Livya tersenyum getir mengingat pembicaraan dengan Ray beberapa jam yang lalu. Sudah larut malam, Livya tak kunjung bisa memejamkan matanya. Berusaha untuk abai, namun Livya tetap saja kepikiran apa yang tengah dirasakan Ray saat ini. "Gue bicara yang sebenarnya, Ray. Untuk apa gunanya gue bohong?" Ray menggeleng, lelaki itu kembali terkekeh. "Lo dendam sama gue? Ngedorong gue supaya ngejauh dengan bilang kayak gitu?" Livya sudah bisa menebak dari reaksi yang ditunjukkan Ray. "Gue jauh dari kata sempurna. Dan ya... gue bukan tipe perempuan yang lo inginkan." Karena Livya tahu, lelaki seperti Ray yang tidak pernah neko-neko, pasti menginginkan perempuan yang 'baik-baik' untuk menjadi pasangan hidupnya. Bukan perempuan sepertinya yang sudah rusak. "Ada banyak perempuan yang jauh lebih b