Bab 8

1361 Words
Toni terlihat berdiri di ruang tengah rumah Chilla, menunggu pelayan yang ia mintai tolong untuk memanggil wanita itu. Setelah menunggu beberapa menit terlihat pelayan yang dimintai tolong oleh Toni berjalan menuruni tangga rumah tersebut. “Sudah saya sampaikan pesannya Tuan,” ujar pelayan tersebut begitu berdiri di hadapan Toni. “Makasih ya mba.” Pelayan wanita tersebut tersenyum formal lalu berjalan pergi untuk melanjutkan tugasnya. Tidak lama setelah kepergian pelayan tersebut, terlihat Kedua orangtua Chilla yang saat ini berjalan bersama menuruni tangga rumah mereka sambil menatap ke arah Toni yang tentu saja tengah memperhatikan mereka. “Pagi Om, Tante,” sapa Toni ketika pasangan suami istri tersebut sudah berdiri di hadapannya. Toni tentu saja menyadari ada tatapan kesal yang diberikan oleh Papa Chilla padanya saat ini. Namun ia tidak berani menanyakan apa yang menyebabkan calon ayah mertuanya itu tampak marah padanya. “Kamu dateng nyari Chilla kan?” tanya Suci yang menatap ramah pada calon anak mantunya itu. “Iya tante, kebetulan tadi pagi dia ada di tempat saya dan nggak tahu kenapa saat sarapan dia malah pergi secara tiba-tiba setelah hampir memuntahkan makanan yang dia makan,” jelas Toni menceritakan kejadian di apartemennya tadi. “Dan kamu ngebiarin dia pulang sendiri, harusnya…” “Papa,” potong Suci sambil menatap suaminya penuh peringatan. Mereka sudah berjanji pada Chilla untuk tidak akan membiarkan Toni mengetahui kondisi sebenarnya dari Chilla, maka dari itu Suci takut suaminya ini malah keceplosan nantinya. “Ini udah jam berapa, mending Papa berangkat ke kantor sekarang,” lanjut Suci sambil mendorong suaminya untuk berjalan keluar dari rumah mereka. “Tapi Ma, Papa belum selesai….” “Udah-udah nanti aja ngobrol sama Antoninya, kata Papa tadi harus buru-buru ke kantor karena ada meeting penting,” ujar Suci sambil terus mendorong suaminya untuk berjalan menjauh dari Toni. Sambil mendorong suaminya itu, Suci berbalik menatap Toni. “Kamu ke atas aja, Chilla lagi di kamarnya sekarang.” Setelah kepergian orangtua Chilla, akhirnya Toni berjalan menaiki tangga rumah Chilla menuju kamar wanita itu. Dua tahun menjadi tunangan Chilla membuat Toni sudah mengenal baik kediaman milik Arbara Wiguna ini. Maka dari itu ia tidak kesulitan untuk mencari letak kamar Chilla. Begitu sampai di lantai dua, Toni segera berjalan mendekati pintu kamar Chilla yang tertutup rapat. Ketika ia baru saja akan meraih gagang pintu tersebut, tiba-tiba pintu tersebut terbuka dan muncul Diana yang keluar dari kamar Chilla. Diana sama sekali tidak terlihat terkejut melihat Toni, namun seperti biasa setiap kali mereka bertemu Diana selalu memasang raut tidak senang ketika melihat dirinya. “Chilla baru aja istirahat, jadi aku harap kamu jangan mencoba mancing keributan sama dia, ujar Diana memperingatkan Toni. Sejujurnya Toni tidak terima mendengar perkataan Diana yang seakan menuduhnya suka mencari keributan dengan Chilla, namun saat ini dirinya tidak punya tenaga untuk berdebat dengan sahabat dari tunangannya ini, akhirnya ia hanya bisa memberikan anggukan tanpa berkomentar sama sekali. Diana kemudian segera berjalan meninggalkan Toni yang masih berdiri di depan pintu kamar Chilla. Ia kemudian kembali meraih gagang pintu di hadapannya itu dan segera membukanya perlahan. Begitu pintu sudah terbuka sempurna, Toni kebingungan saat mendapati Chilla yang tengah berdiri di depan meja riasnya sambil membuka laci meja tersebut hendak meletakkan sebuah tas kresek berwarna putih. “Kamu ngapain?” Tanya Toni. Melihat Toni yang saat ini berdiri di depan pintu kamarnya membuat Chilla panik. Ia segera menutup laci meja nya setelah meletakkan tas kresek yang berisi obat-obatan miliknya itu, berharap Toni tidak menanyakan itu apa. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat panik di hadapan Toni yang menatap curiga padanya saat ini. Toni berjalan masuk ke dalam kamar Chilla tanpa menutup pintu kamar wanita itu. “Kamu ngapain ke rumah aku?” Tanya Chilla sambil kembali berjalan menuju ranjangnya dan duduk di sana. Toni segera berjalan mendekati Chilla dan berdiri di hadapan wanita itu, ia menatap lekat pada Chilla seakan ingin memastikan kondisinya saat ini. “Kenapa sih ngelihatin aku kaya gitu banget? Atau jangan-jangan kamu udah mulai jatuh cinta ya sama aku?” Tanya Chilla dengan nada menggoda sambil menatap jahil pada Toni. Perkataan Chilla tentu saja membuat Toni mendengus kesal. “Apa di saat kaya gini kamu masih bisa bercanda?” Tanya Toni dengan nada datar. Chilla mengangkat kedua bahunya dengan santai, seakan sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan tajam dan nada datar dari Toni. “Serius nggak boleh, marah-marah nggak boleh, bercanda juga nggak boleh. Terus apa yang boleh aku lakuin sma kamu?” Toni menghembuskan nafas kasar melihat tingkah Chilla yang menurutnya sangat kekanakan saat ini. “Cukup Chilla, bukan itu yang mau aku bahas sama kamu sekarang. Harusnya kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi tadi, dan kenapa kamu pergi gitu aja?” Tanya Toni menatap serius pada Chilla, menuntut jawaban jujur dari wanita di hadapannya itu. Walau wajahnya berusaha menampilkan ekspresi santai, namun otak Chilla saat ini berjuang sekuat tenaga untuk memikirkan alasan apa yang bisa ia katakan pada Toni saat ini. “Perut aku lagi nggak enak aja tadi, aku milih pergi karena nggak mau ngerepotin kamu,” jelas Chilla yang tentu saja berbohong, itulah kenapa ia menjawab tanpa mau menatap wajah Toni. Toni meraih dagu Chilla dan mengarahkan wajah wanita itu menghadap padanya. “Katakan ulang sambil ngelihat ke arah aku.” Chilla langsung menepis tangan Toni. “Apaan sih? Mau aku jawabnya sambil ngelihat kamu atau nggak juga sama aja kok. Kamu kan emang nggak pernah percaya sama omongan aku,” gerutu Chilla. Toni menghembuskan nafasnya perlahan berusaha mengontrol emosinya saat ini. Mengingat kembali peringatan yang diberikan Diana membuatnya sadar bahwa saat ini dirinya tidak boleh terpancing perdebatan dengan wanita di hadapannya ini. “Alu sempat dengar kamu kondisinya nggak terlalu baik saat pulang tadi. Gimana kondisi kamu sekarang?” tanya Toni berusaha berbicara lebih lembut dengan Chilla. Pertanyaan yang diajukan Toni membuat Chilla langsung tersenyum senang. Ia segera berdiri dan memeluk leher Toni, tentu saja Toni terkejut dengan pergerakan tiba-tiba darinya. “Chilla, pintu kamar kamu nggak aku tutup jadi jangan macam-macam,” ujar Toni menatapnya penuh peringatan sambil berusaha melepaskan pelukan Chilla di lehernya. “Terus kenapa kalau pintu kamar aku nggak ditutup. Toh nggak ada salahnya kan kalau kita mesra kaya gini, kan kita udah tunangan dan bentar lagi mau nikah,” jawab Chilla dengan nada santai sambil tersenyum manis. “Ternyata kamu dateng ke sini karena khawatir sama kondisi aku ya,” lanjut Chilla . “Nggak usah berpikir berlebihan Chilla, aku dateng ke sini buat mastiin kondisi kamu karena orang terakhir yang bersama kamu itu aku,” jelas Toni agar Chilla tidak berharap lebih padanya. Chilla sama sekali tidak merasa kecewa mendengar jawaban Toni tersebut. Ia malah tersenyum bahagia dan mengeratkan pelukannya di leher Toni hingga wajah mereka jaraknya semakin dekat. “Nggak masalah apapun alasannya, yang penting kamu khawatir sama kondisi aku. Pelan-pelan aja, aku yakin kamu bakal jatuh cinta sama aku.” Toni mendengus sambil tersenyum sinis mendengar perkataan Chilla yang begitu yakin. “Jangan terlalu berharap, aku takutnya kamu kecewa nantinya.” Setelah mengatakan hal itu, Toni terkejut karena tiba-tiba wanita yang tengah memeluk lehernya ini mengecup singkat bibirnya. “Kamu…” ujar Toni yang suaranya tercekat dan tidak mampu meneruskan perkataannya. Ia hanya bisa menatap tajam pada Chilla. Wanita yang ditatap tajam oleh Toni tentu saja sama sekali tidak merasa takut, ia malah tersenyum semakin lebar. “jangan suka keseringan melotot kaya gitu deh, aku takutnya lama-lama bola mata kamu bisa copot entar,” ujar Chilla dengan nada bercanda sambil tangannya mengusap lembut kelopak mata Toni. Ia menikmati sorot mata tajam pria itu yang dihiasi dengan bulu mata yang lentik dan alis yang tebal dan menambah kesan jantan di wajahnya. Suara dering ponsel yang cukup keras tiba-tiba terdengar dan menginterupsi kedua anak muda itu. Menyadari bahwa asal dering ponsel itu dari saku celananya, Toni segera meraih ponselnya itu untuk melihat siapa yang menelponnya saat ini. Begitu tahu siapa orang yang menelponnya, ia segera melepaskan pelukan Chilla dan berjalan sedikit jauh dari wanita itu untuk menerima panggilan telepon tersebut Walau Toni berjalan menjauh darinya, Chilla tetap saja bisa mendengar sekilas pria itu mengatakan nama Raras begitu menempelkan ponselnya ke telinga. Moodnya yang tadi sudah bagus langsung kembali buruk karena rasa cemburu yang tengah membakar hatinya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD