Bab 6

1079 Words
“Diana, plis jemput aku sekarang, aku beneran udah nggak kuat,” pinta Chilla begitu teleponnya tersambung dengan Diana sahabatnya. Diana yang berada di seberang telepon tentu saja panik mendengar suara Chilla yang terdengar bergetar dan terasa begitu sesak saat bicara. “Kamu dimana, kirim alamatnya biar aku jemput sekarang.” Chilla mengangguk dan segera memutuskan sambungan telepon mereka walau sebenarnya Diana tidak bisa melihat anggukannya. Ia segera mengirim share location pada Diana agar sahabatnya itu tahu lokasinya saat ini dan tidak lupa mengatakan bahwa ia berada di are basement. Setelah selesai mengirim pesan pada Diana, pintu lift di hadapan Chilla akhirnya terbuka. Dengan kakinya yang sebenarnya sudah sangat lemah, ia berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari lift sambil menopang tubuhnya dengan memegang tembok-tembok yang bisa ia raih. Rasa sesak di dadanya semakin terasa begitu menyiksa dan membuat tubuhnya begitu lemah. Chilla melihat sekitar untuk mencari tempat yang bisa ia duduki, bersyukurnya ternyata di sudut tembok dekat lift terdapat sebuah bangku kosong yang bisa ia duduk saat ini. Chilla segera berjalan menuju bangku tersebut dan duduk di sana sambil terus berusaha mengontrol dirinya saat ini. Begitu dirinya sudah duduk, bayangan saat ia memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya kembali terlintas di benaknya. Kepalanya langsung terasa begitu sakit saat memikirkan kembali kejadian yang baru terjadi beberapa menit lalu. Ia mengangkat tangannya berusaha memukul kepalanya untuk menghilangkan bayangan tersebut yang kembali menyiksa dirinya seperti saat ini. Chilla merasa tidak kuat, ia seakan membutuhkan pelampiasan untuk menghilangkan kekacauan dalam dirinya saat ini. Ia segera membongkar tasnya untuk mencari benda apa yang bisa ia gunakan untuk mengurangi rasa sesak di dadanya dan kepalanya yang terasa sakit karena pikiran yang kacau. Saat itu ia menemukan sebuah jepitan rambut yang terbuat dari besi. Awalnya ia berniat menggores jepitan besi itu di pergelangan tangannya, namun Chilla menghentikan niatnya itu saat mengingat bahwa sekarang Toni sudah sepenuhnya kembali ke Indonesia dan pria itu tidak boleh menyadari ada yang salah dengan dirinya. Chilla segera mengubah tujuannya dan melihat ke arah pahanya yang tertutupi oleh celana kulot yang ia kenakan saat ini. Merasa sudah tidak tahan lagi, Chilla akhirnya segera mengarahkan ujung jepitan rambut tersebut ke arah pahanya. Ia mengangkat tangannya cukup tinggi dan kemudian dnegan cepat mengarahkan jepitan itu untuk menusuk pahanya. Sebelum jepitan di tangan Chilla benar-benar sampai di pahanya, sebuah tangan terlihat menahan tangan Chilla dan menarik jepitan di tangannya tersebut dan membuangnya sejauh mungkin. “Chilla, kamu udah janji bakal berusaha sekuat tenaga untuk nggak nyakitin diri kamu lagi loh,” ujar orang yang mencegah Chilla melukai pahanya itu. Saat ini orang tersebut berjongkok di hadapan Chilla dan menatap khawatir pada wanita itu. Ia melihat tubuh Chilla yang bergetar hebat dengan wajah yang pucat pasi dan keringat dingin bercucuran membasahi dahi dan telapak tangannya. “Aku nggak kuat Diana,” ujar Chilla dengan suara serak ditengah usahanya mengontrol nafasnya yang masih terasa begitu sesak. Diana tentu saja tidak bisa menahan air mata melihat Chilla yang kembali drop seperti ini. “Mending kamu minum obat dulu ya, dimana obat kamu?” Tanya Diana sambil membongkar tas milik Chilla yang ia letakkan di sampingnya. Chilla memberikan gelengan pada Diana yang tengah panik saat ini. “Aku nggak pernah keluar sambil bawa obatku,” jawab Chilla. Diana tentu saja menatap kesal mendengar jawaban Chilla. “Gimana bisa kamu nggak bawah obat kamu Chilla, jelas-jelas dokter udah bilang kalau kamu nggak boleh sama sekali ngelewatin waktu buat minum obat kamu.” Diana merasa semakin panik dan frustasi melihat kondisi Chilla saat ini. Ia sudah sering melihat penyakit Chilla kambuh, namun dirinya tetap saja belum terbiasa dan selalu merasa sakit di hatinya melihat penderitaan dari sahabatnya ini. “Kita pulang sekarang ya, kamu harus segera minum obat,” bisik Diana berusaha berbicara lebih lembut pada Chilla untuk menenangkan sahabatnya itu. Diana segera merangkul bahu Chilla dan membantu sahabatnya itu untuk berdiri. Dengan sekuat tenaga Diana menahan tubuh Chilla yang begitu lemah agar bisa berjalan perlahan menuju tempat ia memarkirkan mobil miliknya. ***** Arbara Wiguna dan istrinya Suci terlihat begitu tenang menikmati sarapan di meja makan sebelum memulai aktivitas mereka masing-masing hari ini. “Udah jam segini kenapa Chilla belum pulang juga sih Ma?’ Tanya Arbara dengan nada khawatir di tengah kegiatan makannya saat ini. Suci menghembuskan nafas kasar mendengar pertanyaan yang diajukan oleh suaminya itu. “Udah dari semalam loh papa nanyain hal yang sama terus. Kan udah dibilangin si Chilla lagi sama Toni tunangannya, Dia pasti baik-baik aja Pa,” jawab Suci berusaha menenangkan suaminya itu. Arbara tetap saja tidak bisa menghilangkan raut khawatir di wajahnya walau sudah mendengar jawaban dari istrinya itu. “Masalahnya Papa masih agak takut Ma. Gimana kalau penyakit Chilla kambuh saat lagi bersama Toni? Toni sama sekali nggak tahu tentang penyakit putri kita dan dia juga nggak mau Toni tahu. Terus nanti apa Toni bisa nanganin kalau Chilla kambuh.” Suci menatap kesal pada suaminya itu. “Chilla udah stabil Pa, jadi nggak perlu Papa khawatir kaya gitu. Mama yakin dia udah baik-baik aja dan nggak akan kambuh lagi,” ujar Suci penuh keyakinan. “Iya Ma, ta…” “Nggak ada tapi-tapian Pa. Harusnya Papa itu percaya sama anak kita, dia pasti udah bisa mengendalikan dirinya sendiri.” Arbara akhirnya memilih mengangguk pasrah dan tidak melanjutkan perdebatan dnegan istrinya itu. Keduanya kembali berkonsentrasi dengan makanan di hadapan mereka masing-masing. “Om, Tante,” Suara teriakan seseorang dari ruang tamu tentu saja membuat Arbara dan Suci terkejut mendengarnya. Untuk menjawab rasa penasaran, pasangan suami istri itu segera bangun dari duduknya dan berjalan menuju asal suara yang sepertinya memanggil mereka berdua. Sampai di ruang tamu, keduanya tentu terkejut dan panik melihat kondisi Chilla yang tengah dipapah oleh Diana masuk ke dalam rumah. “Ya ampun Diana, Chilla kenapa?” Tanya Suci menatap khawatir pada putrinya yang terlihat pucat dan tubuhnya yang bergetar hebat saat ini. Suci segera mendekati Chilla dan ikut memegangi putrinya itu. Ia juga menjauhkan tangan Chilla yang beberapa kali berusaha menjambak rambutnya dan memukuli kepalanya. “Chilla kambuh tante, kayanya semalam dia ngelewatin jadwal minum obatnya,” jelas Diana. Arbara segera berjalan mendekati Chilla dan langsung meraih tubuh putrinya itu ke dalam gendongannya. Walau ia sudah tidak muda lagi, namun pola hidup sehat tentu saja membuatnya masih begitu kuat di usia senjanya ini. “Segera telepon Psikiater pribadinya untuk datang ke rumah Ma,” perintah Arbara pada istrinya sebelum berjalan cepat membawa tubuh Chilla menuju kamar wanita itu. Suci mengangguk dan segera melaksanakan perintah suaminya untuk menelpon Psikiater yang biasa menangani Chilla.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD