Bab 5

1356 Words
Pagi akhirnya kembali menyapa bumi ini. Cahaya matahari yang tengah bergerak perlahan untuk terbit di langit pun tengah bergerak masuk di sela-sela kain jendela sebuah kamar bernuansa putih dan abu-abu. Di dalam kamar tersebut, terlihat seorang wanita cantik yang tengah berbaring nyaman di atas kasur berukuran queen size dan wanita cantik itu adalah Chilla Maharani. Merasa terganggu dengan silau matahari yang perlahan mulai mengenai wajahnya membuat Chilla akhirnya terbangun dari tidurnya. Dengan perlahan wanita itu membuka kelopak matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk, barulah kemudian setelah beberapa detik ia akhirnya bisa melihat dengan jelas. Pandangan Chilla berusaha menelusuri seluruh area di tempatnya berada saat ini. “ini kamar siapa?” gumam Chilla bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Terakhir yang ia ingat adalah dirinya tertidur di dalam mobil Toni dan ia tidak tahu pria itu membawanya ke mana tadi malam. Saat ini Chilla melihat dirinya tengah berada di sebuah ranjang dengan sprei berwarna abu-abu. Tembok kamar tempat Chilla berada saat ini berwarna putih dengan beberapa bagian berwarna hitam, serta beberapa perabotan seperti lemari serta sebuah meja kecil dengan laptop di atasnya. Dari bentuk kamar tersebut, tentu saja sangat mudah baginya untuk menebak bahwa ini adalah kamar seorang pria. Untuk menjawab rasa penasarannya tentang dimana ia berada saat ini, Chilla memilih segera turun dari ranjang. Sebelum berjalan keluar dari kamar tersebut, tidak lupa Chilla mengambil tas miliknya yang berada di meja kecil samping ranjang tempatnya berbaring tadi. Begitu keluar dari kamar tersebut, Chilla menemukan bahwa ia sekarang berada di sebuah apartemen yang cukup minimalis namun tidak menghilangkan kesan mewahnya. Ia kemudian menelusuri pandangannya dan berhenti di area meja makan dimana ada Toni yang tengah duduk sambil menyesap secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul serta matanya terlihat fokus menatap layar ipad yang ada di tangannya saat ini. Chilla tersenyum senang menyadari bahwa saat ini ia sepertinya berada di tempat Toni, ia baru ingat bahwa semalam dirinya dijemput oleh Toni dari Bar. Chilla tentu saja merasa begitu senang karena berpikir bahwa mulai ada sedikit perkembangan dalam hubungan mereka, karena untuk pertama kalinya Toni mau membiarkannya datang ke tempat pria itu. Tanpa menunggu lama Chilla langsung berjalan menghampiri Toni. “Ini apartemen kamu?” tanya Chilla bersemangat setelah sudah berdiri di samping Toni yang masih sibuk dengan ipadnya. “Kamu udah bangun?" Tanya Toni dengan nada datar. Ia meletakkan ipad yang ada di tangannya dan menatap Chilla dengan tatapan tajam tanpa senyuman sama sekali. "Masih pagi udah ngasih tatapan setajam itu. Apa salahnya sih sekali-kali kamu ngasih senyuman ke tunangan kamu yang cantik ini," gerutu Chilla. "Atau mau aku contohin caranya senyum itu kaya gimana? Kaya gini loh," lanjut Chilla sambil menunjukkan senyum sumringah pada Toni, ia kemudian sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada pria itu. Toni segera menyentuh dahi Chilla dan mendorong wajah wanita itu agar menjauh darinya. "Ini bukan saatnya untuk bercanda Chilla." Chilla menegakkan kembali tubuhnya sambil menatap sebal pada Toni. "Kaku banget sih kamu, kaya kanebo kering tahu nggak," ejek Chilla. "Sama Raras aja bisa senyum dnegan gampang, giliran sama aku mukanya kaya nemu musuh bebuyutan aja. Kalau orang nggak tahu hubungan kita, orang pasti mikirnya aku yang jadi orang ketiga antara kamu sama Raras," gerutu Toni. Toni menghembuskan nafas kasar sambil memijat pelipisnya karena rasa pusing setelah mendengar gerutuan Chilla untuk hal yang sama semenjak mereka bertunangan. "Mau sampai kapan kamu bakal jadiin Raras bahan kebencian kamu Chilla. Bukannya aku udah sering menegaskan sama kamu kalau dia hanya sahabat aku, nggak lebih," ujar Toni berusaha memberikan penjelasan pada wanita yang tengah berdiri di hadapannya ini. "Terus, kalau dia cuma sahabat kenapa kamu lebih mengistimewakan dia daripada aku?" Tanya Chilla dnegan nada kesal. "Karena aku bersahabat dengan dia secara sukarela dan keinginanku sendiri Chilla, sedangkan bertunangan sama kamu hanyalah sebuah keterpaksaan. Kamu sendiri tahu kan kalau aku nggak punya perasaan apapun sama kamu, jadi kenapa kamu masih mengharapkan aku memperlakukan kamu lebih baik dari sahabatku?" Tanpa sadar Chilla mengepalkan telapak tangannya kuat hingga kukunya tertancap kuat di telapak tangannya, namun rasa perih yang ia rasakan tidak sebanding dnegan rasa sakit di hatinya mendengar jawaban Toni. "Kalau kamu udah jatuh cinta sama aku, kamu pasti bakal nyesel pernah bilang kaya gini." Toni menghembuskan nafas pelan dan memilih mengalihkan pandangannya dari Chilla menuju cangkir kopi di hadapannya. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya jika terus berdebat dengan Chilla tentang hubungan mereka. "Lebih baik sarapan dulu,” ujar Toni dengan nada datar tanpa menatap Chilla. Chilla menghembuskan nafas pasrah, mengerti bahwa Toni tidak ingin melanjutkan perdebatan mereka. Ia akhirnya memilih untuk mengangguk menyetujui perkataan Toni. setelah itu Pandangan Chilla kemudian beralih ke meja makan untuk melihat sarapan apa yang disiapkan Toni baginya. “A..a..aku kayanya nggak perlu sarapan deh,” ujar Chilla dengan nada bergetar. Perkataan Chilla membuat Toni akhirnya menatap wanita itu walau dengan tatapan bingung dan kesal. “Setelah mabuk semalaman dan melewatkan makan malam, sekarang kamu nggak mau sarapan?” tanya Toni dengan nada kesal dan menatap tajam pada Chilla. Chilla segera menyembunyikan kedua tangan yang saat ini bergetar hebat di belakang tubuhnya. “Aku masih nggak lapar,” jawab Chilla dengan nada pelan. Toni segera meletakkan ipad di tangannya ke atas meja dan langsung berdiri di hadapan Chilla. Ia kemudian menarik pergelangan tangan Chilla dan memaksa wanita itu untuk duduk di kursi. “Ini masih pagi Chilla, kalau kamu sakit aku juga yang akan disalahkan oleh orangtua kamu nantinya. Makan makanan kamu sekarang,” perintah Toni dengan nada tegas tidak ingin dibantah oleh wanita di hadapannya ini. Chilla menarik nafas panjang, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja. Tenang Chilla, kamu udah minum obat selama ini jadi kamu pasti bisa ngatasin hal ini,” batin Chilla berusaha meyakinkan dirinya. Chilla perlahan mulai mengambil sesenduk nasi goreng di hadapannya itu. Ia kembali menarik nafas panjang sebelum kemudian memasukkan sesuap nasi goreng itu ke dalam mulutnya. Dengan perlahan Chilla bergerak mengunyah nasi tersebut, mencoba mendoktrin dirinya bahwa itu hanyalah sebuah nasi dan tidak perlu membuatnya ketakutan setengah mati. Ia mulai mencoba menelan pelan nasi di dalam mulutnya itu dan berharap tidak akan terjadi apa-apa dengan dirinya. Sekuat tenaga ia mencoba bertahan, akhirnya pertahanan Chila runtuh juga. Ia tidak bisa menahan mual dan rasa sakit serta sesak di dadanya saat ini karena memaksakan diri memakan nasi goreng di hadapannya. Toni tentu saja terkejut saat Chilla tiba-tiba mual dan batuk-batuk setelah menelan sesuap nasi goreng yang sudah ia siapkan. Wanita itu bahkan memukul dadanya beberapa kali saat ini. “Kamu kenapa Chilla?” Tanya Toni panik menatap panik padanya. Chilla memberikan gelengan keras pada Toni agar pria itu tidak panik. “Aku nggak pa pa, Cuma mual aja,” jawab Chilla sambil berusaha berdiri. “Aku kayanya harus pergi sekarang,” lanjut Chilla. “Chilla tunggu,” teriak Toni mencegah Chilla untuk pergi. Namun, wanita itu tidak menggubris panggilan darinya. Chilla berlari cepat keluar dari apartemen Toni sambil memegang menutup mulutnya dan memegang dadanya yang terasa begitu sakit dan sesak saat ini. Toni hanya bisa terdiam menatap kepergian Chilla dengan rasa bingung dan bertanya-tanya. Begitu Chilla sudah keluar dari apartemennya Toni kembali menatap nasi goreng yang ia siapkan untuk Chilla. “Kenapa dia bisa mual kaya tadi? Perasaan nasi goreng yang aku masak baik-baik aja,” gumam Toni kebingungan. Pasalnya ia tadi juga memakan nasi goreng yang sama dengan yang ia berikan pada Chilla dan dirinya masih baik-baik saja saat ini. Sampai di luar apartemen Toni, Chilla berjalan susah payah masuk ke dalam lift sambil memegang tembok untuk menopang dirinya yang terasa lemah saat ini. Bersyukur saat sampai di depan lift dan ia menekan tombol, pintu lift langsung terbuka dan tidak ada orang di dalamnya. Chilla segera masuk ke dalam lift tersebut dan begitu pintu lift tertutup ia langsung menekan tombol lantai basement. Dirinya bersandar di sudut tembok lift sambil berusaha menarik nafas untuk menghirup udara sebanyak mungkin, berharap dengan cara itu rasa sesak di dadanya sedikit berkurang. Namun, usaha Chilla terasa sia-sia karena ia tetap saja merasakan sesak dan sakit di dadanya saat ini. Merasa dirinya butuh bantuan, Chilla segera merogoh tas miliknya untuk mengambil ponselnya untuk menelpon seseorang. “Diana, plis jemput aku sekarang, aku beneran udah nggak kuat,” pinta Chilla begitu teleponnya tersambung dengan Diana sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD