Sore ini, langit Jakarta mendung. Tania duduk termangu di kamarnya memandang awan gelap dari balik jendela. Ada yang berbeda dengannya. Sepulang dari tour family gathring, ia lebih sering mengurung diri di kamar. Menghabiskan waktu liburannya dengan membaca n****+ dan sesekali mencari bahan untuk skripsinya.
Saat larut dalam alur cerita n****+ yang sedang di bacanya, dering telphon memaksanya berhenti. Diraihnya ponsel yang tergeletak di nakas. Nama Bima tertulis di layar kaca. Sesaat ia ragu untuk mengangkat. Wajah Saras kembali terlintas dalam ingatannya. Dia urung menjawab panggilan Bima. Matanya lekat memandang layar kaca yang terus bergetar hingga berhenti dengan sendirinya. Tania menarik napas dalam, menahan diri untuk tidak menghubungi Bima balik. Ia menggigit bibir, menahan gejolak di d**a.
Baru saja dia akan meletakkan ponselnya di atas nakas, sebuah notif pesan masuk membuat ponselnya kembali bergetar. Buru-buru Tania membaca pesan singkat itu.
[Assalammualaikum. Tania, Aku sudah di depan rumah kamu.]
Tubuh Tania menegang setelah membaca pesan singkat dari Bima. Bahagia, cemas, senang, sedih, bercampur mengaduk perasaannya. Dia benar-benar tidak ingin terlibat masalah dengan Saras. Apalagi ayah dan bunda juga sudah memperingatkan agar menjaga jarak dengan Bima. Bukan mereka tidak suka pada Bima, tapi takut dengan keluarga Bima dan Saras. Dua keluarga konglomerat itu sedang membuat kesepakatan kerja sama dengan ikatan pernikahan, mereka takut kedekatan Bima dan Tania akan mengacaukan rencana pernikahan itu.
Sesaat Tania mondar mandir di kamarnya memikirkan langkah apa yang harus diambil. Setelah berpikir keras, ia memutuskan menemui Bima dan bicara apa adanya. Dia mengganti bajunya dan memakai kerudung lalu bergegas menuruni tangga menuju pintu depan. Sesaat Ia menoleh ke belakang, terlihat Bik Darmi sedang sibuk menyiapkan makan malam.
"Bik, buatkan minumnya, ada tamu!" teriaknya.
"Siap Non!" sahut bik Darmi dari dapur.
Jam dinding menunjuk pukul empat sore. Pak Brata, bu Ririn, dan Tanty belum pulang dari kantor masing-masing. Saat membuka pintu, Bima sudah berdiri di sana, kedua tangannya disembunyikan di belakang.
"Assalammualaikum," sapa Bima tersenyum saat Tania membuka pintu.
"Waalaikum salam. Kak Bima? Kok datang nggak bilang-bilang?"
"Kan, sudah barusan? Apa harus bikin janji dulu baru boleh ke sini?" tanyanya sembari menunjukkan sesuatu di tangannya.
"Bukannya gitu, Kak Bim. Tapi kan ...." Kalimat Tania terhenti saat matanya tertuju pada kelinci dalam kandang ditangan Bima.
"Kelinci?" Tania membulatkan mata pada Bima, sedetik kemudian beralih pada kelinci putih yang menggemaskan di depannya.
"Hm, janji adalah hutang, bukan? Jadi aku ke sini untuk menepati janjiku membawakan kamu kelinci putih."
Tania menatap mata Bima sayu. Ada gerimis di hatinya. Andaikan bukan karena peringatan Saras dan permintaan orangtuanya untuk menjauhi Bima, pasti saat ini ia akan melompat kegirangan menerima kelinci pemberian cowok ganteng dan tajir yang mencuri hatinya.
Dengan berat hati, ia menerima kelinci putih itu, "Terima kasih Kak Bima. Tapi harusnya kak Bima nggak usah repot seperti ini." ujarnya lirih.
"Santai saja, aku tidak merasa repot, senang malah," ujar Bima seraya menyerahkan kelinci di tangannya.
Sesaat Tania tercenung, lalu menerima kelinci itu, matanya bergantian menatap Bima dan kelinci di tangannya. Sesaat ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Kita ngobrol di teras aja ya, kak Bim? Soalnya ayah dan bunda belum pulang." ujar Tania sembari berjalan menuju kursi di teras.
Bima mengangguk dan mangambil kelinci dari tangan Tania lalu meletakkannya di lantai. Sesaat kemudian keduanya duduk bersantai menikmati senja. Bik Darmi bergegas datang mengantarkan dua gelas teh hangat dan camilan di piring.
"Silakan di minum, Den." ujarnya tersenyum pada Bima.
Tania mengulum senyum milihat tingkah Bik Darmi yang genit. Ternyata biar sudah tua kalau lihat brondong ganteng, tetap saja keluar genitnya. Bik Darmi memperlambat menata cangkir, menggeser geser tatakan di meja. Tania berdehem. Saat bik Darmi menoleh, Tania mengulum senyum. Bik Darmi tersipu malu meliuk-liukkan lehernya, lalu bergegas kembali ke dalam. Bima tertawa tipis melihat tingkah bik Darmi.
"Maafkan bik Darmi ya, kak Bim."
"Apanya yang mau dimaafkan? Memang bik Darmi salah apa?"
"Um ... hahaha ... " Tania tertawa sejenak, tidak tahu harus menjawab apa, dia bermain dengan imajinasinya sendiri.
Bima ikut tertawa seolah tahu isi kepala Tania. "Um ... besok aku ada acara reunian dengan teman-teman SMA ku, kamu mau ikut?"
"Hm?" Tania menoleh, sejenak matanya berbinar mendengar ajakan itu. Bima mengangguk meyakinkannya bahwa dia tidak salah mendengar. " Tapi ... Mbak Saras? Apa kata teman-teman kak Bima nanti mengetahui yang ikut bukan mba Saras?"
"Tidak usah pedulikan apa kata mereka. Aku hanya ingin melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku ingin pergi bersamamu ke acara itu, bukan dengan Saras."
"Memangnya kak Bima belum membuat janji dengan mba Saras pergi ke reuni itu?"
"Belum. Tadinya aku berpikir akan pergi sendiri. Tapi sekarang aku ingin menghadiri acara itu bersamamu."
"Tapi aku tidak yakin ayah dan bunda akan mengizinkan. Mereka tidak mau cari masalah dengan keluarga kak Bima dan Mba Saras."
"Masalah akan selalu ada Tania. Jika kita menghindari satu masalah, maka kita akan bertemu dengan masalah lainnya. Jadi jangan pernah menghindari masalah, karena masalah akan terus ada selagi kita hidup."
Tania menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, menikmati detak jantung yang berdegup indah. Sejenak angannya mengembara membayangkan masa depan bersama Bima. Tapi ia sadar tidak mudah menggapai harapan itu, ia harus melewati aral melintang yang pasti tidak mudah. Apalagi keluarganya pun tidak mendukung.
"Gimana? Mau, ya?" bujuk Bima berharap.
"Kak Bima, aku ... mau, tapi ... takut!" ungkapnya dengan jujur.
"Tidak apa-apa kalau kamu takut, itu manusiawi. Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak berani mengambil resiko. Tapi jika kamu mau berjuang bersama, aku berjanji tidak akan meninggalkanmu apa pun yang terjadi. Aku akan menjadi lelakimu yang setia dan menjagamu hingga kita menua bersama." rayu Bima menunjukkan kesungguhannya.
"Tapi kenapa kak Bima meninggalkan mba Saras? Bukankah bulan depan kalian akan menikah?"
"Aku dan Saras di jodohkan. Awalnya Saras menentang perjodohan ini karena dia sudah punya pacar, tapi entah mengapa akhirnya di luluh juga."
"Kak Bima sendiri tidak menentang perjodohan itu?"
"Tidak, karena saat itu aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Tapi sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan! Aku akan memperjuangkan cintaku, kuharap kamu tidak menghindar. Aku tidak. mintamu ikut berjuang, tapi setidaknya beri aku keyakinan bahwa kamu pantas di perjuangkan."
"Hum?" Tania menoleh penuh tanya, mata indahnya berbinar menatap Bima. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti mimpi di siang bolong mendengar kalimat itu. Dia mencubit pahanya sendiri, memastikan ini bukan mimpi.
Pelan, ia mengangguk, walau ada rasa takut di hatinya. Andaikan kedua orangtuanya mendukung, mungkin ini bukan hal mengerikan untuk di jalani. Tapi keadaannya berbeda, selain keluarga Aldo dan Saras, dia juga harus menghadapi kedua orangtuanya. Sesaat Tania memandang langit yang mulai meredup. Darahnya berdesir saat melihat mobil ayah memasuki halaman. Tania melirik Bima, lelaki itu tampak tenang.
"Assalammualaikum, Om!" sapa Bima menjulurkan tangan saat Pak Brata mendekat.
Pak Brata tersenyum kaku, tapi tetap menyambut tangan Bima. "Waalaikum salam," jawabnya. "Tania, masuk, ayah mau bicara sebentar dengan Mas Bima."
Tania menunduk, sesaat kemudian menoleh Bima. Lelaki itu mengangguk seolah mempersilakan.
"Baik yah." jawabnya sambil lalu.
"Silakan duduk, Mas Bima, maaf saya harus bicara terus terang," Pak Brata terlihat gusar.