Nostalgia

1967 Words
“Aku lalu kembali ke ruang redaksi satu jam kemudian,” kata Putri, “ada Mona dan Andini di sana, aku memberikan flashdisk itu pada Andini untuk diserahkan pada penerbit tapi ternyata flashdisk-nya kosong.” Ketiga cowok itu diam dan mencermati setiap detail cerita yang dikatakan oleh Putri. “Kok bisa?” tanya Viar bingung. Putri menggeleng perlahan. “Mungkin tidak sengaja terformat, aku lantas bertanya pada Mona. Dia terus berada di ruang redaksi.  Mungkin saja dia tahu sesuatu, tapi Mona tersinggung. Dia mengira aku menuduhnya memformat flashdisk itu,” desah Putri frustrasi. “Kami kebingungan karena sebagian besar data yang berisi naskah penting hilang dan deadline sudah mepet. Akhirnya kami menerbitkan majalah dengan naskah seadanya. Pak Ilham kecewa dan memberi kami nilai C.” Yoga melotot. “C! Gila si o***g! Bisa-bisanya dia sekejam itu!” kata Yoga sambil geleng-geleng kepala. “Kami memprotes dan menjelaskan bahwa kami sebenarnya sudah menyusun naskah yang bagus tapi naskah itu hilang. Pak Ilham memberikan kesempatan untuk memperbaiki nilai dengan membuat naskah baru yang harus dikumpulkan seminggu setelah masuk.” Putri berhenti sejenak. Dia mengusap air matanya yang membuatnya tak dapat melihat jelas. “Lalu?” tanya Satya penasaran. “Ternyata seluruh tim menolak mengerjakan naskah kedua karena mereka menganggap hilangnya naskah adalah tanggung jawabku.” Yoga, Viar dan Satya saling berpandangan. Viar bersedekap, Yoga geleng-geleng sembari berdecak sementara Satya hanya menghela napas. “Aku sudah menjelaskan tapi mereka tidak mau mengerti, akhirnya ... akhirnya mereka malah menulis surat ini.” Putri mulai senggukan lagi. Tiga cowok di depannya memandanginya dengan prihatin. “Sadis sekali mereka!” komentar Sarya sakartis. “Tidak setia kawan!” Yoga menambahkan. “Sudah sampai mana naskahnya yang baru?” tanya Viar. “Belum ada 10%, aku sudah mengerjakannya selama liburan, tapi tetap saja tidak bisa cepat kalau sendirian,” keluh Putri, air matanya mulai menggenang lagi. “Kalau begitu nanti pulang sekolah kami bantu,” kata Viar. Putri memandang Viar dengan tertegun. “Benarkah? Apa kamu tidak sibuk latihan basket? Katanya sebentar lagi turnamen?” tanya Putri. “Tenang saja hari ini tidak ada latihan kok, nanti kita kumpul di rumahku saja pulang sekolah,” kata Viar sambil tersenyum. Senyuman itu berhasil membuang semua kegalauan di hati Putri. Satya menautkan alisnya dengan bingung. “Kami?” tanyanya. “Aku kali maksudnya,” jelas Yoga. Viar memicingkan mata. “Kalian juga ikut bantu, kan?” Viar bertanya dengan kalimat yang lebih mirip pernyataan. “He? Kita juga?” protes Satya dan Yoga kompak. “Tidak ada salahnya, kan, bantu teman yang kesusahan? Lagi pula kalian juga tidak sibuk,” tuduh Viar. “Enak saja, aku ini sibuk, aku kan harus membaca ulang semua novel Sherlock Holmes,” kata Satya. “Aku juga mau menonton anime,” kata Yoga. “Itu bisa kapan-kapan!” kata Viar enteng. Satya adan Yoga mencebik kesal. “Kenapa? kalian tidak mau? Kalian menuduh anak Jurnalota tidak setia kawan padahal, kalian sendiri juga tidak mau membantu?” Viar lagi-lagi menuduh dan membuat Satya dan Yoga semakin terpojok. Karena isyarat tidak ikhlas di mata dua cowok itu, Putri angkat bicara. “Tidak apa-apa kok kalau kalian tidak bisa membantu ... lagi pula ini salahku ....” Putri hampir mewek lagi sehingga Viar menatap dua cowok itu sambil mengacungkan tinju seolah berkata, “Kalau tidak mau bantu, mati kalian!”  Ancaman itu ternyata cukup efektif, karena dua cowok itu seketika bersedia membantu. “Tidak kok, Put, kita pasti bantu,” kata Satya dengan senyuman palsu. “Iya, itu tadi hanya bercanda kok.” Yoga ikut-ikutan. Putri menghapus air mata di pipinya dan tersenyum. “Nah, kalau senyum begitu kan cantik,” puji Satya. “Sial, Sat, kenapa kamu yang kebagian dialog keren itu!” protes Yoga. Mereka pun bercanda dan tertawa, mereka tidak menyadari bahwa di luar kelas ada seseorang yang sedang mengamati mereka. *** Maya melihat Satya berdiri di depan tempat parkir sambil melambaikan tangan bersama ketiga anggota genknya yang lain. Gadis berambut bob itu menghampiri mereka. “Aku mengantar Maya pulang dulu ya guys, nanti aku menyusul,” kata Satya yang dijawab anggukan oleh tiga temannya. Gerombolan itu membubarkan diri. Maya mengikuti kakaknya menuju motornya. “Kakak mau ada urusan apa? Kerja kelompok?” tanya Maya. Setahu Maya keempat orang itu berbeda jurusan, hanya Satya dan Yoga yang sejurusan bahkan sekelas dan sebangku. “Semacam itulah, kami mau membantu Putri mengerjakan naskah majalah akhir tahun,” jawab Satya. “Wah! Aku boleh ikut?” tanya Maya antusias. “Bukannya besok masih MOS, apa kamu tidak banyak tugas?” Maya mengibaskan tangan. “Besok acaranya hanya inagurasi dan demo ekskul.” “Oh ... ya boleh juga, semakin banyak orang makin cepat selesai,” kata Satya “Asyik!” seru Maya senang. Satya ikut tersenyum. Rupanya hal semacam ini menyenangkan dan menarik bagi Maya tapi tidak bagi Satya yang pemalas. Waktu pulang sekolah bagi Satya lebih enak dimanfaatkan dengan membaca novel sambil tiduran dan makan cemilan. “Putri.” Satya refleks menoleh. Seorang gadis berkacamata dengan rambut pendek menghampiri Putri yang sedang berusaha mengeluarkan motor. Satya mengenalinya sebagai Anggi, anak kelas XI IPA satu dan anggota Jurnalota. Dia pernah bersaing menjadi wakil olimpiade dengan Satya, dan jujur saja Satya tidak terlalu menyukainya. “Anu ... aku minta maaf karena tidak bisa membantu kamu ...,” kata Anggi sambil menunduk. Putri tersenyum kecil. “Tidak apa ... aku mengerti.” Mona memang memiliki pengaruh yang besar bahkan Putri sendiri takut padanya. “Begini saja, kalau kamu butuh bantuan ....” Belum selesai Anggi berucap, terdengar suara Mona yang menggelegar. “Anggie!” teriak Mona yang berdiri di depan gerbang sambil menatap tajam Anggi dan Putri. Anggi gugup, dia memandang Putri dan Mona bergantian. “Pergilah,” kata Putri dengan senyuman lemah. Anggi menatap Putri dengan sendu kemudian menunduk. “Maaf.” Anggi berlari menghampiri Mona. Entah apa yang mereka bicarakan tapi Mona terlihat marah sedangkan Anggi mengelak dengan takut-takut. *** Rumah Viar letaknya hanya berbeda dua blok dari rumah Satya. Bisa ditempuh dengan jalan kaki selama sepuluh menit. Rumah itu tidak pernah sepi karena Ayah dan Ibu Viar membuka usaha warung mie ayam yang laris meski letaknya di dalam komplek perumahan. Kelezatan mie pasangan Bagio itu sudah tersohor sejak dua puluh tahun yang lalu. Mereka bahkan memperkerjakan lima orang pegawai. Satya dan Maya memarkir motor di tempat parkir yang disediakan khusus pelanggan warung. Mereka kemudian memasuki warung yang padat penduduk. Seluruh meja terisi penuh. Para pegawai tampak berlarian dari dapur sambil membawakan pesanan. Ibu Viar, Bu Bagio yang gemuk dan kekar duduk di kasir sambil melayani pelanggan yang sudah membentuk antrian panjang. “Mie Ayam level tiga dua, jus alpukat dua!” teriak Bu Bagio dengan suaranya yang membahana. Wanita itu tersenyum lebar saat menyadari kehadiran Satya dan Maya. “Wah, Nak Satya, kamu tambah ganteng saja!” puji Bagio. “Ah, Tante terlalu memuji,” kata Satya sambil menyeringai. Bu Bagio memandangi Maya sejenak dengan kagum. “Selamat siang, Tante,” sapa Maya sambil tersenyum. “Siapa ini? Pacarnya? Ya ampun, kamu bisa cari pacar cantik juga!” Bu Bagio menepuk pundak Satya agak keras sehingga Satya meringis. “Eh anu ... Saya Maya, Tante,” kata Maya. Bu Bagio membelalak. “Nak Maya? Ya ampun, kamu sudah lama tidak main ke sini, Tante jadi pangling, kamu sudah sebesar ini, tambah cantik kamu sekarang,” puji Bu Bagio berbinar-binar. “Kami boleh masuk, Tante?” tanya Satya. “Aduh pakai ijin segala, Nak Yoga dan Nak Putri juga ada di dalam, anggap saja rumah sendiri, maaf agak kotor,” kata Bu Bagio. Satya dan Maya memasuki pintu di belakang meja kasir. Di sana mereka disambut oleh Viar, Putri dan Yoga yang duduk lesehan di depan TV. Putri duduk di tengah sambil menyalakan laptop. Sementara Viar dan Yoga duduk disamping kanan dan kirinya sambil makan keripik singkong. “Kamu jangan GR ya kalau dipuji ibuku. Dia memang hobi memuji orang. Yoga saja pernah dibilang mirip Christian Sugiono.” Viar menegaskan pada dua tamunya yang baru datang itu. “Wah, itu sih fitnah,” kata Satya sambil geleng-geleng kepala. Putri yang sedari tadi sibuk dengan laptop menengadah. Dia terkejut saat melihat kehadiran Maya di sana. “Lho? Maya ikut ke sini?” Satya dan Maya menghampiri ketiga orang itu lalu turut bersila di atas tikar. “Iya, dia bilang mau ikut jadi kuajak saja,” kata Satya. “Boleh, kan, kak?” tanya Maya. “Tentu saja boleh, aku justru tertolong kalau ada kamu, soalnya tiga orang ini sebenarnya tidak berguna,” kata Putri sambil tersenyum senang. Putri selalu menganggap Maya seperti adiknya sendiri. Putri adalah anak tunggal yang bertahun-tahun merengek pada orang tuanya agar memiliki adik. Namun, keinginannya itu tidak pernah dikabulkan. “Hei! Sudah untung kita mau bantu. Kamu ini tidak ada rasa terima kasihnya!” protes Yoga kesal. Yoga bangkit dan menghampiri kulkas lalu membukanya dengan santai. “Kalian mau minum apa, guys? Teh? Sirup? s**u? Kopi?” tanya Yoga pada teman-temannya. “Es sirup aja, seger,” jawab Satya. “Yoga! Memangnya ini rumahmu? Jangan buka kulkas rumah orang sembarangan!” Putri naik pitam melihat tindakan Yoga itu. “Biakan saja, Put, biasanya juga begitu,” kata Viar cuek. “Kak Yoga dan Viar akrab sekali ya.” Maya tersenyum melihat keakraban dua pemuda itu. “Iya, dia selalu kabur ke sini kalau kena semprot ibunya. Karena beranda kamar kami mepet dia hanya tinggal loncat saja,” terang Viar, “padahal aku selalu berharap tetangga sebelah rumahku itu cewek cantik seperti di komik-komik romantis.” Maya tersenyum sambil mengamati suasana rumah Viar. Rumah Viar masih sama seperti dulu, hampir selalu berantakan. Sudah lama sekali rasanya dia tidak berkunjung ke sini, kalau tidak salah terakhir waktu kelas lima SD. Berkumpul dengan teman-teman kakaknya menimbulkan efek nostalgia. Maya merasa kembali menjadi anak SD. “Jadi, aku bisa bantu apa nih, Kak?” tanya Maya pada Putri. “Ng ... begini, ada sembilan rubrik, jadi satu orang mengerjakan dua, ada satu orang yang ngerjain satu rubrik,” jelas Putri. “Aku donk yang satu itu!” seru Yoga yang sedang sibuk menyiapkan es sirup. Putri memicingkan matanya sejenak lalu menghela napas. “Ya sudah, kamu membuat komik saja, ilustasi, dan lay out. Kamu hanya bisa itu, kan?” kata Putri akhirnya. Putri lalu membagi setiap rubrik sesuai dengan kemampuan dan minat teman-temannya. Viar, sang atlet mendapatkan rubrik olahraga dan life style. Sementara Maya calon chef masa depan mendapat rubrik seni dan kreativitas. Satya mendapat rubrik misteri dan sains. Sementara dirinya sendiri mendapat rubrik fiksi dan berita terkini. Satya mengawasi Putri yang sedang mengetik. Ada suatu hal yang membuat Satya penasaran. Dia lalu memberanikan diri bertanya. “Sebenarnya apa yang terjadi, sampai mereka tega melakukan kudeta?” Putri tertegun dan menatap Satya dengan nanar. Air matanya tampak menggenang. “Aku yakin pemicunya bukan hanya karena flashdisk saja, sebelumnya pasti sudah banyak konflik,” tebak Satya. Viar, Yoga dan Maya bergeming. Mereka menatap Putri menunggu jawaban dari gadis itu. “Benar ...,” kata Putri sambil tersenyum getir. Air matanya mulai mengalir dan membasahi pipinya. “Mona mungkin tidak menyukaiku. Apa pun ideku selalu ditentang. Dia dulu juga kandidat pimred. Mungkin dia merasa lebih mampu dariku.” Putri berhenti berbicara sejenak dan menatap langit-langit rumah Viar. “Aku sendiri juga tidak mengerti mengapa o***g memilihku. Padahal aku tidak memiliki prestasi seperti dua kandidat lainnya. Bahkan sampai beredar gosip kalau aku memiliki hubungan khusus dengannya.” Satya mengangguk. Dia juga pernah mengenal tipe orang seperti itu. Mereka merasa dirinya paling mampu sehingga menganggap rendah orang lain. Yoga mencebik, dia sangat mengenal kakaknya. Ilham pasti memilih Putri karena gadis itu lebih mudah disuruh-suruh dan dianiaya daripada yang lain sehingga Ilham bisa bekerja dengan lebih santai. Maya dan Viar terdiam karena tak menemukan kalimat yang dapat menghibur Putri. Viar hanya menepuk-nepuk pundak Putri untuk menenangkan gadis itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD