Menjelang magrib, Bima pamit pulang. Tania mengantarnya sampai ke mobil. Seuntai senyum hangat terlontar dari bibir keduanya. Ada getaran cinta yang menjalar ditubuh, mengaduk rasa dalam d**a. Keduanya terlena menikamati rasa itu, membiarkannya masuk dan bersemayam di relung hati.
Bima tertegun sejenak disamping pintu mobil, rasanya berat sekali berpisah dengan gadis itu. Andaikan dia tidak pernah mau menerima perjodohannya dengan Saras dulu, pasti tidak begini keadaannya. Dalam hati, dia berjanji akan mencari cara agar bisa mendapatkan Tania. Tak peduli jika harus berhadapan dengan orangtuanya.
"Aku pulang dulu, ya! Besok aku datang lagi,"
"Um, tapi besik aku mau ke perpus, mau cari bahan untuk skipsi,"
"Kebetulan kalau begitu, aku juga mau ke perpus, sudah lama aku tidak berkunjung ke sana."
Tania mengulum senyum, dia tahu itu hanya akal-akalan Bima saja. Dia yakin, Bima memang sengaja ingin mengantarnya. Yakin!
"Wah, kebetulan dong,"
"Hum, besok pukul delapan pagi, aku jemput ya!"
"Siap," Tania memberi hormat mengangkat tangannya ke samping kepala.
Bima mengedipkan sebelah matanya, sontak saja lutut Tania lemas.
Bima masuk ke mobil, setelah melambaikan tangan, ia melacu dengan pelan meninggalkan komplek Perumahan itu. Tania menggigit bibirnya dengan mata tetpejam, tidak sabar menunggu datangnya hari esok.
"Ehem,"
Tania menoleh kebelakang mencari suara deheman itu, entah sejak kapan Tanty duduk di teras memperhatikannya.
"Jangan main api! Ntar kebakar sendiri. Cari penyakit!"
Tania mendekat lalu duduk disampingnya. "Nggak Kok, Mbak! Aku dan kak Bima cuma temenan biasa."
"Justru masih temenan biasa kamu bisa menghindar, ntar kalau sudah jatuh cinta beneran, susah buat berpaling."
"Iya, Mbak. Aku nggak akan jatuh cinta! Lagian aku juga tau kok, kalau kak Bima bulan depan mau married sama tunangannya."
"Baguslah kalau kamu sadar itu!"
"Aku ke dalam dulu ya, Mba!"
Tanpa menunggu jawaban, Tania brigsud masuk. Ia gerah lama-lama didekat kakaknya itu. Belum lagi nanti jika ayah dan bunda ikut nimbrung, bisa mati berdiri dia dinasehati habis-habisan. Padahal, dia hanya ingin bersama Bima sebelum lelaki itu sah menjadi suami orang. Dia janji, nanti setelah Bima menikah dengan Saras, dia tidak akan mau lagi jalan dengan Bima, walau dibujuk dengan cara apa pun. Tekadnya.
Tania belum pernah jatuh cinta, apalagi putus cinta. Jadi dia tidak pernah membayangkan hal mengerikan yang akan di hadapinya di depan. Andai dia tahu ada masalah besar yang siap menghadangnya, pasti dia tidak akan pernah berpikir untuk main hati dengan Bima. Walau hanya sebentar.
Gadis polos tapi nekad itu, menaiki tangga setengah berlari menuju kamarnya. Ia memeluk erat boneka beruang putih yang duduk manis di samping bantal.
"Poi, besok aku dan kak Bima mau jalan bareng, kamu tau nggak sih, aku seneng banget. Aku deg-degan tauuu!" bisiknya pelan mencolek hidung boneka. Wajahnya merona, matanya berbinar seolah baru menemukan sebuah harapan akan nasib cintanya.
Di ujung sana, Bima baru saja tiba di rumah, langkahnya terhenti melihat mobil merah dengan plat polisi yang sangat dikenalnya. Sesaat dia berpikir untuk pergi, tapi urung dilakukan, dia bukan pengecut! Dia akan hadapi apapun resikonya, selagi janur kuning belum melengkung, masih ada waktu untuk merubah nasib.
"Darima?" sapa Saras bersedekap tangan saat Bima memasuki rumah.
"Dari rumah Tania mengantar kelinci,"
Saras gusar mendengar jawaban Bima. Apa-apaan ini? Apa maksudnya ke rumah perempuan itu?
"Mengantar kelinci?"
"Hm, saat kami tersesat di hutan waktu itu, aku berjanji akan membelikannya kelinci."
"Wow, romantis sekali?"
Bima memutar bola matanya, malas mendengar ocehan Saras. Gestur tubuhnya menunjukkan kalau ia sangat terganggu dengan kehadiran Saras. Hanya saja, ia tidak sampai hati mengusir. Harusnya wanita itu sadar kalau kehadirannya tidak diinginkan.
"Bima, akhirnya kamu datang juga. Mama bolak-bakik nelphon, tapi hape kamu nggak diangkat. Memangnya kamu lagi dimana sampai nggak bisa diganggu?"
Bima berpikir keras mencari alasan. Jangan sampai mama tahu kalau ponselnya sengaja di stel silen karena tidak ingin diganggu saat bersama Tania.
"Ngantar kelinci ke rumah Tania, Tan!" celetuk Saras kesal.
"Tania? Siapa Tiania?" bu Handoko menoleh Saras yang sejak tadi tidak bisa duduk tenang.
"Tante tanya saja pada anak tante itu, permisi!" Sebelum melangkah pergi, Saras menatap Bima sinis. Bima tidak menghiraukan Saras yang pergi dengan kesal.
"Saras, tunggu dulu, Sayang!" Bu Handoko mencoba menghentikan anak rekan bisnisnya itu. Tapi Saras dengan pongah melangkah pergi.
"Ma, sudahlah! Tidak usah dikejar! Biarkan saja anak manja itu!"
"Bimaaa, dia calon istri kamu, kejar sana!"
"Biar saja, Ma! Aku mau istirahat!"
Baru dua langkah Bima beranjak ingin pergi ke kamar, bu Handoko mengancamnya. "Bima! Mama nggak mau tahu, bujuk Saras masuk. SEKARANG!"
Bima cemberut, tapi mana tega dia membantah wanita yang sudah melahirkannya itu. Walau kesal, dia menyusul Saras ke luar.
"Kamu bikin repot aja, deh!" sergah Bima kesal, "Dipanggil mama, tuh!"
"Salam saja buat mama kamu!" Saras masuk ke mobilnya dan melacu pergi.
Bima menarik napas melihat kelakuan Saras, semakin bulat tekadnya membatalkan perjodohan itu. Apa jadinya rumah tangganya punya istri angkuh seperti dia? Bisa makan hati dia tiap hari melihat wajahnya yang nggak ada manis-manisnya. Nggak bisa diatur pula!
"Bima, mana Saras?" bu Handoko celingukan ke luar mencari mobil Saras, "Kok kamu biarin pergi?!"
"Dia maunya pergi, masa ditahan! Sudahlah, Ma, biarkan saja! Mungkun dia lagi datang bulan!"
"Bima! Kamu ini kalau bicara nggak pake di pikir! Susul dia sekarang, bawa ke sini,"
"Gimana caranya, Ma ..., dianya nggak mau. Diculik gitu?"
"Terserah kamu gimana caranya, pokoknya, bawa Saras ke sini, kita makan malam bersama."
Bima mengucek kepalanya sendiri melihat wanita paruh baya itu pergi dengan kesal. Lelaki itu mondar mandir di ruang tamu, otaknya berpikir keras mencari alasan agar bisa membatalkan pernikahannya dengan Saras. Tapi sampai kepalanya berdenyut, dia tidak juga menemukan kata-kata yang pas untuk mengajukan keinginannya. Dari pada kena omelan mama lagi, dia memutuskan pergi mencari Saras.
Mentari mulai tenggelam, suara adzan berkumandang dari towa masjid dipinggir jalan. Bima meminggirkan mobil dan berhenti di depan masjid. Dia ingin menunaikan kewajibannya sebagai muslim. Usai shalat, ia kembali melanjutkan perjalana menuju rumah Saras. Ya, walau dia tidak yakin Saras ada di rumah, yang penting dia sudah menjalankan perintah mama.
Bima membunyikan bel rumah Saras, "Mas Bima? Ingin bertemu siapa?" tanya salah satu pembantu Saras yang membukakan pintu.
"Saras ada?"
"Loh, bukannya Non Saras pergi ke rumah Den Bima?"
"Owh, ya sudah!" Bima balik badan dan langsung pergi. Dugaannya tepat, Saras memang jarang di rumah. Kebetulan bukan, dia juga malas bertemu Saras.
Bima tidak langsung pulang, pasti mamanya akan menyuruhnya mencari Saras sampai ketemu, lebih baik dia pergi ke rumah temannya, Hadi. Kalau ditanya kata hatinya, maunya sih pergi ke rumah Tania, tapi itu sama artinya cari masalah. Orangtua Tania akan curiga dengan niatnya yang terselubung. Belum saatnya untuk berterus terang, dia harus pastikan dulu, Tania mau ikut berjuang bersamanya. Nggak lucukan, udah ngomong sana sini tentang keinginannya, nggak tahunya cintanya bertepuk sebelah tangan.
Bima mengecilkan volume musik mobil, lalu mengangkat panggilan dari mama.
"Assalammualikum, iya, Ma,"
"Waalaikum salam, kamu dimana, Bima?"
"Di jalan, Ma,"
"Balik sini, Saras udah nyampe!"
"Hm," Bima mematikan telohon lalu memutar balik arah mobilnya tanpa banyak membantah.