumah Citra ini. Plak! Plak! Suara tamparan keras Pak Ilham pada Iwas menakutkan Gayatri. Ia sekarang sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi saat ia melihat beberapa noktah merah di sprai yang putih bersih. Dirinya telah ternoda. Kehilangan kesadaran akibat minuman telah membuatnya dan Iwas lepas kendali. "Sini, Bu. Bawa keluar anakmu. Ayah akan mengurus laki-laki b******n yang sudah merusak anak gadis kita! Ayah akan membawa laki-laki ini ke kantor polisi!" "Jangan, Yah. Bang Iwas tidak bersalah. Ratri yang--" "Sini, Ratri. Kita pulang. Biar ayahmu saja yang menyelesaikan semuanya." Gayatri kebingungan saat ibu masuk ke dalam kamar, dengan membawa sebuah selimut. Setelah membalut tubuhnya dengan selimut, ibunya menggeret Gayatri yang masih kebingungan. Ia kasihan melihat Iwas yang dipukuli ayahnya membabi buta. Iwas tidak sekalipun melawan. Iwas hanya menghindar sebisanya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali. Iwas juga mengatakan bahwa dirinya tidak ingat apa-apa. Namun ayahnya tidak mempedulikan penjelasan Iwas. Ayah terus memukuli Iwas dengan pukulan demi pukulan. Saat Iwas mengenakan pakaian pun, ayahnya terus menghajarnya. Pak Ilham yang berdiri di samping Iwas hanya terdiam dengan air muka kecewa. Gayatri merasa sangat bersalah pada Iwas. "Anda juga bersalah, Pak Ilham. Guru apa Anda ini? Mendidik akhlak anak sendiri pun Anda tidak mampu. Anda juga akan saya laporkan. Saya ingin lihat, apakah setelah ini Anda masih bisa mengajar!" Gayatri masih bisa mendengarkan ancaman ayahnya pada Pak Ilham, sebelum ia dipaksa masuk ke dalam mobil. "Bu, coba bilang pada Ayah. Bang Iwas itu tidak bersalah. Kami berdua mabuk. Bang Iwas ke sini juga Ratri yang mengajak. Bilang pada ayah, jangan memenjarakan Bang Iwas apalagi Pak Ilham, Bu. Pak Ilham itu tidak tahu apa-apa." Di dalam mobil pun Gayatri terus menoleh ke belakang. Ia tidak tega membayangkan nasib Iwas dan Pak Ilham. Ayahnya tadi sangat marah. Padahal walau terbata-bata Citra juga mengatakan kebenarannya. Tapi ayahnya tidak mempedulikan pengakuan Citra. Ayahnya tadi hanya fokus pada Iwas dan Pak Ilham. "Diam dan tutup mulutmu, Ratri. Kekacauan hari ini hanya sampai hari ini. Jangan pernah membicarakannya lagi. Paham, Ratri?" "Baik, Bu. Asal Bang Iwas dan Pak Ilham tidak di penjara, Ratri bersedia menuruti apapun kata-kata ayah dan ibu." Ratri pasrah. Dalam hati ia berdoa, semoga saja amarah ayahnya segera mereda agar ayahnya tidak melaporkan Iwas dan Pak Ilham ke kantor polisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD