"Begini, mas Bima. Maaf jika saya bicara lancang, sejujurnya saya sangat senang mas Bima berkenan datang ke rumah ini, itu merupakan satu kehormatan untuk saya dan keluarga. Tapi saya khawatir akan menimbulkan masalah nantinya. Sebab, saya, Tania, bahkan hampir semua orang di kantor tau jika mas Bima bulan depan akan menikah dengan mbak Saras. Jujur saja, saya khawatir terjadi salah faham antara mas Bima dan mbak Saras gara-gara Tania."
Bima tampak tenang mendengarkan pak Brata, dia tahu lelaki paruh baya itu bukan benci padanya melainkan takut pada orangtuanya selaku komisaris di perusahaan. Ia berharap pak Brata mau mendengarkan penjelasannya. Ia mencari kalimat yang tepat agar pak Brata tidak menghalanginya menemui Tania. Otaknya berpikir keras mencari alasan yang masuk akal.
Dengan cermat, ia menyimak setiap kata yang dilontarkan pak Brata. Sambil mencari alasan yang tepat untuk mencari pembenaran atas keinginannya. Lelaki yang baru saja menyelesaikan pasca sarjananya di London itu bertekad tidak akan mundur selangkah pun mendekati Tania.
"Saya paham dengan kekhawatiran yang Om rasakan. Saya ke sini hanya ingin mengantarkan kelici yang pernah saya janjikan pada Tania saat tersesat di hutan dulu. Lagi pula, saya dan Tania tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya berteman biasa saja, saya sudah menganggap Tania seperti adik sendiri." Jawab Bima berusaha meyakinkan pak Brata.
Sesaat pak Brata tertegun, keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. Apa mungkin dia salah menebak? Dari wajahnya terlihat ada keraguan mendengar ucapan Bima, tapi akalnya menyangkal. Kedekatan Bima dengan Tania masuk akal bukan? Mereka pernah tersesat berdua hari di hutan, momen itu pasti membuat keduanya menjadi dekat.
Pak Brata menghela napas. Sejenak ia memoleh pada Bima, lelaki berhidung mancung itu tampak tenang, membuat pak Brata yakin kebenaran ucapan Bima. Ia manggut-manggut sembari melihat kelinci putih dalam kandang yang tergeletak di lantai.
"Kalau mas Bima yakin tidak akan ada masalah apa pun nantinya jika dekat dengan Tania, silakan saja datang kapan pun mas Bima mau, pintu rumah ini selalu terbuka lebar. Saya percaya pada mas Bima. Maaf kalau saya sempat berburuk sangka."
"Tidak apa-apa, Om. Saya mengerti kekhawatiran Om." sahut Bima lega, lelaki itu menyimpan rapi rasa gembira yang melompat-lompat di hatinya. Ia tidak ingin membuat pak Brata kembali curiga.
"Kalau begitu, mari, silakan masuk, mas Bima. Ngobrolnya di dalam saja." ujarnya sembari membawa kelinci yang tergeletak di lantai. Bima berjalan mengikutinya ke dalam. "Silakan duduk, saya akan panggilkan Tania. Sebentarya!" pamitnya.
Bima mengangguk mempersilakan pak Brata beranjak. Ia duduk di sofa menunggu Tania ke luar. Jantungnya berdetak indah. Ada bahagia yang menggelitik hatinya membuat aliran darahnya terasa hangat.
Matanya berbinar saat Tania muncul di depannya. Seuntai senyum tipis terlontar di bibirnya. Gadis berpipi chubby di depannya mampu merontokkan akal sehatnya. Mata keduanya saling bertaut, ada getar-getar cinta yang menjalar di hati. Wajah Tania memerah melihat Bima mengerlingkan mata.
Malu-malu ia mendekat dan duduk tak jauh dari Bima. "Kak Bima bilang apa sama ayah?" tanyanya penasaran. Ia masih tak percaya sang ayah mengizinkan menemui Bima, seolah memberi lampu hijau.
"Cuma bilang mau ngobrol sama kamu."
"O, ...." Wajah Tania terlihat ragu. Tapi masa iya dia bohong, apa untungnya? Mungkin ayah benar-benar sudah memberi lampu hijau kali ini, pikirnya.
"Ohya, kelincinya di pelihara di mana?" tanya Bima menepis kecanggungan Tania.
"Di halaman samping, mau lihat?"
"Boleh?"
"Ya boleh lah, yuk!" ajak Tania ke halaman samping.
Baru saja keduanya akan beranjak, bu Ririn yang baru pulang dari kantor, masuk mengucap salam. Sesaat dia tertegun melihat Bima dan Tania berduaan di ruang tamu.
"Waalaikun salam," jawab Tania dan Bima hampir bersamaan.
Tania bergegas mencium punggung tangan sang bunda, sedangkan Bima sedikit menunduk memberi salam. Bu Ririn tersenyum kaku matanya penuh selidik menatap Tania.
"Ayah yang izinkan kak Bima masuk," jawab Tania menolak tatapan curiga bunda. Tania tidak mau dianggap anak pembangkang karena memang sudah diperingatkan agar menjauh dari Bima.
Mimik wajah bu Ririn berubah mendengar ucapan Tania. Senyum ramah menyemburat dari wajah ayunya menyapa Bima.
"Oh, mas Bima sudah bertemu dengan ayah Tania tadi?" tanyanya memastikan.
"Sudah, Tante." jawab Bima santun. Lelaki penyuka pantai itu tampak berwibawa dengan kemeja putih lengan panjang yang digulung rapi.
"Ohya, kalau begitu silakan dilanjut ngobrolnya, saya masuk dulu, permisi!" angguk bu Ririn memberi hormat.
Bima mengangguk tipis balas memberi hormat pada bu Ririn. Tania mengulum senyum melihat bunda yang kikuk.
"Ayo kak Bim, katanya mau lihat kelinci?" ajak Tania kembali setelah bu Ririn berlalu.
"Hm," Angguk Bima mengikuti Tania dari belakang.
"Tuh kelincinya, udah dipindah ke kandang yang lebih besar."
Bima mendekati kandang kelinci yang memiliki lebar sekitar satu meter. "Yang dua itu kelinci kamu?"
"Iya, sepsang, jantan betina. Kelinci yang kak Bima bawa cowo atau cewe?"
"Cewe."
"Yah, poligami dong si Blusky," jawab Tania polos. Matanya sibuk mengawasi tiga kelinci di depannya. Saking seriusnya, dia tidak menyadari jika Bima terperangah mendengar ucapannya barusan.
Bima merubah posisi dari setengah jongkok menjadi berdiri. Kata-kata Tania barusan seperti menggelitik perutnya, Ia menggosok-gosok hidung dengan tangan menahan tawa yang hampir meledak. Yang benar saja, masa kelinci pologami?
Tania ikut berdiri saat sadar Bima sedang menahan tawa. "Kak Bima kenapa? Apa yang lucu?" tanyanya polos.
"Ehm, .... " Suara Bima terdengar tidak jelas antara bicara atau berdehem. Wajah lelaki itu memerah. Tawanya pecah saat mata keduanya beradu. "Tania, kamu ada-ada saja, masa kelinci dibilang poligami, nikah aja nggak?" protesnya.
Tania menyembunyikan wajahnya ke samping, digigitnya bibirnya menahan malu, wajahnya merona saat Bima berdehem pelan.
Tania menoleh, sontak tawa keduanya meledak. Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap cemburu. Tanty baru saja pulang dari kantor, jujur saja, ada cemburu yang mengusik hatinya. Walau dia tidak pernah punya hubungan spesial dengan Bima, tapi sejak lama lelaki tajir itu menjadi idamannya. Hanya saja dia tidak pernah punya keberanian mengungkapkan perasaannya.
Tanty beranjak menuju kamar, dia tidak mau kehadirannya diketahui oleh Tania dan Bima. Menghindar saat ini jauh lebih baik baginya. Dia tidak berani mengganggu kedekatan keduanya. Bahkan dia kasihan pada Tania. Bisa dibayangkannya apa yang akan dihadapi adik kecilnya itu jika nekad menjalin cinta dengan Bima.
Kalau dia diposisi Tania, dia tidak akan berani mengambil resiko sebesar itu. Entahlah, terlalu berat baginya mengorbankan karirnya sebagai pengacara yang sedang meniti karir.
Di teras samping, Tania dan Bima sedang ngobrol santai. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Terkadang keduanya membicarakan film yang sedang buming, tapi tiba-tiba beralih ngobrolin makanan favorit masing-masing. Intinya keduanya hanya ingin duduk berdekatan, menikmati getaraan cinta yang menjalar ke hati mereka.