Quality Time!

1846 Words
Mona dan Lusi mengitari jalan menuju kampusnya. Beruntungnya, jarak dari kosan Mona ke kampus itu hanya sekitar lima belas menit. Mereka berdua tidak ada alasan lagi kepanasan atau kena debu jalan terlalu lama. “Lus, gue mau nanya deh, kenapa lo baik banget ke gue?” Tanya Mona sembari menunggu motor mereka terparkir di kampus. “Hah? Baik gimana? Menurutku biasa aja sih,” jawab Lusi. Mona terkekeh, “ya bukannya gitu Lus. Kita kan baru kenal tuh, terus pertemuan awalnya nggak ngenakin lagi. Kok kamu mau repot-repot antarin aku ke sana kemari?” “Itu karena aku lagi senggang dan mampu aja, lagian kalau aku sibuk pun aku males kok numpangin orang,” kata Lusi dan membuat Mona menelan ludahnya. “Kayaknya pertanyaannya salah deh,” batin Mona. Mona dan Lusi sudah tiba di depan kampusnya yang bertuliskan, “Selamat datang di Universitas Merem Melek, kalian akan menemukan sesuatu yang tak terduga di sini.” Begitulah slogan yang selalu ditempelkan di tiap-tiap sisi kampus. “Eh stop deh stop, itu motor gue!” Mona menepuk bahu Lusi dan membuat Lusi memberhentikan motornya tiba-tiba. Badan Mona terdorong ke depan dan membuat Lusi terdorong ke depan pula. “Aduh Mon, jangan mendadak gini dong, kasih gue arahan dari jauh,” kata Lusi. “Ih maaf ya, gue lupa lupa ingat dimana parkir motornya, hehe,” Mona nyengir dan segera turun dari motor Mona. “Lo tinggal gue sekarang, gak apa-apa kok,” pinta Mona. “Serius? Lo gak nangis?” balas Lusi sambil membuka kaca depan helmnya. Mona terhentak, ia memundurkan kepalanya. “Kenapa gue nangis coba? Ya enggak lah, lo ini ngadi-ngadi deh!” “Hehehe ya udah kalau begitu. Gue pulang duluan ya,” kata Lusi dan langsung membalikan arah motornya. Mona yang sudah terlanjur kangen dengan motor matic bermotif kelor itu, berlari mengarah ke motornya. Langsung ia peluk-peluk itu motor dan mengucap maaf, “maaf ya motor gue yang comel, gue lupa banget lo ternyata masih di parkiran kampus. Lo gak kenapa-kenapa kan?” Mona mengecek seluruh bagian luar motornya. Dan, Mona menemukan selembar brosur, “Rekrutmen Anggota Tim Pencak Silat Merem Melek.” “Hah, apaan ini kertas kucel bisa-bisanya nyelempit di dashboard motor antik gue!” Mona menarik kertas berukuran A4 berwarna merah hati itu. Mona membaca tiap kalimat yang tertulis di dalam kertas itu. “Pencak silat? Nih orang salah target taruh brosur beginian di motor gue. Gue mana cocok jadi cewek kelahi-kelahi, gue kan cocoknya jadi model majalah atau TV gitu,” Mona menaikan ujung bibirnya ketika membaca sekelumit tentang pencak silat itu. “Kalau gue ikut komunitas beginian nih, kulit mulus cantik gue seketika akan redup dan tidak memancarkan aura berlian, oh no…” Mona menggelengkan kepalanya dengan raut wajahnya yang merisih. “Halo, lo berminat ikut komunitas pencak silat universitas merem melek?” ujar seorang perempuan di belakang Mona. Mona mengerutkan dahinya dan segera membalikan badannya untuk melihat perempuan itu. “hah? Lo gak salah tanya sama cewek cantik kayak gue? Ya keles gue mau ikut pencak silat ginian,” Mona menolak mentah-mentah. “Nih nih ambil lagi,” Mona menyerahkan kertas tadi kepada perempuan yang memiliki nama Ribka. “Lain kali jangan seenak jidat naruh kertas di dashboard motor gue ya, malah jadi sampah kelihatannya,” Mona menaiki dan menyalakan motornya lalu pergi meninggalkan Ribka. Ribka memegang brosur komunitas pencak silatnya yang sedikit kusut itu. Ia menatap kepergian Mona hingga Mona benar-benar hilang dari pandangannya. Ribka menghela napasnya. “Oh itu ya cewek songong yang telat waktu ospek dulu,” Ribka mengangguk. “Mulai saat ini, gue tandain tuh cewek, awas aja kalau ketemu lagi, gue bakal balik arah!” lanjut Ribka. *** Di rumah Jacob, Ardin sibuk dengan rapat daringnya setelah berhasil mengemis tattering gratis milik Jacob. Dengan gagah dan wibawanya, Ardin membuka rapat tersebut dengan nada keberat-beratan, bukan kebarat-baratan. “Selamat sore, rekan-rekan semuanya. Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk mengikuti rapat ini. Kita akan membahas mengenai program kerja selanjutnya ya,” kata Ardin fokus menatap layar ponselnya, karena memang hanya ponselnya yang support untuk mengikuti rapat daring. Wajah Ardin tampak serius, berbeda sekali ketika bersama Wira dan Jacob yang penuh dengan canda gurau. “Eh Jac, kenapa Ardin tiba-tiba kayak bunglon gitu, ya? Kadang tengil banget, kadang sok serius kayak gitu tuh,” bisik Wira pada Jacob, yang sedari tadi memperhatikan perawakan Ardin saat mengikuti rapat. “Iya, gue juga gak paham. Mungkin karena sebagai ketua DEMA harus tegas dan berwibawa kali ya,” balas Jacob. Sembari menunggu Ardin selesai mengikuti rapatnya, Wira dan Jacob enggan diam-diaman aja macam kambing congek. Sama seperti genk-genk lainnya, Wira dan Jacob yang nganggur itu malah ngomongin Ardin. “Ya kalau hanya berwibawa di depan anggota DEMA sih itu muka dua namanya, gak natural!” kata Wira. “Terus harus gimana? Masa harus menye-menye sih di depan anggotanya? Yang ada malah gak hargain tuh si Ardin,” ucap Jacob. “Ya juga ya, sebagai laki memang harusnya punya sikap wibawa, apalagi Ardin kan pemimpin organisasi yang katanya jabatannya paling tinggi,” ujar Wira. “Nah, itu lo ngerti sendiri kan!” “Eh ngomong-ngomong nih ya Ardin sering banget tuh habisin waktunya buat ikut rapat dan organisasi kampus lainnya. Nah, kira-kira dia kecipratan dana-dana debu gak sih?” Wira menanyakan hal yang nyeleneh. “Hah?” Jacob mengerutkan dahinya. “Dana-dana debu gimana maksud lo?” “Hmm, dana yang kalau diambil itu gak kelihatan, mirip debu gitu, ah masa lo gak paham sih!” Wira menepuk bahu Jacob. “Ah gak ngerti mah gue kalai gitu-gituan, positive thinking aja kali Wir!” pinta Jacob. “Lo gak seru ah, padahal mau gue ajakin untuk ngobrolin sisi gelap organisasi kampus,” Wira kecewa. “Hussst! Jangan mikir yang aneh-aneh deh. Gue yakin kok kalau Ardin ngejalanin tugasnya sebagai ketua DEMA itu dengan sungguh-sungguh dan jujur. Lo itu ya kayak netizen julid yang selalu aja komentarin hal yang gak bener,” Jacob yang memang memiliki kepribadian yang positive thinker, merasa kalau Wira sudah kelewatan batas. “Dih, lo kenapa sih Jac kalau gue julid-in Ardin, lo malah bela-belain gitu?” kata Wira. “Apaan deh lo Wir, gue itu selalu menanamkan sikap yang percaya dan tidak berprasangka buruk dengan siapapun. Gak ada salahnya dong?” Jacob kembali menatap layar ponselnya. Dan langsung membuka sebuah akun i********:. “Udah dulu ya jangan ganggu, gue mau ikut give away lagi! Lumayan nih hadiahnya sepeda lipat,” pungkas Jacob yang membuat Wira menyeringai. “Duh, punya dua temen cowok kok kelakuannya gini, satu tukang ngutang, satu suka gratisan, ya gak apa-apalah, untung aja gue sayang kalian!” ucap Wira. Mendengar kata “sayang” yang keluar dari mulut Wira, Ardin yang tadinya sedang fokus menjalani rapat daring, langsung menyipitkan kedua matanya ke arah Wira. “Wir, lo beneran sayang sama gue?” Ardin semakin menyipitkan kedua matanya dan membuat Wira merinding. “Nggak, nggak, utang tetep utang ya, gak pakai potongan-potongan harga apalagi lunas!” cerca Wira yang sudah paham sekali isyarat mata yang dilakukan oleh Ardin. Ardin kembali merengut. Jacob yang melihat tingkah laku dua orang di depannya itu hanya menyeringai dan enggan menggubris. Selang lima belas menit kemudian, Ardin masih fokus berbicara dan mengikuti jalannya rapat yang dipimpinnya itu. Sementara Jacob asyik menggenggam ponselnya dengan mem-posting apa saja yang menurutnya menguntungkan. Sementara Wira yang dari tadi miring sana miring sini duduk di atas sofa, merasa bosan tak tertolongkan. “Hmmm kalian berdua lagi bener-bener sibuk ya?” tanya Wira. Namun, Ardin dan Jacob tidak menjawabnya. Jangankan menjawabnya, menolehkan wajah ke arah Wira pun seperti tak sudi. Hanya terdengar detakan detik dari jam yang terpasang di atas pintu keluar, dan berisikan situasi rapat yang sedang diikuti oleh Ardin. Wira berdiri dari sofa, mengarahkan pandangannya ke luar rumah. “Kalau kalian sibuk dengan dunia kalian masing-masing, lebih baik nggak usah pakai acara ngumpul segala. Kalian itu nge-ghosting gue tau gak!” kesal Wira. “Kang ghosting kali ah, kayak judul FTv, hmm keseringan nonton FTv ya lo?” Jacob merespon. “Ya gak gitu kali, tapi sumpah gue kayak orang bengong di sini. Gak punya kesibukan apa-apa,” kata Wira lagi. “Slow Wir, bentar lagi gue selesai kok!” sahut Ardin yang merasa lima menit lagi rapatnya akan usai. “Iya deh, gue tungguin, awas ya lo bohong lagi!” Wira mendirikan jari telunjuknya dan diarahkan ke Ardin serta Jacob. “Iya bener deh, duweeeer!” Ardin meyakinkan. “Nah gitu dong!” Wira kembali duduk di atas sofa dan kini dengan wajah yang sedikit berbinar. Ia menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Ardin itu benar adanya. Dan sampailah Ardin di penghujung rapatnya di sore itu. “Sekian rapat kita hari ini, kurang lebihnya mohon maaf. Semoga program kerja yang kita rencanakan ini dapat berjalan dengan lancer, aamiin,” Ardin pun langsung mematikan aplikasi rapat onlinenya dan menaruh ponselnya di atas meja. Ardin duduk tepat di sebelah Wira sambil merebahkan tubuhnya seolah-olah berisirahat karena sudah rapat sepanjang tadi. “Capek?” tanya Wira. “Sedikit,” jawab Ardin singkat. Ardin yang baru saja merebahkan badannya, seketika berdiri kembali dan menarik ponsel Jacob. “Eh eh, ngapain lo ambil hape gue! Balikin nggak!” Jacob berusaha merampas lagi ponselnya yang berada di tangan kanan Ardin. Ardin yang memiliki tinggi badan yang lebih tinggi dari Jacob, mampu membuat Jacob gagal untuk menggapainya. “Ah lo gak seru, Din!” keluh Jacob. “Ini hape gue sita dulu ye, gue taruh di sini nih,” Ardin menyimpan ponsel milik Jacob di balik saku celananya. “Ogah! nanti bau macam-macam lagi itu! Kembalikan sini,” Jacob tetap berusaha mengarahkan tangannya ke saku celana Ardin. “Udah ah, lo tinggalin give away lo sejenak,” Ardin memberhentikan tangan Jacob. “Saatnya kita quality time antara lo, gue, dan Wira. Kan maksud kita ngumpul di sini untuk hal itu, kan? Kalau pada sibuk sendiri, itu namanya bukan quality time, melainkan sok asik sendiri,” tegas Ardin. Ardin yang umurnya lebih tua dan cenderung lebih bersikap dewasa dibanding Wira dan Jacob, berhasil membuat keduanya bungkam. Jacob yang dari tadi berusaha mengambil kembali ponselnya, kini tampak ikhlas ponselnya tersimpan di saku celana Ardin. Begitu juga dengan Wira yang tersenyum melihat kedewasaan dari Ardin. “Lo memang juara kalau soal dewasa-dewasaan, Din!” Wira menepuk tangannya dan dipersembahkan untuk Ardin. “Dewasa apaan, ngeselin!” Jacob tampaknya berbeda haluan. “Sudah, sudah, yang penting kita bertiga di sini ngobrol-ngobrol asik aja lah. Kapan lagi coba kita punya waktu kayak gini? Apalagi kalau ujian semester nanti tiba, waktu kayak gini nih bakal langka banget untuk kita,” jelas Ardin. Jacob berusaha sepaham dengan Ardin dan Wira. Karena, dia bakal kalau suara sendiri. Daripada mendengar celotehan Ardin yang berakhir panjang, mending Jacob mengiyakan saja dan mengikuti bagaimana perbicangan sore itu. “Iya deh iya,” Jacob tampak pasrah dan mengambil tempat duduk di depan Ardin dan Wira. “Nah gitu dong. Kalau suasana kayak gini kan enak, lebih akrab aja gitu ya kan. Eh, kalian semua pada bosen nge-jomblo gak sih?” tanya Ardin di sela-sela keheningan di ruangan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD