"Kita makan siang di Sini?" tanya Tania memperhatikan sekeliling.
"Iya, kamu suka?"
Tania tersenyum dan mengangguk tipis. Belum pernah dia membayangkan makan siang di atas restoran terapaung bersama sang pujaan hati, menikmati indahnya laut biru yang terbentang luas.
"Kamu pernah makan di sini?"
"Belum... Pernah terbersit ingin makan malam di sini sembari menikmati sunset. Tapi belum kesampaian."
"Kalau begitu hari ini aku akan mengajak kamu makan siang dan makan malam di sini, sembari menikmati tenggelamnya lentara jingga."
Tania tertunduk, bibirnya bergetar. Dia tidak tahu harus bahagia atau sedih. Sungguh dia ingin menikmati kebersamaan itu, tapi takut terluka. Bukankah lelaki itu akan segera mengikat janji dengan wanita lain? Tapi jujur, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Menikmati sejenak indahnya rasa yang bersemi di d**a. Mengobati rasa rindu yang selama ini menghimpit d**a.
Tania memberanikan diri menatap Bima, mata lelaki itu bagai magnet yang menariknya ikut kemana pun dia melangkah.
"Duduk,"
Bima menarik kursi untuk Tania. Gadis itu melempar senyum bahagia sembari duduk.
"Pesan apa?" tanya Bima membuka album menu yang tergeletak di meja.
"Terserah kak Bima, aku suka semua olahan sea food."
"Suka ikan krapu bakar?"
"Suka pake banget!"
Bima tersenyum dan mengusap puncak kepala Tania. Gadis itu sangat menyenangkan. Andaikan mamanya tahu betapa menyenangkannya Tania, mungkin dia mau menerima gadis itu menjadi menantunya. Angan Bima melayang menghayal mamanya dan Tania tertawa bersama menikmati secangkir kopi panas di teras rumah.
"Masih ada lagi, mas yang mau di pesan?"
Bima tersadar dari lamunanya mendengar pertanyaan pelayan resyoran itu.
"Itu dulu, mbak!" jawabnya singkat.
Pelayan itu mengangguk lalu bergegas pergi membawa secarik kertas pesanan Bima.
"Kak Bima punya masalah dengan Mba Saras?" tanya Tania membuka percakapan.
Bima tidak langsung menjawab, matanya menyisir laut biru. Sepertinya dia harus bicara jujur pada Tania agar gadis itu tidak salah sangka. Lagi pula, waktu yang dimilikinya tidak banyak untuk merubah jalan hidupnya. Lelaki itu berharap bisa menghindari takdir menikah dengan Saras yang sudah ditentukan tanggalnya, dan mendapatkan takdir baru, menikah dengan Tania.
Mungkinkah? Entahlah, dia tidak tahu senekad apa gadis disampingnya itu, mana mungkin dia berjuang mati-matian seorang diri, jika gadis yang diperjuangkannya tidak siap melalui badai yang pasti akan datang menghadang. Parahnya lagi, jika mundur ditengah jalan, Bima sangat ngeri membayangkan itu.
"Aku dan Saras dijodohkan!"
Tania menoleh menatap Bima yang masih menatap laut biru.
"Owh," jawabnya singkat mebulatkan bibir.
"Andaikan kita bertemu lebih awal, mungkin tidak serumit ini masalahnya!"
Tania diam, menunduk, matanya lekat menatap lantai.
"Jujur, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu sejak kejadian itu. Andaikan di hutan itu ada jaminan kita bisa bertahan hidup lebih lama, aku ingin tersesat di dalam sana. Setidaknya sampai tanggal pernikahanku dan Saras lewat!"
Tania melirik Bima, ternyata apa yang pernah terbersit di pikirannya saat di hutan itu, juga dipikirkan oleh Bima. Apa itu artinya ...? Ah, lagi-lagi, Tania tidak berani membiarkan pikirannya liar menerka-nerka. Dia terlalu takut patah hati. Bagaimana pun, saat ini Bima sedang dalam persiapan pernikahannya dengan Saras.
"Maaf, ya, Kak Bim. Coba waktu itu aku mendengarkan kak Bima untuk kembali ke tenda, mungkin kita tidak akan tersesat dua hari di hutan itu. Hubungan Kak Bima dan Mba Saras tidak perlu jadi renggang begini,"
"Kenapa harus minta maaf?... Sejak pertama melihat kamu di pintu gerbang masuk bandara, sejujurnya kamu sudah menarik perhatianku. Jadi petualangan dua hari kita di hutan saat itu, membuatku sadar bahwa aku benar-benar jatuh hati padamu!"
Tania menahan napas mendengar ungakapan Bima. Apa lelaki itu baru saja menyatakan cintanya? Apa itu artinya cintanya berbalas?
"Permisi!"
Tania menarik napas lega saat pelayan restoran datang mengantarkan pesanan mereka.
"Silakan," ujarnya ramah setelah menata penan di atas meja.
"Terima kasih, Mbak!" jawab Tania singkat.
Bima mencuci tangan di kobokan, lalu mencubit ikan bakar dan mencelupkannya ke sambal kecap.
"Ak," pintanya. Ia menyodorkan ikan itu ke mulut Tania.
Tania bagai terbang melayang menari-nari di atas awan. Tiba-tiba ia merasa gerah, tubuhnya berkeringat. Bagaimana ini? Haruskah dia menolak atau membuka mulut?
Belum sempat dia mengambil keputusan, Bima mendekatkan suapannya. Reflek, Tania membuka mulut. Darahnya berdesir saat jemari Bima menyentuh bibirnya. Lemas, sekujur tubuhmya berkeringat. Tulang-tulangnya seperti rontok dan tak mampu menopang tubuhmya yang ingin roboh.
Bima tersenyum saat Tania meliriknya, dia sangat menikmati rona wajah itu. Andaikan bisa, ingin dia merengkuhnya, membenamkan kepala gadis itu di dadanya yang kekar. Tapi, lagi-lagi, ia harus menahan semua keinginannya.
Bima membuka segel air mineral, lalu menyerahkannya pada Tania yang cekukan. Gadis itu benar-benar kelimpungan dengan rasa di hati. Rasa itu membuat jantungnya berdentuman cepat.
"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Tania resah. Dia butuh kepastian, butuh pernyataan yang kongkrit dari Bima. Masalahnya ada Saras diantara mereka.
"Menurut kamu?"
Tania mengkedutkan bahunya menjawab pertanyaan Bima. Dia benar-benar buntu, tidak tahu harus apa. Rasa takut terus menghantuinya. Sebelun ini, dia tidak pernah terlibat masalah apapun. Hidupnya selalu ringan dan menyenangkan. Tidak berani dia membayangkan wajah ayahnya saat mengetahui hubungannya dengan Bima, nanti.
Apa yang harus dikatakannya pada bunda nanti, karena telah nekad menabrak rambu-rambu yang ada. Semarah apa ayah dan bunda saat mengetahui hubungannya dengan Bima? Oh, Tuhan! Kenapa ada cinta serumit ini?
"Kita jalani saja diam-diam. Sampai saatnya nanti semua orang tahu, baru kita nyatakan keinginan kita!"
"Tapi ... Bukankah undangan pernikahan kak Bima dan mba Saras sudah disebar?"
"Hm," jawab Bima pelan.
"Kak Bim, ini tidak benar! Kita tidak boleh begini! Kak Bima sebentar lagi akan menikah... Aku tidak mau menjadi perusak hubungan kak Bima dan mba Saras!"
Bima menghela napas, lalu kembali mencubit ikan bakar di depannya. Walau sulit menelannya, tapi dia tetap berusaha menghabiskan ikan itu. Tania pun ikut mencubit ikan itu, keduanya diam serubu bahasa.
Usai makan, Bima mengajak Tania menaiki speed boad mengitari laut biru yang terbentang luas. Tak peduli dengan masalah yang ada, keduanya nekad menghabiskan waktu bersama. Bermain-main dengan rasa di d**a. Entah hubungan macam apa yang mereka jalin. Tania tidak ambil pusing, dia hanya ingin sebentar saja menikmati sisa waktu yang ada sebelum janur kuning melengkung.
Tapi tidak begitu dengan Bima, dia ingin mengikat hati gadis itu sampai benar-benar tidak bisa melupakannya. Sampai benar-benar luluh dan tidak ada pilihan lain selain ikut memperjuangkan cinta mereka.
Tidak terasa Mentari mulai menampakkan sinar jingganya. Bima dan Tania menepi lalu kembali ke restoran terapung. Keduanya bersiap menanti tenggelamnya sang surya ke dasar laut.
"Aku ingin suatu hari nanti, kita kebali ke tempat ini dan menikmati bola jingga itu tenggelam. Tapi saat itu, aku ingin menikmatinya sembari memeluk kamu dalam ikatan suci sebuah pernikahan."
"Aamiin," jawab Tania pelan hampir tak terdengar.
Hening
"Apa kamu takut?"
Tania kembali gelagapan nenjawab pertanyaan Bima. Tak tahu harus jawab apa. Tania melempar senyum kaku pada Bima. Senyum itu cukup sebagai jawaban bagi Bima mengetahui isi hati Tania.