bc

Three Triangle Rings

book_age18+
275
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
dominant
tomboy
powerful
brave
drama
comedy
sweet
genius
first love
like
intro-logo
Blurb

Tiga perempuan berbakat idola kampus yang memiliki insecure di dalam dirinya dan kecewa tidak pernah merasakan kesetiaan cinta. Mereka bertiga rela mengikuti saran dari seorang peramal gadungan perihal jodoh. Nahas, sang peramal mengatakan kalau jodoh mereka adalah geng cowok di kampus yang menjengkelkan. Akankah tiga perempuan itu benar-benar berjodoh dengan geng cowok itu? Apakah geng cowok itu bisa menghilangkan rasa insecure dalam diri ketiga perempuan itu?

chap-preview
Free preview
Pembukaan Ospek
“Eh! Lo yang badannya kayak kingkong, baris di depan!” Ardin menunjuk Lusi dengan mata melotot. Kali ini Ardin menjadi ketua panitia ospek Universitas Merem Melek. Sudah pasti ia harus bersikap tegas, gagah dan berani seperti lakon Captain America. Dari sekian panitia yang hadir, memang Ardinlah yang suka ngatur ini—itu hingga bikin peserta ospek keki. Lusi menuju barisan paling depan membawa tas karungnya yang sudah rusak, “Heh! Jalannya pakai gaya ular dong, lo belum baca tata tertib ospek ini ya?” Ardin berbicara keras tepat di telinga Lusi. Lusi tidak langsung menuruti Ardin, “Maaf mas, bukannya ospek ini harusnya nggak ada perploncoan ya? Kok gue disuruh jalan gaya ular?” Lusi berusaha berbicara halus kepada laki-laki yang mengacak pinggang di depannya. Lusi enggan memandang laki-laki itu, ia hanya menunduk dan menunggu jawaban dari laki-laki itu. “Jadi lo pikir yang gue lakukan ini perploncoan gitu? Duh, gak usah sok kritis gitu deh. Cepat sana masuk ke baris hukuman!” Ardin sebenarnya paham kalau tindakan yang ia lakukan bertentangan dengan arahan rektor. Akan tetapi, agar dirinya terlihat berwibawa di mata peserta ospek, Ardin sengaja melakukan hal itu.  Ardin berdiri di depan barisan para peserta ospek yang ia rasa melakukan kesalahan diluar tata tertib. Ardin memasukkan kedua tangannya ke sela-sela saku almamater, wajahnya sedikit menengadah ke atas. “Apaan nih, kok gak ada yang cakep ya.” Batin Ardin dengan tatapan mata yang tajam melirik peserta ospek satu per satu. “Kalian yang ada di hadapan gue, segera masuk ke dalam barisan sesuai arahan pendamping. Satu, dua, tiga ... ” ucap Ardin lewat pengeras suara. Para peserta tergesa-gesa masuk menuju barisannya, sebelum hukuman sesungguhnya datang. Saking hebohnya, ada yang kepeleset, kecelobok di parit dan ada juga yang pura-pura buta tidak tau dimana barisannya. Lusi ikutan panik dan harus menemukan tulisan “Jurusan Kimia” yang tersembunyi di ribuan mahasiswa baru. Lusi mulai kebingungan dan membuka ponselnya tuk melihat pengumuman di grup whatsappnya. “Aduh.. sinyalnya hilang nih kayak doi. Carinya dimana ya, diatas langit bukan ya?” ucap Lusi menggaruk kepalanya, menepuk-nepuk ponselnya supaya sinyalnya penuh. Lusi mengeluh panjang, “duh, bisa habis riwayat gue kalau tidak menemukan barisannya,” Lusi celingak-celinguk mencari teman sejurusannya. Rupanya, salah satu panitia di pojok sana sudah memperhatikan gelagat Lusi yang heboh sendiri sama ponselnya. “Woy yang main hape, sini woi!” Lusi makin panik dong, ia berlari kesana kemari dan jurusannya belum juga nampak sama sekali. Acara belum dimulai saja, Lusi udah capek banget kayak muterin Jakarta seratus kali lewat Banyuwangi. Ditambah lagi, Lusi harus membawa beban yaitu buku-buku tebal Kimia sesuai jurusannya di dalam tas karungnya. “Gue harus kuat, gak boleh gampang capek! Masa acara receh begini doang gue nyerah sih? Gak akan!” batin Lusi yang begitu optimis. Hari sudah menunjukkan pukul delapan pagi, itu artinya pembukaan ospek Universitas Merem Melek akan segera dimulai. Seluruh peserta ospek sudah baris dengan rapi sesuai perintah panitia dan siap mengikuti kegiatan pada hari ini.  “Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, para pejuang baru!” seru Ardin membuka pidato pagi itu di atas panggung. “Salam mahasiswa!” sambung Ardin lagi dengan mengepalkan tangan kanannya. Dan, hal itu pun diikuti oleh seluruh peserta ospek yang ada. Tampak wajah kebahagiaan dari peserta ospek karena bisa masuk ke kampus ternama ini, walau beberapa mahasiswa masuk dengan “orang dalam”. Ardin pun melanjutkan pidatonya hasil dari copy paste di mbah Google tadi malam. Baru saja Ardin berpidato sekitar sepuluh menit, beberapa peserta ospek banyak yang ngantuk, goyang-goyang, bahkan kayang di tengah-tengah barisan saking ngebosenin. Kebosanan itu juga dirasakan Ribka, salah satu peserta ospek yang dari tadi mengeluh, “ih apaan sih ini orang, ngomongnya kesana-kemari dan gak berbobot deh! Mana ini matahari makin terik, jerawat gue meronta-ronta, ishh!” Ribka ngedumel sambil ngipasin wajahnya yang mulai memerah. “Eh lo yang wajahnya merah kayak kepiting rebus! Posisi berdirinya tolong tegak seperti teman-temanmu yang lain! Korsa ya korsa!” Ribka ketangkap basah oleh Ardin karena posisi berdirinya pindah ke kiri dan ke kanan terus. Spontan seluruh peserta ospek menajamkan pandangannya ke arah Ribka. Ribka berusaha menundukkan kepalanya agar jerawatnya tidak semakin menderang di mata teman-temannya. “Ih, kenapa ya itu wajahnya kok bisa merah sekali?” “Pasti dia korban krim kecantikan abal-abal tuh, coba lihat deh wajahnya putih, leher dan tangannya hitam!” “Aneh ya, perempuan kok wajahnya gak dirawat, malah jadi kotor gitu kan ya,” Beberapa perempuan lainnya yang juga peserta ospek tampak nyinyir mengomentari jerawat milik Ribka. Ribka terus menyembunyikan jerawatnya itu dengan tangannya lah, jilbabnya lah, bajunya lah, bahkan tas karung yang baunya sudah kayak kambing. “Permisi, kak, maafkan gue terlambat hari ini,” ujar seorang perempuan yang beraninya menaiki panggung untuk ngomong dengan Ardin. Ardin yang saat itu asyik berpidato, ingin sekali marah karena pidatonya terpotong. “Apa-apaan kamu kok bisa te---“ Ardin melihat perempuan yang berada di sampingnya itu tersenyum. Gadis berkepang dua, hidung mancung, putih, tinggi, dan berlesung pipi itu berhasil membuat Ardin terpesona. Ardin berhasil mengetahui nama perempuan itu dengan melihat nametag yang dipakainya, “Monalisa” “Hukum! Hukum! Hukum!” perintah seluruh peserta ospek yang melihat Ardin melongo bak orang-orangan sawah. “Woi hukum woi! Dia telat satu jam lebih loh!” Lusi ikutan berteriak. “Yang adil dong jadi panitia! Hukum! Baru lihat perempuan kayak gitu aja sudah kayak sapi bengong!” Ribka kesal. “Te ... te ... tenang ya semuanya, kita harus melanjutkan acara ini karena waktu semakin sempit. Masih banyak sesi acara lain yang menunggu,” ucap Ardin berusaha menenangkan. “Mona, tolong tinggalkan kontak whatsappmu supaya aku bisa memberimu hukuman karena telat,” bisik Ardin pada Mona. Mona yang nurut-nurut aja langsung menuliskan nomor w******p-nya dan meletakkan di meja panitia. Mencari kesempatan dalam kesempitan, beberapa panitia laki-laki ikut mencatat nomor Mona diam-diam. Mereka sikut-sikutan untuk mendapatkan kontak bidadari itu. Bluk.. bluk.. bluk.. suara benda-benda datang menghujani diri Ardin yang masih berdiri di atas panggung. Lemparan batu kerikil, sepatu, tas, semuanya menyasar wajah Ardin yang sok ganteng itu. Ardin dianggap pilih-pilih dalam memberi hukuman kepada peserta ospek. “Ih kurang ajar ya itu panitia, tadi gue disuruh jalan gaya ular buat masuk ke barisan. Lah, cewek tadi kok enak banget telat terus disuruh turun gitu aja!” seketika Lusi langsung ngomel dan merasa tidak adil. Mona menuruni panggung, tatapan sinis peserta ospek lainnya yang jealous terus mengarah ke Mona. Mona yang sudah menerapkan “bermuka tembok” sedari SD, terus mencari barisan jurusan Ekonomi dengan santuy. Hebatnya, Mona tidak masalah diperlakukan seperti itu, Mona tetap tak acuh dan malah melambungkan senyum cantiknya. Senyuman Mona membius seluruh laki-laki yang berada di barisan jurusan Ekonomi. “Eh pingsan pingsan!” “Tolong tim kesehatan mana ini, banyak yang pingsan!” “Ya Lord! Ini kenapa laki-laki pada pingsan semua yak!” “Mana badannya berat semua lagi kayak kingkong!”   Beberapa panitia gelabakan melihat barisan yang awalnya tegak, jadi menggelinding bak domino. Semua ini gara-gara senyumannya Mona, mulai dari situ Mona dijuluki “Angel” oleh para laki-laki di jurusannya. Menjadi seorang bidadari di mata laki-laki, namun tidak di mata perempuan yang menganggap Mona itu cewek penggoda.        “Semoga gue gak sekelas sama cewek gatel itu ah!” bisik teman perempuan sejurusan Mona. “Hati-hati girls! Bagi kalian yang sudah punya pacar, harap pacarnya digembok! Bisa-bisa di-sleding sama tuh cewek!” ucapan ini membuat beberapa perempuan menangis karena tak sanggup jika pacarnya nyantol ke Mona. Gledek.. Byur.. byur.. byur.. petir yang ada di atas langit pun nampak mengkilap. Kilatan itu membentuk retakan seperti hati yang terluka ditinggalkan para mantan. Bersamaan itu juga, seluruh barisan yang awalnya rapi kayak semut, kini menjadi amburadul tanpa presisi. “Semuanya tetap tenang di dalam barisan ya! Kalau tidak, kalian semua gue hukum!” Ardin gak mau acaranya kacau, berusaha merintah peserta ospek ditengah ambyarnya situasi. Alhasil, tidak ada satu pun peserta ospek yang dengarin Ardin. Nahasnya lagi, panitia lainnya juga malah pergi ninggalin Ardin, bukannya bantuin menenangkan peserta ospek. “Huhuhu, kenapa gue dianggap kayak pajangan gini ya, kenapa gak ada yang dengarin kata-kata gue?! Apa gue kurang bodygoals? Apa gue kurang berenergi? Padahal gue sudah pakai roll on demi terlihat macho di kalangan semua orang,” tutur Ardin lirih, roll on hasil endorse kemarin lusa pun gagal.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.8K
bc

DENTA

read
18.0K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
286.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
200.6K
bc

Head Over Heels

read
16.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook