Part 7
Puas memetik jeruk di kebun, Bima mengajak Tania dan yang lainnya ke bukit Gundaling yang berjarak tiga kilo meter dari kota Berastagi. Dengan mobil yang sama, mereka menjelajah keindahan tanah karo yang diapit gunung Sibayak dan gunung Sinabung. Dinginnya alam pegunungan membuat perut menjadi lapar. Mereka mampir di salah satu warung yang ada di sepanjang jalan menuju puncak.
"Wah, bagus banget tempat ini." ujar Tania yang duduk menghadap ke gunung di depannya.
"Hm. Sayangnya kita buru-buru, padahal, masih banyak tempat indah lainnya yang menarik untuk dikunjungi." sahut Bima yang duduk disamping Tania. "Andai kita tersesat lagi, ...." celetuknya. Angannya mengembara membayangkan saat saat bermalam di hutan waktu itu.
"Jangan Kak Bim, tadi papa kan udah pesan nggak boleh nyasar lagi!" jawab Tania polos. Sesaat keduanya saling pandang, sedetik kemudian mereka tertawa mengulum senyum. Kenangan saat tersesat di hutan waktu itu, sungguh tak terlupakan.
Mata keduanya kembali lurus kedwpan, menikmati hamparan hijau yang terbentang luas. Sebuah gunung yang tampak biru di kejauhan berdiri dengan indahnya dengan asap yang tampak tebal di lerengnya. Sesaat kemudian pesanan mereka terhidang. Tania menoleh Tanty dan Dimas yang duduk di sisi yang berbeda, keduanya tampak akrab saling bersenda gurau. Tania kembali menatap lurus kedepan pada hamparan hijau yang mulai menampakkan kemilau jingga.
"Dari sini, kita bisa menikamati matahari tenggelam tanpa penghalang." ujar Bima seraya mendekatkan pesanan Tania.
"Kak Bima pernah melihat matahari tenggalam dari sini?"
"Pernah,"
"Dengan siapa? Mbak Saras?" tanya Tania penasaran.
"Mm, kasih tahu, nggak, ya?" tanya Bima jahil. Jujur saja, dia senang dengan pertanyaan itu, itu artinya, Tania cemburu bukan? Dan cemburu itu, artinya cinta! Wajah Bima terlihat semringah, menikmati rasa yang bergejolak di dadanya.
Reflek Tania mencubit pinggang Bima. Gemas. Lelaki berkulit sawo matang itu, menagkap tangannya. Belum sempat dia menggenggamnya, Tania segera menarik tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Sentuhan itu membuat hatinya berbunga-bunga. Dia tidak ingin menikmati rasa indah itu. Untuk apa? Jika pada akhirnya mereka akan berpisah, Tania sadar, Bima sudah ada yang punya. Dia takut jatuh cinta pada lelaki itu. Walau dia sadar, sejak pertemuan pertama di bandara Cengkareng, jantungnya selalu berdegup kencang setiap kali melihatnya.
Bima tersenyum melihat wajah Tania yang memerah tertunduk malu. Diraihnya mangkuk cuci tangan, lalu mencelupkan tangannya.
"Kamu tahu? Lapar ini mengingatkanku saat kita tersesat di hutan," ujar Bima. Sesaat keduanya saling pandang. "Ayo makan," ujarnya tersenyum indah.
Tania membalas senyum Bima, sesaat kemudian keduanya tertawa kecil. Kenangan saat kelaparan di hutan itu kembali melintas dalam ingatan.
Usai makan, keempatnya berjalan naik ke puncak bukit paling atas. Mereka berjalan di antara pohon pinus yang berjajar rapi. Dimas dan Tanty memilih jalan yang berbeda, mereka memilih berburu cendra mata khas tanah karo. Sedangkan Tania dan Bima memilih duduk di sebuah lempengan batu, diatasnya telah tersedia tikar yang disewakan penduduk setempat. Keduanya duduk bersantai menghadap gunung biru tanpa penghalang. Kemilau jingga yang berserakan menyatu menuju gunung itu. Keduanya menanti detik detik tenggelamnya sang surya.
"Kak Bima nggak takut mbak Saras marah?"
"Marah kenapa?"
"Ya, jelas marahlah, calon suaminya pergi jalan-jalan dengan wanita lain tanpa mengajaknya."
"Biarkan saja. Kalau dia nggak suka dan memilih pergi, aku tidak akan menahannya."
Kening Tania berkerut mendengar jawaban Bima. Apa maksud perkataannya?
"Kalau dia minta putus?" tanya Tania hati-hati.
Bima menoleh, bibirnya membentuk selengkung. Saat yang bersamaan, Tania juga menoleh. Alisnya naik ke atas, bibirnya membentuk kerucut.
"Berarti kamu harus tanggung jawab!"
"Tamggung jawab? Maksudnya?"
"Menggantikan posisinya menjadi mempelai wanitaku. Hahaha." tawa Bima pecah, dia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Seolah sangat menikmati kebersamaan mereka.
Tania cemberut mendengar gelak Bima. Tentu saja tidak benar-benar cemberut. Dia hanya malu menampakkan isi hatinya yang berbunga-bunga. Bahakan dia berharap ucapan itu menjadi kenyataan.
Saat sang surya mulai tenggelam, Tania dan Bima mengabadikannya dengan berphoto berdua. Bima mencuri wajah Tania di antara kemilau senja dan menyimpannya ponsel.
Setelah mentari terbenam, keduanya bergegas menuruni bukit berjalan melintasi pohon pinus yang menjulang tinggi. Dimas dan Tanty sudah menunggu di dekat mobil. Sesaat kemudian, mobil membawa mereka meninggalkan bukit.
Dua jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di hotel. Bima dan Dimas langsung menuju kamar masing-masing. Tania dan Tanty menuju kamar yang sama.
"Tania, kamu nggak takut dilabrak Saras dekat-dekat dengan Mas Bima?" tanya Tanty seraya membersihkan wajahnya di meja rias.
"Takut juga sih, Mbak. Tapi, kan, kami nggak ngapa-ngapain. Kalau nanti Mbak Saras marah, aku akan jelaskan padanya; aku dan Kak Bima tidak ada hubungan apa-apa. Kami menjadi dekat karena pernah berjuang bersama untuk bertahan hidup di hutan waktu itu."
"Aku cuma pesan sama kamu; hati-harti dengan Saras. Dia tidak segan melakukan apa saja jika dia sakit hati." Tanty beranjak dari meja rias lalu berbaring di tempat tidur.
Tania menghela napas, lalu gantian duduk di depan meja rias dan membersihkan wajahnya. Belum selesai ia memborehkan krim malam ke wajahnya, bel kamar berbunyi. Sedikit pun Tania tidak curiga siapa yang datang. Dia berpikir mungkin bunda yang datang ingin mengecek mereka yang baru pulang dari Berastagi.
Matanya membulat saat membuka pintu. Saras berdiri berkacak pinggang di depannya. Tanpa menunggu dipersilakan masuk, Saras bringsut ke dalam. Tanty setengah melompat bankit dari tidurnya.
"Mbak Saras?" tubuh Tania menegang menatap Saras tak berkedip.
"Iya! Kenapa panik? Biasanya orang yang panik itu tahu kesalahannya!" mata Saras menatap Tania tajam. Bagai singa yang siap menerkam.
"Maksud Mbak Saras apa?" tanya Tania dengan mata membulat.
"Jangan pura-pura bodoh! Jauhi Bima, kalau ingin hidupmu tenang." ujarnya seraya meninggalkan ruangan.
Tania menahan napas sesaat. Setelah Saras menghilang dibalik pintu, ia menoleh Tanty yang berdiri mematung di samping tempat tidur. Mata keduanya saling menatap.
"Kamu, sih! Cari gara-gara saja! Udah, deh. Mending jauhi Bima sebelem Saras marah beneran. Dia bukan tandingan kita. Dia anak konglomerat! Jangan cari masalah dengannya."
Tania menelan ludah. Jujur, di ciut mendapat ancaman dari Saras. Dia berjanji, mulai besok, ia akan menghindari Bima.
****
Tanpa terasa malam pun berlalu dan matahari kembali terbit menyinari kota Medan. Pagi ini, sebelum berangkat ke bandara, rombongan terlebih dulu sarapan. Tania berusaha bersikap tenag saat Saras duduk tepat di depannya mengikuti Bima yang sudah lebih dulu duduk di sampingnya. Tidak ada yang bicara, ketiganya sibuk menghabiskan makanan di piring masing-masing. Tania merasa canggung berada di antara Bima dan Saras, ia mempercepat makannya. Setelah makananya habis, Tania segera beranjak dari duduk dan memilih menunggu rombongan di lobi utama.
Satu persatu, rombongan menyusul ke lobi, bahkan sebagian menunggu di bus. Tania sengaja menunggu ayah dan ibunya, ia ingin duduk bertiga bersama mereka. Kali ini ia bertekat menjauhi Bima, seperti pinta Saras tadi malam. Saat melihat ayah bundanya berjalan menuju bus. Tania segera mengikuti. Dia mengambil posisi duduk di dekat jendela disamping ayah dan bundanya. Setelah semua rombongan naik, bus segera melacu menuju bandara Kuala Namo.
Jarak dari kota Medan ke bandara memakan waktu satu jam perjalanan. Bandara yang dibangun dengan standart internasional ini, merupakan bandara kedua terbesar di Indonesia, megah dan luas. Tinia berjalan di samping ayahnya menyusuri lorong bandara menuju ruang pemberangkatan. Dia sengaja menghindari Bima. Walau sedih melakukannya, tapi dia yakain; apa yang dilakukannya adalah yang terbaik untuk mereka bertiga.
Dia tidak ingin menjadi perusak hubungan antara Bima dan Saras. Biarlah benih cinta yang mulai tumbuh di hatinya terkubur bersama waktu.
Beberapa saat kemudian, pesawat mengudara melintasi langit biru di pagi yang cerah. Dua jam perjalanan, nyaris Tania hanya diam memandang awan putih yang menggantung di angkasa. Ancaman Saras, sukses membuatnya takut bahkan hanya sekedar mengenang Bima dalam hayalannya.
"Berat? Sini biar aku yang bawa." Bima menawarkan bantuan melihat Tania memikul tas ranselnya saat menuruni tangga pesawat.
"Terima kasih, Kak Bima. Nggak usah, nggak berat, kok!" ujarnya tersenyum kaku, matanya melirik pada Saras yang menatapnya sinis.
"Yakin?"
Tania menganggukkan kepala dan mempercepat langkahnya meninggalkan Bima yang sengaja menunggunya.
Bima mengejar, tapi ditahan oleh Saras. Wanita itu menarik tangan calon suaminya dan menggandengnya. Bima tertegun, ia menghela napas saat mata keduanya saling bertaut. Tapi gejolak ingin bersama Tania sulit ditahannya. Dia penasaran dengan sikap Tania yang seolah ingin menghindarinya. Dia tidak tahu penyebab perubahan sikap Tania yang mendadak. Tapi dia berjanji akan mencari tahu.