Bab 7

1573 Words
Chilla terlihat tertidur pulas di atas ranjangnya dengan diapit Mamanya dan Diana yang duduk di kedua sisinya sambil menatapnya khawatir. Terlihat juga seorang wanita yang mengenakan jas dokter tengah merapikan peralatannya. “Gimana keadaan putri saya dok?” Tanya Arbara Wiguna. Dokter muda yang merupakan seorang psikiater bernama Amanda memberikan senyuman ramah pada pria paru baya yang tengah bertanya padanya saat ini. “Mba Chilla sudah baik-baik saja Pak, saya sudah menyuntikkan obat penenang untuk merilekskan tubuhnya. Sebaiknya setelah dia bangun langsung berikan obat yang biasa saya resep kan padanya,” ujar dokter tersebut. Arbara serta Suci segera memberikan anggukan paham dan serentak menghembuskan nafas lega. “Kira-kira kenapa Chilla bisa sampai kambuh separah ini lagi dok? Padahal sudah hampir dua tahun dia tidak pernah kambuh separah ini,” tanya Suci. “Sepertinya gejala yang terjadi padanya tadi karena dia menghadapi sebuah hal yang menjadi alasan traumanya muncul dan menyebabkan depresi, ditambah lagi dia melewatkan jadwal minum obatnya. Hal itu yang membuat jaringan otaknya menjadi tidak stabil dan mudah terserang Panic attack. Untuk alasan lebih spesifiknya, hanya mba Chilla yang tahu,” jelas dokter Amanda Mendengar penjelasan Amanda tentu saja membuat Arbara dan Suci langsung menatap pada Diana sahabat Chilla. “Kamu ketemu Chilla dimana Diana, dan kenapa dia bisa tiba-tiba kambuh?” Tanya Suci. Diana segera memberikan gelengan. “Aku juga nggak tahu penyebab Chilla kambuh tante. Tadi pagi dia cuma nelpon aku minta jemput di sebuah apartemen yang aku juga nggak tahu itu apartemen siapa,” jawab Diana. Suci hanya bisa menghembuskan nafas berat sambil menatap sendu pada putrinya ini. Ia mengusap lembut puncak kepala Chilla yang tengah tertidur pulas sambil berusaha menahan airmata yang memaksa untuk keluar membasahi pipinya. “Mama nggak tega Pa kalau harus ngelihat anak kita menderita terus seperti ini,” ujar Suci dengan suara bergetar. Arbara bergerak mendekati istrinya dan mengusap lembut bahu wanita itu. “Mama harus kuat, kalau Mama aja lemah, gimana bisa menguatkan Chilla dan membantunya untuk sembuh,” nasehat Arbara. “Iya tante, yang om bilang benar. Kita harus bisa menahan diri dan terlihat tegar di hadapan Chilla, supaya bisa jadi contoh bagi Chilla untuk bersikap kuat, hanya dengan cara itu dia bisa sembuh,” tambah Diana. Amanda Psikiater Chilla tentu saja ikut menatap sendu pada wanita yang tengah berbaring di ranjang tersebut. Sudah lima tahun ia menjadi psikiater anita itu dan tentu saja ia paling memahami trauma dan kesulitan yang dialami Chilla saat ini. “Masih ada beberapa pasien yang harus saya urus, sepertinya saya harus pamit dulu,” ujar dokter Amanda. Arbara dan Suci segera menatap ke arah Amanda sambil tersenyum ramah. “Terimakasih ya dok sudah datang untuk melihat kondisi putri saya,” ucap Suci. Amanda tersenyum sambil memberikan gelengan. “Tidak perlu berterimakasih Bu Suci, saya hanya melakukan tugas saya. Kalau begitu sama permisi dulu,” ujarnya kembali berpamitan. “Mari saya antar,” ujar Arbara guna mempersilahkan Amanda untuk keluar dari kamar Chilla. ***** Chila yang tengah tertidur perlahan menggerakkan kelopak matanya. Pergerakan Chilla tentu saja disadari oleh Mamanya dan Diana yang masih setia duduk di sampingnya saat ini. “Kamu udah sadar Chilla?” tanya Diana sambil mengusap puncak kepala Chilla begitu melihat pergerakan sahabatnya itu yang sepertinya sudah sadar dari tidurnya. “Sayang,” panggil Suci ikut menatap khawatir pada putrinya. Mata Chilla perlahan terbuka. Gadis itu meringis memegangi kepalanya yang terasa pusing setelah membuka matanya. “Mama, Diana,” panggil Chilla dengan suara bergetar sambil berusaha bangun dari pembaringannya. Suci dan Diana tentu saja dengan cekatan segera membantu Chilla untuk bangun dan bersandar di sandaran tempat tidurnya. “Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu sayang? Bukannya mama selalu bilang sama kamu untuk cerita semua hal yang kamu rasakan ke Mama, kalau kamu masih kaya gini, gimana Mama bisa tenang jauh dari kamu. Ini semua salah Mama, kalau Mama bisa jadi Ibu yang baik buat kamu, pasti kamu nggak akan menderita seperti sekarang” ujar Suci dengan suara bergetar menahan tangis meratapi kondisi putrinya saat ini. Chilla tentu saja hanya bisa menatap sendu pada mamanya sambil menggelengkan kepala, ia meraih tangan wanita yang melahirkannya itu dan menggenggamnya lembut. “Berapa kali aku harus bilang Ma, apa yang terjadi sama aku sekarang sama sekali bukan kesalahan Mama ataupun Papa.” “Tapi……” Chilla kembali menggeleng untuk meminta Mamanya tidak melanjutkan perkataan apapun yang akan keluar dari bibirnya. “Ma, apa yang aku alami ini hanyalah sebuah penyakit. Semua orang di dunia ini pastinya pernah sakit, walaupun sakitnya berbeda-beda. Jadi jangan pernah menyalahkan Mama untuk sakit yang aku alami sekarang,” pinta Chilla. Suci akhirnya hanya bisa mengusap airmata yang membasahi pipinya dan memberikan anggukan pada putrinya itu. Setelah itu, Chilla membalikkan wajahnya dan menatap pada Diana yang juga tengah menatapnya khawatir. “Makasih ya udah bantuin aku pulang ke rumah. Aku udah terlalu sering ngerepotin kamu tiap kali aku kambuh.” Diana menggeleng sambil menatap kesal pada Chilla. “Ngapain sih kamu ngomong kaya gini? Aku sama sekali nggak merasa repot ngurusin kamu. Kalau aku sakit, aku yakin kamu juga bakal khawatir sama aku,” jawab Diana dengan nada penuh keyakinan. Chilla tersenyum tipis sambil memberikan anggukan. Pintu kamar Chilla kembali dibuka dari luar, saat itu muncul Arbara Wiguna yang baru saja selesai mengantar dokter Amanda ke depan rumah mereka serta menelpon sekretarisnya untuk mengabarkan bahwa ia sedikit terlambat pergi ke kantornya hari ini. Pria paru baya itu langsung berjalan cepat menuju ke arah ranjang Chilla begitu melihat putrinya sudah sadar. Diana tentu saja langsung bangun dari duduknya untuk menyediakan tempat bagi Papa Chilla yang ingin melihat kondisi putrinya. Arbara Wiguna langsung duduk di pinggir ranjang tempat yang dia duduki tadi. Ia memegang kedua bahu Chilla dan menelusuri pandangannya ke seluruh bagian tubuh Chilla dengan tatapan khawatir. “Kamu baik-baik aja sayang, ada rasa nggak enak di badan kamu?” Tanya Arbara dengan nada panik. Chilla tersenyum tipis sambil memberikan gelengan pada Papanya. “Aku baik-baik aja kok Pa,” jawab Chilla berusaha menenangkan Papanya. Arbara tentu saja menatap ragu mendengar jawaban dari Putrinya itu. “Kamu nggak mungkin tiba-tiba kambuh kalau tanpa pemicu sayang,” ujar Arbara. Chilla terdiam, merasa bingung harus mengatakan apa. Ia akhirnya hanya bisa menundukkan kepala karena tidak bisa menjawab perkataan Papanya. “Kenapa kamu diam saja Chilla. Setahu Papa semalam Bagas telepon dan bilang kamu bersama dengan Antoni. Kalau kamu nggak mau cerita ke Papa apa yang terjadi sama kamu, biar Papa tanyakan langsung ke dia,” ucap Arbara dengan nada tegas sambil merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel miliknya berniat menelpon tunangan putrinya itu. Chilla tentu saja bergerak cepat menahan tangan Papanya yang hendak menelpon Toni. Ia menatap Papanya dnegan tatapan memohon sambil memberikan gelengan. “Pliss jangan telpon Toni Pa,” pinta Chilla. Tatapan khawatir Arbara Wiguna langsung berubah tajam menatap putrinya. “Melihat cara kamu mencegah Papa menelpon dia, apa jangan-jangan dia yang jadi penyebab kamu kambuh?” tanya Arbara mengungkapkan dugaannya. Chilla tentu saja langsung menggeleng panik. “Ini bukan salah dia Pa, bukannya Papa sendiri tahu kalau dia nggak tahu soal kondisi aku yang sebenarnya.” Raut wajah Arbara akhirnya melembut, ia menghembuskan nafas pelan menatap Chilla. “Lalu apa yang memicu kamu kambuh kaya tadi sayang?” Tanya Arbara. “Pagi tadi Toni bermaksud baik nyiapin aku sarapan Pa, tapi dia nggak tahu kalau aku nggak bisa makan nasi. Aku nggak bisa nolak perintah dia yang nyuruh aku buat sarapan,” jelas Chilla. Penjelasan Chilla tentu saja mengejutkan ketiga manusia yang berada bersamanya saat ini. Mereka tentu saja tahu, nasi adalah salah satu hal yang akan memicu depresi Chilla kambuh. Karena tubuhnya yang dulu gemuk membuat Chilla perlahan mulai merasakan ketakutan yang hebat tiap kali harus mengonsumsi nasi. Itulah kenapa semenjak sakit, Chilla hanya makan roti, umbi-umbian dan kacang, sayur serta buah. Segala makanan yang manis dan berminyak sangat dihindari oleh Chilla. “Kenapa kamu maksain buat makan Chila, padahal kamu tahu proses terapi kamu belum selesai dan nasi masih jadi salah satu makanan yang nggak bisa kamu konsumsi,” sahut Diana merasa kesal mendengar penjelasan Chilla. “Karena aku nggak mau sampai Toni curiga sama kondisi aku. Dia pasti akan penasaran kalau aku bilang nggak bisa makan nasi,” jawab Chilla dengan nada pelan. Arbara berdiri dan menatap tajam pada putrinya. “Cukup Chilla, papa rasa sudah saatnya kamu harus memberitahu Toni tentang kondisi kamu. Sebentar lagi kalian akan menikah, bagaimana mungkin kamu mau terus menyembunyikan kondisi kamu padanya.” Chilla menggeleng sambil menatap panik pada Papanya. Ia langsung mengatupkan kedua tangannya ke depan dadanya dan menatap Papanya dengan tatapan memohon. “Pliss Pa, Toni atau siapapun nggak boleh tahu tentang kondisi aku. Apa papa tega ngelihat anak Papa terlihat lemah di hadapan orang lain dan malah mendapatkan tatapan kasihan dari orang lain?” “Sayang, masalahnya saat kalian menikah nantinya, kalian akan tinggal serumah. Toni pasti akan tahu kondisi kamu cepat atau lambat,” jelas Suci dengan nada lembut, berusaha memberikan pengertian pada Chilla. “Nggak Ma. Aku bisa pastiin kalau Toni nggak akan pernah tahu kondisi aku sampai kapanpun. Aku nggak mau terlihat lemah di hadapan dia,” jawab Chilla. Melihat Chilla yang tetap bersikeras dengan keputusannya membuat ketiga orang yang bersamanya saat ini hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Di tengah pembicaraan mereka, seorang pelayan terlihat berjalan masuk dengan sopan sambil menundukkan kepala ke dalam kamar Chilla. “Maaf menganggu Nyonya, Tuan. Di bawah ada Tuan Muda Antoni, katanya dia datang buat nyariin Non Chilla,” ujar pelayan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD