Pagi ini, Bima ingin kembali mengajak Tania bertemu. Dia ingin membawa Tania ke sebuah tempat yang paling romantis di Jakarta. Lelaki itu tidak tahu jika Tania sudah meninggalkan Jakarta tadi malam. Bima menuruni tangga bersiap sarapan pagi. Sudah menjadi tradisi keluarga itu, setiap pagi sarapan bersama di meja makan. Hanya sarapan pagi waktu kebersamaan mereka berkumpul duduk semeja.
"Bim, hari ini kamu ikut papa ke kantor. Banyak yang harus kamu pelajari."
"Nanti saja, Pa. Setelah menjadi CEO aku akan bekerja dan mempelajari semua yang harus kukuasai."
"Bima ... Jangan bantah papa kamu!" tegur bu Handoko. Ia tidak suka melihat sikap Bima yang tidak sopan.
Bima diam, jika sudah mamanya yang bicara, dia tidak akan bisa membantah. Usai makan, Bima ikut bersama papanya ke kantor. Tapi, dia berjanji akan datang menemui Tania saat jam makan siang. Ia sengaja tidak memberitahu, ingin memberi suprise pada gadis itu.
"Pakai jas hitam kamu!" suruh pak Handoko.
"Sudahlah, Pa, Bima gini aja, lagian Bima belum mulai ngantor, kan?"
"Tapi, kamu akan ikut menghadiri rapat penting!"
"Rapat apa?"
"Ikut saja, nanti kamu juga akan tahu!"
Bima mengernyitkan dahi. Rapat apa yang harus dihadirinya sedangkan dia belum mulai bekerja! Walau tidak antusias, Bima tetap memakai jas hitam yang digantung di dalam mobil. Bebarapa pasang mata yang melihat kehadiran Bima dan papanya, menunduk memberi hormat. Bima hanya membalas ala kadarnya, ia tidak curiga sedikitpun dengan rapat dadakan yang harus dihadirinya itu.
Ia tersenyum dan mengangguk kecil pada pak Brata, ayah Tania, saat berpapasan. Bima mengernyitkan dahi melihat pak Brata yang tegang. Dinginnya ruangan rapat tidak mampu menyejukkan suhu tubuh pak Brata.
Bima duduk di sebelah pak Handoko. Ia tampak gagah dengan setelah jas hitam dan kemeja putih yang di pakainya.
"Hari ini perusahaan terpakasa merumahkan salah satu manager di perusahaan ini." ujar Pak Handoko setelah membuka pertemuan.
Bima tertegun, keningnya berkerut. Ditolehnya papanya yang masih sibuk memberi argumen alasan merumahkan pak Brata.
"Pa, tunggu dulu. Sebaiknya kasus ini diselidiki dulu baru menjatuhkan sangsi. Saya yakin, ini bukan salah pak Brata!"
Bima mencoba membela pak Brata atas tuduhan korupsi. Bagaimana mungkin pak Brata melakukannya?
"Bima, kamu belum punya kekuasaan untuk mengambil keputusan. Papa mengundang kamu ikut pertemuan ini, agar kamu tahu duduk masalahnya. Jadi, bulan depan setelah pengangkatan kamu menjadi CEO, kamu paham masalahnya."
Bima mengernyitkan dahi, ingin sekali dia membela pak Brata. Dia yakin seyakin yakinnya, pak Brata tidak melakukan perbuatan memalukan itu. Orang sebaik pak Brata tidak mungkin menjadi maling. Tapi apa daya, ia belum punya kekuasaan untuk membantu pak Brata menyelidiki kasusnya. Ditolehnya pak Brata yang kini menunduk lemas.
"Jadi, mulai hari ini, Anda kami scorsing untuk waktu yang belum diputuskan. Suarat pemberitahuan scoring akan segera diedarkan. Jadi, silakan kemasi barang barang Anda."
Pak Brata berdiri lalu membungkuk memberi hormat kemudian dengan gagah meninggalkan ruangan itu. Dia tahu dia di fitnah. Licik sekali cara mereka menyingkirkannya. Apa tidak ada cara lain yang lebih terhormat?
Bima terkesiap ia segera berdiri dan mengejar pak Brata keluar ruangan.
"Pak Brata!" panggilnya setengah berlari.
Pak Brata menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. Kini keduanya saling berhadapan di lorong kecil.
"Ada apa, Mas Bima?"
"Katakan Anda tidak melakukan itu!"
"Apa Anda meragukan kejujuran saya?"
"Tidak! Saya percaya Anda tidak akan melakukan perbuatan hina itu. Saya hanya ingin mendengarnya langsung dari mulut Anda."
Pak Brata menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ditatapnya Bima lekat.
"Saya tidak pernah korupsi! Iman di d**a ini masih cukup kuat untuk membentengi saya dari perbuatan hina itu!"
"Terima kasih, Pak Brata. Saya percaya pada Anda. Saya berjanji akan menyelidiki kasus ini."
Pak Brata menatap Bima lekat, lalu berbalik melangkah pergi meninggalkannya. Dia sudah munduga akan ada masalah besar yang menimpanya setelah kejadian malam itu, saat Bima dan Tania pergi berduaan.
Bima kembali ke ruang rapat. Rasa penasaran ingin menyelidiki kasus pak Brata membuatnya betah mengikuti rapat hingga usai.
"Pa, apa tidak sebaiknya kasus pak Brata di selidiki dulu?" tanya Bima usai rapat.
Pak Handoko tidak menjawab pertanyaan Bima, ia berjalan keluar ruangan meninggalkan ruang rapat. Bima melebarkan langkahmya mengejar lelaki paruh baya itu.
"Duduk!" printah pak Handoko setibanya Bima di ruangannya.
Tanpa banyak membantah Bima duduk tepat di depan papanya.
"Dia harus membayar semuanya karena ini," Pak Handoko mengeluarkan beberapa foto dari lacinya.
Bima terkesiap melihat fotonya bersama Tania saat di perpustakaan dan di pantai Ancol. Seketika dia sadar apa yang sedang terjadi.
"Jadi, itu hukuman untuk pak Brata?"
"Tentu saja! Papa sudah memperingatkannya agar menjaga anaknya dengan baik! Tapi dia tidak mendengarkan papa! Sekarang dia harus menerima akibatnya!"
"Pak Brata sudah melarang Tania pa! Tapi saya yang memaksa mengizinkan kami bertemu."
"Bima! Apa maksudmu melakukan itu? ... Jagan bikin malu keluarga! Undangan pernikahanmu dengan Saras sudah beredar, jadi jaga sikapmu!"
"Tapi pa! Masih ada waktu untuk membatalkannya!"
"Bima!! Jangan keterlaluan, kamu!! Pernikahan itu tidak akan pernah batal! Mengerti?!" Pak Handoko berdiri berkacak pinggang melotot pada anak semata wayangnya.
"Jangan pernah berpikir untuk lari dari pernikahan itu, jika kamu tidak ingin melihat gadis itu membencimu seumur hidup!"
Bima tertegun, matanya membulat menatap papanya.
"Apa papa baru saja mengancamku?"
"Iya! Ingat itu baik-baik!"
Dengan wajah gusar Bima pergi meninggalkan papanya yang tak kalah gusar. Lelaki berwajah kebapakan itu hanya ingin menyelamatkan perusahaan. Dengan pernikahan Bima dan Saras, maka pak Cokro akan menambah sahamnya dan memperkuat perusahaan.
Bima berjalan dengan langkah lebar menuju parkiran. Amarahnya sampai ke ubun-ubun. Saat ini yang paling ingin dilakukannya adalah menemui pak Brata dan minta maaf. Ia melacu mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Tania.
"Maaf, Mas Bima. Non Tania tidak ada di rumah!" ujar bik Darmi membuka pintu.
"Saya kesini ingin bertemu pak Brata, ada bik?"
"Owh, Tuan... ada, barusan pulang... Masuk, Mas ganteng, hehehe..." Bik Darmi membuka pintu lebar.
Bima segera masuk dan duduk di ruang tamu menunggu pak Brata.
"Silakan di minum, Mas!" ujar Bik Darmi menyuguhkan teh hangat.
"Terima kasih, Bik! Ohya, Bik. Tania pergi ke mana?"
"Mm,..." bik Darmi tampak ragu memberi tahu. Sesaat ia menoleh ke arah pintu tengah, memastika pak Brata belum muncul di sana.
"Non Tania diungsikan ke Surabaya. Kata Tuan, keselamatan Non Tania terancam!"
Tubuh Bima menegang, tangannya mengepal. Apa keluarganya dan keluarga Saras juga mengancam Tania? Napas Bima naik turun menahan marah. Jika benar, ia akan membuat perhitungan, tidak pedulu apa pun resikonya!
Bik Darmi terkesiap melihat pak Brata sudah berdiri tepat di belakangnya.
"Ma..maaf Tuan, permisi..." Buru-buru bik Darmi kembali ke dapur.
Bima berdiri menatap sayu lelaki yang sangat diseganinya itu.
"Ada apa? Apa Anda ingin melihat keluarga saya semakin hancur? Saya sudah peringatkan Anda sejak awal! Dan sekarang terjadi bukan? Saya penasaran, apa yang bisa Anda lakukan memperbaiki semua ini?" tantang pak Brata.
Bima diam mematung tanpa mampu mengucap sepatah kata.