"Benar, Bim, waktu family gathering kemaren kamu tersesat di hutan bersama Tania, anak dari salah satu manager kita?"
Bima melirik Saras yang duduk di sampingnya. Yakin, pasti dia yang cerita pada mama. "Hm," jawab Bima datar.
Saras menyendok makanannya dengan anggun, walau kesal pada sikap Bima, tapi jauh di sudut hatinya, ada rasa takut Bima nekad membatalkan pernikahan mereka. Dia memilih mengalah demi mempertahankan perjodohan itu. Jangan sampai harga dirinya jatuh karena Bima memilih wanita lain. Tunggu saja setelah upacara pernikahan itu, dia akan membut perhitungan dengan keduanya. Berani sekali mereka menyakiti pewarus tunggal perusahaan ArtaSemesta!
"Kok bisa kamu nyasar di hutan sama gadis itu?"
"Panjang ceritanaya, Ma!"
"Mama punya cukup waktu buat Dengerin!"
Hening. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar. Mata Saras dan bu Handoko mengawasi Bima menunggu jawaban. Dan itu sukses membuat Bima gerah. Mau jawab apa dia? Apapun jawabannya pasti Tania yang akan disalahkan. Lebih baik, diam.
"Bim, Mau kemana?" tanya bu Handoko melihat Bima beranjak dari duduknya.
"Mau ke kamar, masih Ada pekerjaan kantor yang belum selesai."
"Nanti dulu, Bima. Temani Saras dulu Di sini!"
"Kan, Ada mama, biasa juga begitu!" Tanpa menghiraukan Panggilan mamanya, Bima menaiki tangga menuju kamar.
"Saras, susul, gih! Kamu harus lebih agresif! Aldo itu terlalu polos untuk lelaki seusianya!"
Saras menatap bu Handoko lekat, sebenarnya dia gengsi melakukannya, tapi demi terlaksananya pesta pernikahan itu, ia menuruti permintaan calon ibu mertuanya. Persetan dengan gengsinya di mata Bima. Setelah menikah nanti, dia akan membuat perhitungan.
Tok tok tok ...
Tanpa menunggu Bima membukakan pintu, Saras membuka sendiri dan bringsut masuk. Bima beranjak dari kursi kerjanya. Matanya bulat melihat kehadiran Saras yang lancang menerobos masuk ke kamarnya.
"Saras, ngapain kamu ke sini? Jangan lancang, ya! Ke luar!"
"Nggak usah geer! Mama kamu yang nyuruh aku ke sini!" Saras menghempaskan tubuhnya ke kasur. Rok mini yang dipakainya terangkat hingga ke pangkal paha. Sepatu heels yang masih terpasang di kakinya menjuntai ke lantai. Fose-nya membuat darah Bima berdesir. Walau bagaimana pun, dia laki-laki normal.
Bima memalingkan wajah menahan diri untuk tidak menikmati pemandangan indah itu. Walau lama tinggal di London, tapi dia lebih sering menghabiskan waktu bersama komunitas mahasiswa muslim di sana. Sehingga sampai saat ini masih memegang teguh adat ketimuran dengan kuat.
"Baik, kalau kamu mau tidur di sini silakan saja!" Bima melangkah ke luar tanpa peduli teriakan Saras yang memanggil namanya.
Buk!
Saras melempar bantal ke pintu, tepat setelah Bima ke luar dan menutupnya. Wajahnya merah padam menahan marah, rahangnya mengeras.
"b******k!" teriaknya bangkit dari tempat tidur dan bergegas menyusul Bima.
"Bima, Saras, ada apa? Calon pengantin kok ribut terus?" tanya Bu Handoko heran.
Pak Handoko yang baru tiba di rumah, memperhatikan Bima dan Saras yang sedang marahan.
"Bima kamu mau kemana?!"
"Mau jalan ke luar sebentar, Pa!" Bima terus berjalan menuju pintu.
"Ajak Saras!"
Bima menghentikan langkahmya lalu menoleh, "Bima lagi ingin sendiri, Pa. Lagi pula ini kan sudah malam, Saras harus pulang ke rumahnya!"
"Kalau begitu, antar dia pulang!"
"Dia bawa supir, Pa!"
"Oke, papa akan suruh supirnya pulang!"
"Hastaga!" grutu Bima pelan melihat papanya berjalan ke luar. Di tolehnya Saras yang bersedekap tangan memandangnya sinis.
"Nggak papa, kan, Saras, kamu pulangnya diantar Bima saja?"
"Nggak papa, Tan. Lagi pula, ada yang harus kami bicarakan."
"Ya, sudah kalau begitu," Bu Handiko tersenyum pada Saras, lalu menoleh anak kebanggaannya, "Bima, ayo, digandeng dong tangan calon istri kamu," godanya tersenyum simpul.
Bima mengucek rambutnya sendiri, walau tidak ingin melakukannya, tapi tidak sanggup membantah perintah sang mama. Dengan langkah malas, ia mendekati Saras, lalu menarik tangannya kasar menuju pintu ke luar.
"Om, saya pamit pulang," Saras membungkukkan sedikit lehernya saat berpapasan dengan Pak Handoko.
"Iya, hati-hati di jalan, ya!"
Bima memasang wajah datar, memutar bola matanya tanda tidak suka. Tapi apalah daya, ia tidak sanggup membantah perintah sang mama. Saras tersenyum, sepertinya dia mulai sadar kelemahan Bima. Anak mama!
Diperjalanan Bima mencari kata-kata untuk menghasut Saras agar mau membatalkan pernikahan mereka. Bukankah dulu dia juga punya pacar?
"Mangnya kamu nggak mau balikan sama pacar kamu?" pertanyaan Bima membuat perut Saras mual.
"Kenapa baru sekarang bertanya? Saat aku memohon agar kamu ikut menolak perjodohan itu, kamu tidak menggubris .... Aku terserah mama saja! .. Pret! ... Setelah ada perempuan sialan itu, seenaknya saja kamu ingin membatalkan pernikahan yang sudah disusun rapi ... Kamu pernah mikir nggak sih? Aku juga punya hati! Aku sudah telanjur putus dengan Nata! Aku malu Bim jika pada akhirnya pernikahan ini batal! Mau disembunyikan dimana wajahku ini!"
Saras menunjuk hidungnya sendiri, ngoceh panjang lebar. Melampiaskan kesal di hatinya.
Bima menghela napas, keningnya berkerut. Dadanya penuh sesal. Coba waktu itu dia bantuin Saras ikut menolak perjodohan itu, pasti urusannya dengan Tania tidak serumit ini. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada artinya menyesal. Yang harus dilakukannya sekarang adalah memperjuangkan cintanya dengan Tania.
"Sory, soal itu! Tapi harusnya kamu lebih gigih memperjuangkan hubunganmu dengannya. Sikapku jelaskan waktu itu ... Walau tidak membantu, tapi aku juga tidak memaksamu menerima perjodohan kita."
"Kau egois, Bima! Bahkan kau tidak menghargai pengorbananku!"
"Aku tidak pernah memintamu mengorbankan perasaanmu pada Nata, itu pilihanmu sendiri! Aku tidak tahu apa yang menjadi pertimbanganmu ... Tapi aku yakin, apa pun alasanmu saat memilih menerima perjodohan kita, pasti demi kepentinganmu dan keluarga besarmu!"
Rahang Saras mengeras, tidak suka dengan ucapan Bima. Lelaki macam apa dia? Bukannya menghibur malah balik menyudutkan.
"Kalau begitu, berjuanglah sendiri menghentikan pernikahan ini, aku tidak akan membantumu!"
"Tidak masalah kau tidak membantu, tapi jangan menghalanhiku!"
"Haha ... Percayalah Bima, aku tidak akan menghalangimu, aku hanya akan melakukan apa yang harus aku lakukan! Jangan lupa, kau berurusan dengan putri tunggal pewaris perusahaan ArtaSemesta!"
Aldo tersenyum dingin, matanya lurus ke depan memperhatikan jalan. Mobil melacu dengan kecepatan sedang menuju rumah Saras. Ia tidak menduga, hati wanita disampingnya itu tidak secantik wajahnya. Untunglah ia mengenal Tania sebelum pernikahan berlangsung, coba kalau tidak, apa sial banget nasubnya punya istri seperti dia! Bima semakin yakin untuk membatalkan pernihakan itu, setidaknya dia berusaha mencarikan calon ibu terbaik bagi anak-anaknya kelak.
Saras diam di mobil, ia tidak mau turun sebelum Bima membukakan pintu kabinnya. Dia acuh saja mendengar ocehan Bima yang menyuruhnya turun.
"Dasar manja!" pekik Bima ke luar dari mobil.
Saras tersenyum puas, akhirnya lelaki itu yang mengalah menuruti keinginannya. Saat pintu terbuka, ia melangkah turun dan menggandeng tangan Bima mengajaknya masuk.
"Sudah malam aku pulang saja!"
"Aku tidak akan melepaskan tanganmu, orangtuaku sedang mengawasi kita dari atas jendela kamarnya,"
"Apa maumu?!" Bima mulai jengak.
"Temui mereka!"
Bima terlihat kesal, tapi bukan saat yang tepat untuk frontal menolak permintaan Saras. Ia mengikuti Saras yang menariknya masuk ke dalam rumah.