Tania berputar di depan cermin dengan baju tunik yang selaras dengan jilbab coklat tua. Ia memakai celana jeans dan sepatu spot putih. Mahasiswi tingkat dua itu, mengulum senyum menatap bayangannya.
Dia tidak sabar menunggu Bima menjemput, hari ini lelaki pujaan hati berjanji menemaninya ke Perpusnas.
Dering telphon berbunyi, Tania langsung menjawab panggilan yang sudah dinantikannya.
"Assalammualaikum,"
"Waalaikum salam, aku sudah di depan rumah kamu ya," sahut Bima di sebrang sana.
"Siap, segera meluncur!" jawab Tania mematikan ponsel.
Di raihnya tas ransel yang tergeletak di samping meja belajar lalu menggembloknya sembari berlari-lari kecil menuruni tangga.
"Bik, aku pergi dulu ya ..." teriaknya pamit pada bik Darmi.
Bik Darmi tergopoh-gopoh menyusul Tania yang berjalan ke pintu luar.
"Nan Tania mau kemana? Sudah pamit sama ibu dan bapak, belum?"
"Sudah, Bik! Tadi pagi aku udah bilang sama ayah dan bunda!"
"Owh, ya sudah ... hati hati di jalan. Non pergi sama siapa?" Bik Darmi melongok ke luar, wajahnya berubah cengengesan melihat Bima sudah berdiri di depan pintu. "Eh, ada Den Bima, masuk dulu, Den, saya buatkan minum."
"Nggak usah, Bik, terima kasih, saya belum haus!"
Tania mengulum senyum melihat bik Darmi yang malu-malu di depan Bima.
"Udah ... masuk, Bik! Kunci rumahanya dari dalam!"
Bik Darmi cengir kuda saat tangan Tania mentoel dagunya.
"Saya titip non Tania ya, Den Bima, hati-hati di jalan, pulangnya jangan kemaleman!"
"Iya, Bik, tenang saja, dia aman bersama saya!" jawab Bima tersenyum melirik Tania, gadis itu menahan tawa melihat bik Darmi yang ganjen, keduanya berlalu meninggalkan bik Darmi. Bima berjalan di samping Tania, tangannya gatal ingin menggandeng jemari lentik itu.
"Masih liburan semester?" tanya Bima sambil mengendalikan setir mobil.
"Masih,"
"Kapan mulai masuk?"
"Minggu depan!"
"Wah, sudah dekat ya!"
"Hm, sudah bosan juga liburannya, kangen sama teman-teman di kampus."
"Memangnya kalau libur nggak bisa ketemuan sama mereka?"
"Mareka masih pada di kampung, kebetulan teman satu geng aku, anak rantau semua!"
"Owh, hahaha .... Kalau begitu, mulai hari ini, aku akan tiap hari ngajak kamu jalan-jalan, biar nggak bosan!"
"Beneran?"
"Beneran!"
"Memang Kak Bima nggak sibuk? Kata ayah, kak Bima sebentar lagi mau diangkat jadi CEO di perusahaan."
"Justru itu, mumpung belum diangakat aku bisa leluasa jalan bareng kamu, kalau nanti sudah mulai ngantor, mungkin waktunya jadi terbatas."
"Bulan depan, kan, pengangkatannya, setelah pesta pernikahan kak Bima dan Mba Saras?"
Wajah Aldo berubah ketat. Ditariknya napas dalam dan menghempaskannya, membuang sesak di d**a. Ditolehnya Tania dengan tatapan sendu, saat yang bersamaan Tania juga menoleh. Mata keduanya sudah cukup menjadi jawaban atas pertanyaan yang belum terlontar.
Hening. Kedua insan itu larut dalam angan masing-masing. Berhap waktu bisa menghindari tanggal pernikahan itu. Tapi keduanya sadar, waktu tidak akan pernah mengabulkan permintaan mereka. Hanya doa yang terbersit di hati, semoga ada keajaiban yang merubah keadaan, melenyapkan dinding pembatas cinta mereka.
Setibanya di parkiran gedung Perpusanas, Bima membukakan pintu kabin Tania lalu mempersilakannya turun. Keduanya berjalan sejajar menuju lift. Mereka harus ikut antri bergantian masuk ke dalam lift karena padatnya pengunjung.
Akhirnya mereka masuk ke lift kloter kedua itu pun masih berdesakan. Tania menahan napas saat tubuhnya terdorong rapat dengan Bima. Hembusan napas lelaki itu terasa hangat menerpa wajahnya. Tania membuang wajahnya ke samping, tapi segera beralih menunduk. Bagaimana tidak, disampingnya berdiri lelaki lain yang wajahnya juga menghadap dengannya.
Bima bergeser mendorong Tania ke pojok dan membentengi gadis itu. Tania tersipu malu, darahnya berdesir saat aroma parfum masculin tercium dari tubuh Bima.
Tiba di lantai empat belas, keduanya turun. Tania belum berani menatap wajah Bima yang terus curi pandang. Walau dia takut menikmati geteran indah itu, dia tidak ingin membunuh benih cintanya. Ia ingin menikmatinya walau sebentar. Janji untuk melupakan Bima setelah lelaki itu menikah kembali terucap dalam hati.
"Kamu cari buku apa?"
"Buku Ekonomi Syariah. Kalau Kak Bima, mau cari buku apa?"
"Buku nikah!"
"Ha?" Reflek Tania menoleh.
Bima tertawa tipis melihat mimik Tania yang aneh. Ingin sekali disentuhnya pipi merona itu, tapi takut dosa. Dentuman di dadanya bagai genderang yang berbaris berangkat perang. Di tariknya ujung jilbab Tania kemudian setengah berlari meninggalkannya.
"Kak Bima, ih!" rengeng Tania pura-pura marah. Gesit, dikejarnya lelaki itu, tapi bukannya lari memjauh, Bima tiba tiba berhenti. Tabrakan pun tidak terhindarkan, Tania menubruk punggung Bima yang disambut Tawa bahagia lelaki itu.
Wajah Tania merona menahan malu, digigitnya bibir bawahnya menahan getaran yang berdentuman di d**a.
"Kak Bima Jail!"
"Hahaha, Abis kamu gemesin, pengen digigit!"
"Dih, emang makanan mau di gigit!"
Bima mengulum senyum dan mengerlingkan sebelah mata, wajah nakalnya membuat Tania semakin salah tingkah.
"Kak Bima ih, udah mau nikah juga! Ntar kalau aku jatuh cinta tanggung jawab, ya!"
"Memang belum?"
"Hm? Maksudnya?" belum sempat Bima menjawab, Tania tersadar dengan rasa di hatinya.
Bima menatap Tamia tajam, bola matanya seolah mampu menembus ke dasar hati Tania. Gadis bermata jeli itu menunduk. Sesaat ia menarik napas dalam lalu menghempaskannya perlahan. Keduanya salaing menatap ada pilu yang menyayat hati. Tapi tak berani untuk mengungkap. Entahlaha, Bima khawatir Tania tidak sanggup melewati rintanngn yang akan mereka lalui. Rintangan yang pasti akan menguras air mata. Keduanya kembali berjalan menuju ruang baca.
Tania mulai sibuk mencari dan mengumpulkan buku yang ia butuhkan sedangkan Bima membaca buku manajemen di sudut ruang, di tempat Tania meletakkan tasnya.
Tania meminjam buku-buku yang sudah didapatkannya. Usai shalat juhur, keduanya kembali ke mobil.
Keduanya tidak sadar jika sejak tadi mereka diikuti dan megambil foto mereka lalu mengirimkannya pada seseorang.
"Kita makan dulu, yuk!" ajak Bima yang mulai lapar.
"Ayuk! Makan di mana?"
"Tunggu saja, aku akan membawamu makan di sebuah tempat yang romantis, biar kamu sadar kalau kamu sudah lama jatuh cinta!"
Tania tersipu malu, andaikan dia punya keberanian untuk berkata jujur, dia pasti akan mengakuinya. Tapi undangan biru yang tertulis nama Bima bersanding dengan nama Saras di rumahnya, membuatnya menyimpan rapat rasa itu. Dia sadar, lelaki itu sudah ada yang punya. Biarlah cinta itu hanya menjadi cinta sesaat yang akan usang ditelan waktu.
"Kak Bima nggak papa, nih, jalan bareng aku?"
"Memangnya kenapa?"
"Ya... nggak enak aja sama mba Saras. Takutnya dia salah paham!"
Tania menoleh Bima yang konsentrasi menyetir. Lelaki itu diam untuk sesaat lamanya. Tania kembali menatap lurus ke depan memperhatikan jalanan yang ramai dengan kendaraan.
"Sayangnya dia tidak salah paham," jawab Bima pelan.
Tania menoleh bersamaan dengan Bima, lalu kembali lagi menatap lurus kedepan. Tania menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Sesaat matanya terpejam. Ingatanya kembali pada malam itu, saat Saras memperingatkannya agar menjauhi Bima. Ia takut terjadi hal buruk padanya ataupun keluarganya. Menurut Tanty, Saras bukan wanita yang bisa dianggap enteng. Dia sanggup melakukan apa saja demi mencapai tujuannya.