Chapter - 01
Hari Selasa pagi, adalah hari di mana semua anak panti asuhan belajar sopan santun di ruangan Ibu Panti, kendati demikian, tiap pelajaran usai, hanya beberapa anak yang menyerap ilmu itu, dan sisanya lupa dan tak menganggap hal itu penting dalam kehidupan mereka. Tidak heran, lingkungan di panti asuhan itu belum ramah untuk anak-anak yang ‘berbeda’ dari mayoritas anak di sana.
Contohnya Chelsea, seorang anak perempuan berkulit hitam yang memiliki badan kurus dan rambut kribo, yang selalu dijadikan bahan bulan-bulanan oleh teman-temannya hanya karena terlahir dengan kulit yang lebih gelap dari kebanyakan anak di sana. Ejekan, olok-olokan, dan penghinaan rutin dihadapi Chelsea tiap harinya di panti, terkadang Ibu Panti melindunginya, tapi akhir-akhir ini beliau seperti mengabaikannya.
“Ini harusnya bagaimana?”
Chelsea bertanya pada anak di sampingnya saat disuruh mengerjakan soal matematika dasar di kamar oleh Ibu Panti sebagai hukuman karena mereka terlalu sering berlarian di lorong utama. Sayangnya, tidak ada satu pun anak yang menggubris atau merespon pertanyaan Chelsea, sebagian besar dari mereka mengabaikannya, dan sebagiannya lagi menertawakannya diam-diam. Chelsea terkadang muak diperlakukan seperti itu, tetapi dia tidak bisa melawan karena mereka pasti akan melaporkannya pada Ibu Panti jika ia mulai menunjukkan pola-pola pemberontakan.
Malam ini, Chelsea kembali membuka lembaran buku hariannya, dan menuliskan segala hal pahit yang ia temui di hari sekarang, isinya tidak jauh berbeda dengan hari-hari kemarin, penuh dengan kepahitan, tapi Chelsea terus menuliskannya dengan santai, meski sebenarnya itu cuma buang-buang waktu.
Sejak kecil, Chelsea diberitahu oleh Ibu Panti kalau dirinya telah dikirimkan oleh orang tuanya ke panti asuhan ini, dan kelak mereka akan kembali untuk membawanya, tetapi ia tahu itu hanya kebohongan, kebohongan yang juga diterima anak-anak lain di panti asuhan ini, dan bodohnya mereka semua mempercayainya sampai di usia sepuluh tahun kepercayaan mereka pada hal itu mulai pudar.
“Chelsea, coba sebutkan apa cita-citamu kelak di masa depan?”
Tiap Ibu Panti melemparkan pertanyaan semacam itu pada Chelsea, ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil bilang bahwa ia belum begitu memikirkannya, sementara anak-anak lain selalu menjawabnya dengan lantang bahwa mereka ingin jadi polisi, dokter, bos besar, atau bahkan penguasa dunia.
Entah kenapa, Chelsea tidak mampu untuk menjawab pertanyaan itu, dia menganggap ‘cita-cita’ adalah hal yang hanya dimiliki oleh orang-orang berkulit putih, sedangkan untuk orang-orang seperti dirinya, mungkin tidak punya tempat di dunia ini. Itulah yang Chelsea pikirkan, bahkan ketika dirinya masih anak-anak.
“Chelsea, bisakah malam ini kamu diam dulu di kamar? Ada 2 anak kecil yang takut melihatmu, tapi tenang saja, makananmu akan dikirimkan ke kamarmu.”
Terkadang ada malam di mana Ibu Panti melarang Chelsea bergabung ke ruang makan untuk makan malam bersama anak-anak lainnya di sana, alasannya selalu seperti itu, tetapi itu bukan kebohongan, karena memang ada beberapa anak yang sangat ketakutan jika melihat wujud Chelsea hadir di antara anak-anak lainnya. Mereka menganggap Chelsea itu ‘menyeramkan’.
“Baik, tapi aku ingin makanan yang pedas malam ini.”
“Oh, tentu saja, sayang.”
Setelah itu, Chelsea pun memakan makanan pedasnya sendirian di kamar, ia bisa mendengar suara keriuhan dan gelak tawa anak-anak lain di ruang makan, sepertinya sangat menyenangkan jika berkumpul bersama mereka di sana.
“Setidaknya aku masih diperbolehkan untuk makan, bersyukurlah wahai engkau, Chelsea Lizz.” Gumam Chelsea pada dirinya sendiri dengan mengunyah telur goreng super pedas yang disukainya.
Esok paginya, ruang utama panti terdengar begitu gaduh, sepertinya ada sesuatu di sana. Chelsea yang baru saja terbangun dari mimpi tidurnya, segera membangkitkan badannya dari ranjang dan berlari ke ruangan tersebut, tanpa sempat mandi terlebih dahulu. Chelsea terkejut saat Ibu Panti sedang memarahi Rina Amstrong, anak perempuan berkulit putih, bermata biru, dan berambut pirang panjang yang sikapnya paling angkuh dan menjengkelkan di panti asuhan.
“Sudah kubilang, bukan aku yang memecahkannya, Bunda!” teriak Rina Amstrong pada ibu panti dengan mata yang tajam dan dua tangan yang terkepal, kelihatannya anak itu telah memecahkan sesuatu. Setelah ditelisik lebih dalam, Chelsea terbelalak karena pecahan-pecahan yang ada di lantai, adalah lampu meja yang baru dibeli oleh ibu panti lusa kemarin.
“Rina, Bunda tidak menyalahkanmu, Bunda mengerti kamu pasti tidak sengaja memecahkannya, tetapi Bunda hanya ingin melihat kejujuranmu dan juga tanggung jawabmu dalam menghadapi sebuah masalah.”
Pada akhirnya, Rina meminta maaf dan membersihkan pecahan-pecahan dari lampu meja yang berserakan di lantai, beberapa anak juga ikut membantu, dan melihat itu, Chelsea juga hendak mau membantunya. Namun, sangat disayangkan,
“Tunggu! Kau tidak perlu menyentuhnya! Aku tidak mau pecahan-pecahan ini disentuh oleh makhluk menyeramkan sepertimu!”
Rina tampak tidak suka melihat Chelsea ikut membantu masalahnya, dan terpaksa gadis kribo itu hanya menghela napas dan kembali berjalan ke kamarnya untuk bersiap-siap mandi.
Siang ini, Chelsea diberikan tugas oleh ibu panti untuk menyiram bunga di halaman samping panti, sesampainya di sana, ia menemukan Rina Amstrong yang juga sedang ditugaskan menyiram tanaman. Mengabaikan sosok dari Rina Amstrong, Chelsea dengan santai menyirami beberapa bunga mawar tepat di samping anak perempuan itu. Menyadari kehadiran seseorang di sampingnya, Rina Amstrong hendak menyapa, tapi raut wajahnya mulai berubah ketika sadar kalau orang tersebut adalah Chelsea Lizz.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini!?” tanya Rina Amstrong dengan bentakan pada Chelsea, tampak jelas di mukanya bahwa ia sangat tidak suka melihat perempuan berkulit gelap itu ada di dekatnya.
“Seperti yang kau lihat, aku sedang menyiram tanaman, sama sepertimu.”
“Lakukan itu di tempat lain! Aku tidak mau menyiram bersama denganmu di sini, kau itu menyeramkan!”
Seketika, Chelsea membanting selang air yang digenggamnya ke tanah dan menolehkan kepalanya pada Rina Amstrong, dengan tatapan amarah, Chelsea mulai berkata,
“Lantas, apa bedanya denganmu? Hanya karena kulitmu putih, bukan berarti hatimu putih.”
“MENJIJIKAN!” Setelah teriak begitu, Rina Amstrong langsung bergegas pergi dari hadapan Chelsea, meninggalkan perempuan kribo itu di sana sendirian.
Keesokan harinya, Chelsea disuruh datang ke ruang ibu panti untuk membicarakan kejadian kemarin, ternyata Rina Amstrong melaporkan hal itu dan melebih-lebihkan kejadiannya sehingga terkesan bahwa Chelsea telah memukul dan melukainya. Chelsea membantahnya berulang kali, tapi ibu panti tetap memintanya untuk pergi ke kamar Rina untuk meminta maaf, kalau tidak, ia tidak akan diberi makan malam hari ini.
Terpaksa, Chelsea menuruti permintaan ibu panti dan mendatangi kamar Rina Amstrong, tetapi baru saja sampai di kamarnya, ia melihat sebuah papan di depan kamar orang itu yang bertuliskan ‘semua orang boleh masuk, kecuali Si Hitam Jelek’. Alhasil, amarah Chelsea membludak dan ia langsung mendobrak pintu itu sampai pintunya terbanting ke dalam ruangan tersebut. Rina yang sedang tidur-tiduran di ranjang bersama anak-anak lain, terkejut dan menjerit melihat pintu kamar lepas dari tempatnya dan sosok Chelsea yang sedang berdiri tegak di ambang pintu.
“Selamat, Si Hitam Jelek, telah mengunjungi istana sucimu, wahai Putri Cantik.” Ucap Chelsea dengan penuh penekanan, dan tatapan matanya sangat mengerikan saat memandangi Rina Amstrong.