Part 14

1167 Words
Tania takut takut menatap ayah dan bundanya saat Bima mengantarnya pulang. "Masuk!" printah pak Brata pada Tania. Tania menunduk dan bergegas masuk. "Maafkan saya, mengantar Tania pulang terlalu malam." Bima sedikit menunduk memberi penghormatan. Pak Brata menghela napas, serba salah menghadapi Bima. Sebenarnya dia tidak keberatan Bima mendekati Tania, hanya saja waktu yang tidak tepat. Siapa yang tidak mau punya calon menantu seperti Bima? Di jaman seperti ini, pemuda seperti Bima sulit di temui. "Saya yang minta maaf karena sikap saya. Andaikan situasinya tidak seperti ini, sayalah orangtua paling bahagia karena salah satu putri saya mampu menarik perhatian pemuda seperti Anda. Tapi situasinya sangat tidak tepat. Saya tidak ingin membahayakan putri saya dan keluarga saya." "Saya mengerti apa yang Anda khawatirkan. Tapi bukankah kami juga punya hak untuk menentukan jalan hidup kami?" "Iya، saya paham itu. Masalahnya surat undangan pernikahan Anda sudah disebar. Sangat tidak pantas jika Anda dan Tania menjalin kedekatan. Terlepas sebagai teman biasa apalagi lebih dari sekedar teman. Saya tidak ingin Tania dianggap sebagi perusak hubungan mas Bima dan mba Saras." "Bagaimana kalau saya yang ingin?" Hening Pak Brata mengernyitkan dahi, dia mulai penasaran seserius apa lelaki itu pada putrinya. Ia mengajak Bima duduk di teras. "Apa Anda yakin, siap menghadapi semua konsekuensinya? ... Pasti dampaknya bukan hanya pada Anda tapi pasti sangat berpengaruh pada perusahaan. Perusahaan bisa goyang karena perselisihan antara keluarga mas Bima dan mba Saras." "Apa karena demi keberlangsungan perusahaan saya harus mengorbankan mimpi saya?" Bima bersikeras membenarkan tindakannya. "Masalahnya tanggal pernikahan Anda sudah ditetapkan! Jika pernikahan itu batal, itu akan menjadi aib bagi keluarga mba Saras. Saya yakin mereka tidak akan terima begitu saja... Lagi pula bukankah dulu Anda sudah setuju untuk menikah dengan mba Saras? ... Orang orang akan mengira Tania lah yang merusak hubungan Anda dan mba Saras." "Katakan apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki situasi ini... Agar saya bisa bersama Tania?" Bima ngotot dengan keinginanya, dia sadar waktunya tidak banyak untuk memperjuangakan mimpinya mendapatkan Tania. Pak Brata menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Seyakin apa Anda terhadap putri saya, Tania?" "Seyakin saya menarik napas." "Apa yang Anda janjikan untuk putri saya?" "Saya akan mencintainya dengan sepenuh hati, menjaganya, memberikan yang terbaik yang saya bisa untuknya. Membawanya meniti jalan menuju surgaNya... Saya tidak berani menjanjikan kemewahan pada Putri Anda, karena setelah ini saya juga tudak tahu masih dianggap atau tidak sebagai pewaris perusahaan.... Tapi, bukankah reziki Allah terbentang luas? Selagi saya masih bernapas saya tidak akan membiarkan putri Anda dalam kesusahan. Saya akan memenuhi semua kebutuhannya." Pak Brata menyimak setiap kata dan janji yang terlontar dari mulut Bima. Mata kedua lelaki itu saling pandang. Ada tawar menawar di sana. Pak Brata yakin Bima tidak akan ingkar janji. Masalahanya dia juga harus siap menanggung resiko di pecat dari perusahaan. "Kalau memang Anda benar benar mencintai Tania, saya tidak akan menghalangi. Tapi saya minta selesaikan dulu urusan Anda dengan mba Saras. Setelah itu silakan datang lagi ke sini." Wajah Bima berbinar mendengar ucapan pak Brata. "Terima kasih, atas kesempatan yang Anda berikan. Saya akan selesaikan urusan saya dengan Saras." janji Bima sembari pamit pulang. Tania mengintip dari jendela atas melihat Bima masuk ke mobil lalu pergi. Sesaat matanya terpejam menetralisir rasa cemas di dadanya. Dia tahu, setelah ini dia pasti disidang oleh ayah bunda dan juga Tanty. "Tania, kamu sudah makan?" suara bunda membuat rasa cemasnya semakin menjadi. Pelan Tania menoleh menatap bunda takut-takut. "Sudah, Bun." "Duduk sini, ayah dan bunda mau bicara sama kamu!" Tania menghela napas, benar dugaannya, ayah dan Tania muncul dari tangga beriringan. Nasib jadi anak ragil, jika melakukan satu kesalahan dia akan disidang oleh orangtuanya dan juga kakak semata wayangnya. Walau usianya kini sudah dua puluh tahun, tetap saja dia diperlakukan seperti anak bau kencur yang tidak tahu apa-apa. Tania berjalan ke karpet tempat mereka selalu kumpul keluarga. Di lantai dua ini tidak ada sofa, ruangan sengaja dibiarkan lega. Hanya ada empat kursi di balkon tempat mereka menikmati rembulan bersama. Ayah duduk sejajar dengan bunda sedangkan Tanty duduk menyamping . Dan Tania sebagai terdakwa duduk berhadapan dengan ayah dan bunda. Ia menunduk dalam mempersiapkan hatinya mendengar omelan. "Kemana kamu seharian dengan Bima?" tanya ayah memulai percakapan. "Ke perpusnas, terus ke Ancol." "Kamu izinnya, kan, ke perpusnas, bukan ke Ancol! Kenapa tidak amanah!" Tania tertunduk Makin dalam, "Maaf, Yah... " "Ayah tidak bisa mempercayai kamu lagi, Tania.... Kamu sadar nggak, sih, apa yang kamu lakukan?" Hening "Ayah tidak bisa menjamin keselamatan kamu Di sini, sebaiknya kamu tinggal dengan Om Irwan Di Surabaya... Ayah, minta untuk sementara jangan berkomunikasi dulu dengan mas Bima... Ayah sudah bicara dengannya untuk menyelesaikan dulu urusannya dengan Saras. Setelah kejadian ini, ayah tidak yakin bisa menjaga kamu, kerena itu, malam ini juga, kamu harus bersngkat ke Surabaya. Ayah, sudah memesan tiket untuk kamu." "Tapi bagaimana dengan ayah dan bunda serta Mba Tanty?" "Jika kamu benar-benar peduli dengan Nasib keluarga ini, dengarkan dan taati ayah. PUTUSKAN KOMUNIKASI DENGAN BIMA sampai kondisinya aman. Kami akan aman di sini jika kamu nurut smaa ayah!" "Tania janji, Yah, Tania akan nurut sama ayah. Maafkan Tania sudah bikin ayah susah." Ayah menghela napas, tidak pernah dibayangkannya putri kesayangannya harus mengungsi. Tapi saat ini, itu yang terbaik untuk Tania. "Sekarang, cepat kemasi barang barang kamu. Pesawat terakhir jam sepuluh malam." Tania mengangguk, kemudian bergegas ke kamarnya yang diikuti oleh Tanty. "Tania, kamu yang sabar ya! Semoga masalah ini tidak sebesar yang dibayangkan ayah. Aku pasti kangen sama kamu!" suara Tanty bergetar melihat Tania mengangkut bajunya dari lemari. Tania berhenti sesaat, ada sesak yang tiba tiba menghimpit dadanya. Ditolehnya Tanty yang berdiri tak jauh dedepannya. Keduanya saling padang, mata keduanya berkaca-kaca. "Mba... " Tania mendekat dan memeluk Tanty, "Maafkan aku... Mba jaga diri baik-baik ya di sini. Jaga ayah dan bunda juga. Jika ada apa-apa tolong kabari aku." "Iya, kamu juga jaga diri baik-baik di sana!" Tanty menghapus air mata Tania. Keduanya tersenyum getir. Tany membantu menggeret koper Tania. Sedangkan Tania membawa dua tas yang berisi laptop dan buku-bukunya. Dia tudak tahu bagaimana nasib kuliahnya, minggu depan libur sudah usai, mungkinkah minggu depan dia sudah boleh pulang? Entahlah. Tania pasrah. Dia akan menunggu instruksi dari ayahnya. Dia percaya, ayah akan memberikan yang terbaik untuk hidupnya. *** Di rumahnya, Bima pun mengalami nasib yang tak jauh beda dengan Tania. Dia disidang orangtuanya di ruamg keluarga. Foto-fotonya bersama Tania di perpusnas dan di pantai berjejer di meja. "Jelaskan ini Bima!" sergah pak Handoko. Matanya bulat menatap anak tunggalnya itu. "Kalau kamu memang laki-laki yang bertanggung jawab, tidak sepantasnya kamu berbuat begini! Apa kamu tidak malu menjilat ludahmu sendiri? ... Kamu sudah setuju dengan perjodohan itu dulu.... Orang tua Saras mati-matian membujuk anaknya agar mau menerima kamu, setelah Saras setuju, ini balasan yang kamu berikan! Bikan malu!" pekik Pak Handoko murka. Bima diam seribu bahasa, ia membiarkan saja papanya mengomel sepuasnya. Dia sadar kesalahanya. Tapi bukan berarti, dia mengurungkan niatnya membatalkan pernikahannya dengan Saras. Lelaki itu hanya mencari cara agar orangtuanya mau menerima keputusannya. *** Hai gaes, jangan lupa tap love dan komennya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD