Sahabat

1030 Words
“Assalamualaikum,” seru Yoga sembari membuka pintu rumah “Waalaikumsalam,” jawab Bu Mira dengan nada ketus. Ibu Yoga itu duduk di ruang tamu dengan berkas yang bertebaran di hadapannya. “Kenapa kamu baru pulang?” “Kerja kelompok,” jawab Yoga malas. “Jangan bohong, ibu tahu kamu bermain ke tetangga sebelah, pasti kamu bermain PS, kan!” hardik Bu Mira. Bu Mira tahu Viar dan Yoga berbeda jurusan jadi tidak mungkin mereka mengerjakan tugas kelompok. Yoga tidak menjawab. Dia hanya berjongkok lalu melepas sepatu. Yoga sudah belajar banyak. Apa pun yang dikatakannya pada ibunya akan selalu salah dan banyak bicara hanya membuatnya semakin bertambah salah. Pilihan terbaik adalah diam dan berpura-pura mendengarkan dengan penuh penyesalan. Dengan begitu ibunya akan merasa puas. “Daripada kamu main PS, kenapa kamu tidak bantu ibu bersih-bersih saja, sih!” geram ibunya. Dalam hati Yoga mencibir. Memangnya siapa yang membuat rumah jadi kotor? Yoga meletakan sepatunya pada rak sambil merapikan sepatu lain yang berserakan di bawah rak. “Ya, ini Yoga bersihkan.” “Kamu ini sudah tidak pintar, tidak mau mau belajar, setidaknya kamu bantu ibu beres-beres rumah ....” Perkataan ibunya hanya terdengar seperti denging nyamuk bagi Yoga. Yoga sudah terlatih untuk berpura-pura mendengarkan meskipun sebenarnya dia tidak perduli. Omelan ibunya selalu sama. Ibunya akan mengatakan Yoga malas, bodoh dan aib keluarga. Ibunya akan membandingkan dirinya dengan Ilham dan Ira yang pintar. Ibunya akan mengatakan Yoga mewarisi sifat ayahnya yang pengangguran. Yoga sudah lelah dengan semua itu. Hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk menghentikan berondongan ibunya adalah mengambil sapu lalu membersihkan rumah. Semua pekerjaan rumah memang dibebankan padanya. Ilham dianggap ibunya sibuk dan lelah sepulang kerja sedangkan Ira dianggap ibunya sibuk belajar untuk olimpiade. Yoga memang tidak seperti kedua saudaranya yang berprestasi. Nilai-nilai Yoga sering di bawah standar, kalau saja Satya tidak membantunya belajar. Yoga sendiri pun sebenarnya tidak terlalu perduli. Dia lebih suka membaca dan menggambar manga. Bukan hanya Yoga saja yang lelah mendengar omelan ibunya. Ilham yang memainkan laptop di depan TV juga menghela napas. Sejujurnya Ilham kasihan pada Yoga. Ilham sudah berkali-kali menasihati ibunya. Ilham mengatakan bahwa Yoga memiliki bakat yang berbeda dari dirinya dan Ira. Yoga lebih menyukai seni ketimbang sains. Tapi ibunya sangat keras kepala. Ibunya adalah orang kuno yang menganggap sains adalah segalanya. Yoga pun akhirnya terpaksa masuk jurusan IPA dengan nilai yang selalu di bawah rata-rata kelas. Karena mengomel terus, ibu akhirnya terbatuk-batuk. “Mau kuambilkan minum?” tanya Yoga. Dia lalu menuju dispenser dan mengambil segelas air lalu menyerahkannya pada ibunya. “Ibu seharusnya istirahat. Jangan terlalu keras bekerja nanti sakit,” kata Yoga. Sejak ayahnya dibangkrut, kondisi keuangan dalam rumah tangga mereka tidak terlalu baik. Meski Ilham sudah membantu, ibunya terlihat semakin tua dan lemah karena terlalu keras bekerja. Ilham tersenyum kecil mendengar komentar Yoga. Meskipun Yoga terlihat nakal dan tidak perduli, tapi mungkin sebenarnya Yogalah yang paling perhatian pada ibunya. Yoga menyapu lantai di bawah kaki Ilham. Ilham dengan cuek memakan biskut sehingga remahnya bertebaran. Yoga menendang kaki kakaknya itu. “Makan yang benar, donk! Remahnya bertebaran tahu!” hardik Yoga kesal. Ilham hanya menyeringai lalu kembali fokus pada laptopnya. Yoga melirik laptop Ilham. Ilham sedang mengetikan rumus-rumus matematika menggunakan program equation. Ilham buru-buru menutup laptopnya agar Yoga tidak bisa mengintip. “Apa itu?” tanya Yoga penasaran. “Soal ulangan buat besok,” jawab Ilham, “kamu beruntung karena jadi adikku.” Yoga terbelalak, dia melemparkan sapu dari tangannya lalu bergegas keluar rumah melewati ibunya yang langsung mengomel. “Mau ke mana lagi kamu!” “Menginap di rumah Satya,” jawab Yoga singkat. Ibunya tak lagi berkomentar. Bagi Ibu Yoga, Satya adalah teman Yoga yang paling terpercaya. Berkat Satya nilai-nilai Yoga agak membaik. *** Viar dan Satya berdiri di hadapan di halaman belakang rumah Satya. Tempat itu cukup luas untuk berlatih basket. Satya menggantung sebuah ring basket di tembok rumahnya. Viar memandang Satya dengan serius sembari memantul-mantulkan bolanya basket di tangannya ke lantai semen di bawah kakinya. “Hari ini aku akan mengalahkanmu!” tegas Viar sembari menunjuk Satya dengan tangan kirinya yang bebas. “Terlalu cepat seratus tahun,” ejek Satya dengan senyum separuhnya. Viar berlari menggiring bola ke arah Satya. Satya bergerak lincah menghadangkan. Seketika saja cowok itu sudah menghilang dari pandangan Viar. Satya sejatinya memang lebih pendek dari Viar yang lebih tinggi lima belas sentimeter. Tetapi faktor pendek itu justru menjadi kelebihannya. Satya sering bergerak ke arah sudut mati Viar sehingga Viar kesulitan menghadapinya. Seketika saja bola sudah beralih dari tangan Viar ke tangannya. Viar tak tinggal diam saja bolanya direbut. Dia segera menghadang Satya untuk menghalanginya memasukkan bola. Senyuman separuh Satya mengembang lagi. Dia lalu memasang kuda-kuda melompat tetapi sebenarnya dia tidak melompat. Viar yang sudah salah duga melompat lebih dulu. Ketika Viar hampir menyentuh tanah barulah Satya melompat lalu dengan mudah melemparkan bola ke dalam ring. “Skor 24-18 untuk Satya,” kata Satya sembari menepuk dadanya. Viar desis lalu mengambil bola. Satya yang tadinya bersorak jadi tak enak hati melihat ekspresi sahabatnya. “Aku beri tahu dua kelemahanmu,” kata Satya. “Pertama, gerakan mu itu kurang luwes, kamu terlalu kaku. Kedua, kamu mudah ditipu dan terlalu cepat mengambil keputusan untuk melompat.” Satya membungkuk lalu menempelkan kedua telapak tangannya di atas tanah sementara kedua tetap dalam posisi lurus. “Coba apa kamu bisa begini?” tantang Satya. Viar menirukan gerakan Satya itu, tetapi tangannya tak menyentuh tanah. “Gini?” “Sentuhkan tanganmu ke tanah!” Satya memaksa tubuh dan kaki Viar tetap lurus lalu menarik tangan sahabatnya itu tanah. Viar mengeluh kesakitan akibat rasa nyeri yang luar biasa di pinggangnya. “Aduh! Sakit! Sakit!” erang Viar. “Tuh, kan! Tubuhmu kaku begini makanya gerakanmu kurang luwes!” tuduh Satya sambil terus memaksa Viar. Viar memukul p****t Satya sebagai protesnya sehingga akhir pemuda itu melepaskannya. Viar mendengus sembari memegangi pinggang dan kakinya yang jadi ngilu. “Bukannya kamu gampang melakukan itu gara-gara kakimu pendek,” kata Viar. “Kamu minta dihajar, ya!” Emosi Satya tersulut ketika dibilang pendek. Sementara Viar malah terbahak. Tawa Viar baru berhenti ketika Yoga tiba-tiba muncul di depan mereka dengan napas terengah-engah. “Gawat! Ini gawat! Besok ulangan matematika dadakan!” kata Yoga panik. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD