Di Kampus (1)

2014 Words
Entah pikiran apa yang sudah merasuki Ardin kala itu. Wira dan Jacob yang notabene belum berpacaran sejak masuk kuliah, memiliki pemikiran yang berbeda. Ardin membuka obrolan itu menjadi semakin menyala. “Gimana Wir, Jac?” Ardin menatap dua laki-laki di depannya itu secara bergantian. Ia menunggu jawaban dari kedua sasarannya itu. “Jelas bosen lah! Gue terakhir pacaran kelas dua SMA, udah gitu di-ghosting sampai gak mau makan tuh gue, sakit! Dan sekarang, gue mau mengobati rasa sakit gue itu,” Wira mengaku. “Bucin amat lo ya ternyata,” ledek Jacob sambil menyeringai. “Namanya juga pacaran anak SMA, wajar banget kalau begituan mah. Gue udah ngerasain di-ghosting dua belas kali,” balas Ardin. “Buset, udah kayak piring lusinan ya, dua belas!” canda Wira. “Hahaha, entah ya gue ini kurang apa sebenarnya. Tampan oke, pintar oke, jago merayu juga oke. Gak habis pikir gue!” tambah Ardin. “Ada satu hal yang kurang, dan gak lo sadari saat ini,” kata Wira. “Apa?” Ardin mencoba memikir juga. “D u i t!” koor Wira dan Jacob yang membuat Ardin memuncungkan bibirnya. “Udah sadar kan sekarang lo?” Wira menekankan dan tertawa. “Eh Wir! Jangan dibikin makin sadar, nanti dia insecure gara-gara gak punya duit!” Jacob membuat ledekan itu semakin menjadi-jadi. “Jac! Lo kok malah ikut-ikutan Wira ngebahas masalah dompet gue sih!” Ardin menunjukan paras wajah putus asa. Ia mengambil dompetnya pelan-pelan dan mengintipnya, “tapi, bener juga sih kata kalian, duit gue seret! Hahaha.” Dan akhirnya, Wira, Ardin, dan Jacob menertawakan isi dompet yang dimiliki Ardin. *** Di bawah terik matahari itu, Ribka yang diamanahkan menjadi ketua panitia perekrutan anggota baru itu masih menjalankan tugasnya. Demi mendapatkan banyak anggota baru yang melanjutkan komunitas pencak silatnya, ia rela mondar-mandir di seluruh koridor kampus kayak setrika uap. “Mbak, mas, minat join komunitas pencak silat kampus, gak? Murah meriah kok dan dapat ilmu yang endul abis seumur hidup!” kata-kata itu berulang kali terus diucapkan Ribka. Tak hanya berkata, Ribka memberikan lembaran brosur yang berisi informasi lengkap mengenai komunitas pencak silatnya. Satu, dua, dan tiga perempuan seumuran dirinya menghampiri Ribka, rupanya mereka tertarik. Ribka memasang wajah yang penuh dengan senyuman. “Mbak, ini pencak silatnya bisa untuk menghilangkan ilmu kecemburuan saya dengan mantan gak sih? Soalnya saya masih terngiang-ngiang dengan masa lalu,” kata salah satu perempuan yang datang. “Hah?” Ribka terbelalak. “Em… eh… ehehe, begini, Mbak,” Ribka memikirkan cara balasan yang tepat untuk perempuan itu, sepertinya perempuan itu butuh tempat curhat, deh. “Begini, Mbak. Komunitas pencak silat itu khusus untuk mempelajari ilmu bela diri, jadi semacam kemampuan mempertahankan diri sendiri dari serangan orang lain, Mbak,” jelas Ribka. “Oh, cocok banget tuh dengan saya! Saya sering tuh dihina-hina sama tetangga saya, masa dibilang saya sugar baby-nya Pak Ari, sih. Padahal kan Pak Ari hanya menjemput dan mengantarku ke kampus. Nah, kalau gitu, saya bisa membela diri saya di depan tetangga saya yang nyinyir itu, kan?” tanya perempuan lainnya yang memakai bando merah besar Hello Kitty di atas kepalanya. Tiga perempuan yang berada di antara perempuan itu termasuk Ribka, saling menoleh satu sama lain. Mereka baru saja mendengar sebuah pengakuan langka yang memang sedang menjadi hot news kampus. “Jadi, yang selama ini gossip tersebar di penjuru kampus itu benar adanya, Mbak?” perempuan pertama yang curhat soal mantan tadi bertanya. “Hah? Gosip apa lagi, haduh, saya gak ngerti ya sama telinga-telinga penghuni kampus ini. Gampang banget percaya kalau soal per-sugar sugar-an itu. Ya gak mungkin saya jadi simpanannya Pak Ari, sebulan cuma dikasih lima juta doang, saya tolak—eh?” bando merah yang terpasang di atas kepala perempuan itu tiba-tiba terjatuh. Wajah perempuan itu memerah hampir senada dengan warna bando yang ia kenakan. “Lupakan, lupakan, saya rasa gak penting ya bahas begituan,” pengalihan topik ini cukup menganehkan. Ribka juga berpikiran hal yang sama. Namun, Ribka yang malas ikut-ikutan soal itu, memilih menyimpannya dalam-dalam. “Jujur atau tidaknya perempuan ini, gue percaya bahwa di kampus ini memang ada per-sugar-an yang haqiqi,” batin Ribka. “Jadi, gimana ya Mbak mbaknya semua ini, jadi ikut komunitas pencak silat?” Ribka mengambil pembicaraan yang mana menjadi tujuannya. “Boleh deh boleh,” koor ketiga perempuan yang berada di hadapan Ribka. Satu perempuan berkacamata dan berbehel itu, tampak iya-iya saja sejak dari tadi, Ribka membuka topik pembicaraan. “Mbaknya yang berkacamata, apa ada hal yang perlu ditanyakan tentang komunitas pencak silat ini?” kata Ribka dengan mengukir senyumannya. Perempuan berkacamata itu tampak tersenyum, membalas senyuman milik Ribka. “Hmm, mboten, Mbak. Kulo sampun ngertos opo seng Mbak e ucapno,” (enggak Mbak, aku sudah mengerti apa yang Mbaknya bicarakan). Logat Jawa Timur dengan nada yang medho’ (khas) itu mewarnai sosok perempuan berbehel tadi. “Oh nggih, Mbak,” (oh iya, Mbak) balas Ribka dengan bahasa jawa timur seadanya. Lah mau ngebales apaan lagi? Ribka kan anak Betawi ngakak yang gak paham keseluruhan bahasa Jawa Timur. Daripada salah? Ribka berbicara secukupnya saja. “Ya udah, silakan mengisi formulir pendaftaran ini ya Mbak Mbaknya semuanya ini,” Ribka memberikan kertas yang penuh dengan pertanyaan soal data diri dan pengalaman kepada tiga perempuan di depannya. Lantas, mereka yang sudah mendapatkan kertas itu langsung mengisi dengan sebenar-benarnya. “Ngisinya yang benar ya, Mbak. Jangan isi data diri yang salah. Gue gak suka gitu ada yang PHP!” ujar Ribka ketika ketiga perempuan itu mengisi formulirnya. “Tenang aja lah Mbak, saya ini perempuan koalisi anti ghosting parlente!” ya, perempuan satu ini dari tadi ngomongin ghosting terus. “Podo Mbak, kulo iki raiso ngapusi uwong, kok,” (sama, Mbak, aku ini gak bisa bohongin orang). Balas perempuan berlogat Jawa Timur tadi. Ribka mengangguk, “sip lah, oke lah kalau begitu, silakan silakan.” ……brakkkk… sebuah bunyi kendaraan yang terjatuh terdengar hingga ke telinga Ribka. Semua yang berada di sana, langsung mencari di mana asal suara jatuh itu. Ternyata, di depan pintu gerbang kampus, ada seorang perempuan yang tergelincir motornya. Jatuh, motor dan perempuan itu jatuh di atas aspal. “Haduuh, siapa itu siapa,” “Kenapa itu, ditolong cepetan,” Sorak-sorai mahasiswa dan mahasiswi sekitar langsung menuju tempat kejadian perkara. Seketika saja, perempuan dan motor yang terjatuh itu tidak bisa dilihat oleh Ribka, banyak sekali pengganggu yang menutupinya. Ribka menunggu tiga perempuan yang mengisi formulir di depannya. “Mbak, cepetan dong ngisinya, gue mau bantuin itu orang yang jatuh,” kata Ribka yang pandangannya tetap memantau ke arah TKP. “Iya Mbak, bentaran napa, kan butuh konsentrasi tuh ngisinya. Kalau cepet-cepet mah namanya gak pakai hati,” balas perempuan yang berbando merah. Ribka menghela napas. “Ya udah kalau gitu gue bantuin itu mahasiswi yang jatuh ya, kalian kalau sudah selesai, langsung letakan saja formulirnya ke stand kita,” Ribka menunjuk ke sebuah kelas yang di depannya ada banner “Komunitas Pencak Silat Universitas Merem Melek” Untungnya ketiga perempuan itu tidak banyak cin cong dan Ribka segera menghampiri mahasiswi yang terjatuh. Ribka menyelinap ke sela-sela mahasiswa dan mahasiswi yang berkerubung. “Kalian ini gimana sih, ngumpul aja kayak semut cari makan! Ditolong dong itu!” Ribka kesal karena tidak ada satu pun orang yang menolong perempuan gempal yang terjatuh itu. “Mbak, lo gak apa-apa?” tanya Ribka yang memegang pundak perempuan itu. “Gue Lusi,” perempuan yang masih terjerungkup di aspal itu sempat-sempatnya menyebutkan namanya. “Bantuin gue dong Mbak, gue gak bisa bangun,” Lusi mengulurkan tangannya ke Ribka. Ribka segera menarik dan menopang tubuh Lusi dengan mengalungkan salah satu tangan Lusi ke lehernya. “Awas! Awas! Minggir kalian semua!” teriak Ribka yang meminta orang-orang di dekat situ untuk membuka jalan. Ribka mendudukan Lusi di pinggir jalan, di atas trotoar. Ribka mengeluarkan botol air mineral yang berada di dalam tasnya. Ia berikan ke Lusi yang wajahnya masih pucat. “Nih Mbak, minum dulu, lain kali hati-hati ya kalau mengendarai motor, apalagi ini habis hujan, pasti jalanannya licin,” Ribka memberikan nasihat ke Lusi. “Iya, Mbak, ini salah gue juga sih, cepet-cepet nyetirnya. Tapi mau gimana lagi…” Lusi mulai meneguk air mineral pemberian dari Ribka. “Gimana lagi? Apa lo lagi tergesa-gesa ya? Mau ke mana? Sini biar gue antar aja,” Ribka sudah setengah berdiri, namun Lusi menghentikannya. “Gak usah, gak usah, gak usah repot-repot, Mbak. Gue masih kuat nyetir kok,” Lusi berusaha berdiri dengan tubuhnya yang agak gemuk itu. Ribka tetap membantu dan memegangi lengan Lusi berharap Lusi bisa berdiri dengan sempurna. “Minggir minggir!” Ribka menyuruh membuka jalan lagi dengan matanya yang sedikit dilototkan. “Eh, lo yang nge-videoin, hapus gak hapus gak?!” Ribka kesal dengan beberapa orang yang mengeluarkan ponselnya hanya untuk mengambil gambar atau video mengenai kecelakaan yang dialami Lusi. “Eh, kalian semua sudah mahasiswa kan? Sudah tau kan mana hal bodoh atau benar? Kalian yang ngefoto atau ngevideo itu ngelakuin hal bodoh tau gak! Bukannya ngebantu malah nyampah di sini!” sabda yang keluar dari mulut Ribka, membuat beberapa mahasiswa tertawa dan ada juga yang langsung menyingkir. “Sudah, Mbak sudah, gak usah diladenin, biarin aja,” Lusi menenangkan Ribka. “Tapi, lo tau gak sih itu gak penting banget, harusnya kan—“ “Sssssttttt, sudah, lagian orang-orang sudah pada menyingkir dari sini kok. Gue terima kasih ya sama lo, udah mau nolong. Kalau boleh tau, nama lo siapa?” tanya Lusi dengan ramahnya. “Gue Ribka,” Ribka mengambil tangan Lusi dan berjabat tangan. Lusi tersenyum. “Salam kenal ya, Ribka. Gue pergi dulu, ya,” Lusi langsung berpamitan. “Oh iya, hati-hati ya,” kata Ribka. Lusi pun menganggukan kepalanya. Lusi lalu menaiki motornya dan Ribka melambaikan tangan sebagai isyarat mengatakan, “sampai jumpa kembali.” Ribka menatap kembali ke tempat dimana ketiga perempuan kampus mengisi formulir pendaftaran komunitas pencak silat. Dari kejauhan itu, sudah tidak terlihat ketiga perempuan itu. Lalu, Ribka langsung ke ruang kelas yang di sana sudah ada kumpulan teman-teman komunitasnya. “Halo bray!” Ribka menyapa satu orang anggotanya yang sedang berjaga saat itu. “Eh, Rib! Gimana nih, kita belum dapat anggota. Sudah dua hari promosi kesana kesini, gak dapat apa-apa,” keluh seorang laki-laki yang umurnya sama dengan Ribka, Tono. “Hah? Tadi tiga orang perempuan gak ada ke sini? Mereka sudah berminat dan sudah mengisi formulir. Apa mereka gak kumpulin formulir di sini?” Ribka menjelaskan. “Tiga perempuan yang satunya lebay, satunya pakai bando merah merona, dan satunya medho’ Jowo iku kah?” balas Tono. Ribka mengangguk cepat, “nah iya, benar! Jadi daftar gak mereka?” tanya Ribka. Tono menepuk jidatnya. “Daftar apaan, yang ada mereka ngomongnya ngelantur di sini. Masa iya, minta jaminan. Kalau gak bisa bela diri harus mau jadi pendamping hidupnya. Mana gue yang ditawarin jadi pendamping hidupnya!” beber Tono dengan wajah yang sedikit kesal. Ribka tergelitik, “hahahhaa, ternyata ada udang di balik batu ya. Ada maunya tuh masuk ke komunitas ini. Makanya, lo jadi cowok itu jangan terlalu ganteng lah, jadi boomerang kan buat lo!” balas Ribka. “Gak salah dong jadi cowok ganteng, yang salah itu pola pikir mereka,” Tono menggelengkan kepalanya. “Lagian sih, lo jomblonya kelamaan. Makanya, cepetan cari gebetan gih biar kalau ada yang gangguin lo, pada gak berani karena lo sudah punya orang,” Ribka menyarankan. “Incaran sih sudah dapat, tapi tinggal pedekate-nya aja belum sukses,” Tono mengaku. “Woahhh, suatu kemajuan ya Ton. Lo sudah punya inceran sekarang, semoga sukses ya. Eh, ngomong-ngomong siapa sih inceran lo, sini bisikin gue!” Ribka mendekatkan telinganya ke bibir Tono. “Elo!” bisik Tono yang membuat Ribka terbelalak dan spontan menjauhkan wajahnya. “Eh Ton, lo sama ketiga perempuan itu sama ternyata ya pola pikirnya, ngelantur! Udah dulu ye, gue ada kelas nih, bye!” Ribka keluar dari kelas itu dan mencari kelas perkuliahannya. “Hmm, gagal maning gagal maning,” ujar Tono sambil menggelengkan kepalanya. Tono yang ditinggal sendirian lagi di dalam kelas itu, hanya gabut sambil menunggu calon anggota yang minat untuk bergabung di komunitasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD