Kecewa

1915 Words
“Rum,” panggil Elang. “Iya, Kak. Ada apa?” “Bisa kita bicara berdua? Hanya sebentar saja.” “Soal apa? Kalau soal cinta Rumi gak mau!” “Lebih penting dari sekedar itu, Rum.” “Kenapa nggak bicara di sini saja, Kak? Dinda juga sedang asik berfoto bersama dengan Kak Dhafi.” Elang melihat ke arah asistennya yang sedang asyik bermain ponsel. Meskipun, Tika sedang duduk di meja lain tetap saja jarak antara meja masih sangat dekat. Kalau dia bicara serius dengan rumi bisa saja Tika mendengarnya. “Sebaiknya kita mencari tempat lain. Tidak usah di tempat sepi yang penting tidak ada yang mengenal kita berdua saja. Itu sudah cukup bagiku, Rum.” “Dimana?” “Sebelah sana bagaimana?” tunjuk Elang. Arumi melihat ke arah kursi kayu yang berada di bawah cafe. Arumi berjalan lebih dulu Elang mengikuti dari belakang. Kartika yang awalnya ingin ikut langsung ditahan oleh Elang tanpa suara. Dia hanya mengangkat tangan tanda bahwa sedang tidak ingin diganggu. “Di sini ya, Kak. Rumi suka pemandangannya.” “Iya, senyamannya kamu saja. Apa mau foto?” Arumi menggeleng. Dia paling malu kalau disuruh berfoto. “Sudah banyak foto yang Rumi ambil sejak tadi, Kak.” “Hanya pemandangan saja.” “Memang lebih suka memfoto pemandangan.” “Unik sekali kamu, Rum.” Elang meletakkan ponselnya ke atas meja. “Aku ingin mengatakan hal yang serius, Rum. Tolong jangan di sela kalau aku belum selesai menjelaskan semuanya. Bisa?” “Iya, Kak.” “Kemarin rumah didatangi dua preman yang ingin menagih hutang ...” “Apa?” “Rum!” tegur Elang karena Arumi menyela pembicaraannya. “Maaf,” ucap Arumi. “Meskipun bulan ini kamu membayar cicilan sesuai tanggal jatuh tempo dan jumlah cicilannya. Tetap saja rentenir itu mencari-cari cara untuk meningkatkan bunga agar kalian tidak mampu membayarnya.” Arumi memberanikan diri menatap ke arah manik mata Elang. “Kenapa Kak Elang tidak memberitahu Rumi kemarin? Bagaimana keadaan Bapak dan Ibuk sekarang ini?” “Beliau berdua alhamdulillah baik-baik saja, Rum.” “Lalu dengan rentenir itu bagaimana? Masih datang lagi apa tidak hari ini?” Elang menggelengkan kepala. Melihat air mata Arumi membuatnya tidak tega melanjutkan yang ingin disampaikannya. Selemah itu memang seorang Elang terhadap Arumi. “Hari ini Bapak dan Ibuk beraktifitas seperti biasanya. Rentenir itu untuk sementara waktu sudah tidak akan berani datang lagi. Namun, hanya sementara, Rum.” “Kenapa begitu?” “Temanku kemarin mengurus para preman-preman agar tidak kembali ke rumahmu. Dia juga menemui rentenir yang meminjamkan uang pada Bapak. Aku sangat terkejut dengan hasil temuannya.” “Apa?” “Hutang Bapak di rentenir setiap bulannya semakin bertambah meskipun kamu rajin membayar cicilannya.” “Bukannya, hanya tinggal beberapa bulan lagi hutang itu akan lunas, Kak? Rentenir sendiri mengatakannya pada Rumi.” “Dia bohong, jumlah hutang Bapak saat ini bahkan lebih besar dari jumlah hutang saat pertama kali mengambil pinjaman.” Arumi menatap Elang dengan pandangan kosong. Otaknya masih sulit menerima kenyataan bahwa keluarga sudah jatuh di lubang yang sama. Mengingatkannya saat Ayahnya meminta bantuan kepada saudaranya. “Berapa jumlah hutang Bapak saat ini, Kak?” “Dua milyar.” “Astaghfirullah, kenapa bisa menjadi sebanyak itu? Bapak hanya meminjam 200 juta. Itupun sudah kami cicil selama 4 tahun.” “Mereka telah menjebak Bapak, Rum. Dalam surat perjanjian ada satu point yang menyatakan bahwa ; jika dalam jangka waktu 1 tahun Bapak tidak dapat melunasi hutangnya maka bunganya akan bertambah setiap harinya. Aku juga tidak mengerti bagaimana cara mereka menghitung hingga mendapatkan hasil sebanyak itu. Yang pasti, Bapak sudah di jebak oleh rentenir saat membuat surat perjanjian,” terang Elang. Arumi tidak mengatakan apapun, air matanya kini bahkan sudah tidak keluar lagi. Gadis itu terlihat biasa saja memang sehebat itu dia mengontrol emosinya. “Aku akan membantumu, Rum. Tidak akan aku biarkan rentenir itu semena-mena dengan kalian.” Arumi menggelengkan kepala. “Tidak perlu, Kak. Biar Rumi dan Bapak yang memikirkan cara untuk melunasi hutang kami.” “Rum ...” “Kak, terima kasih karena sudah membantu Bapak dan Ibuk menghadapi para rentenir kemarin. Rumi mohon biarkan masalah ini menjadi urusan kami.” Elang menghela nafas lelah saat Arumi tidak mau menerima bantuannya begitu saja. Gadis itu sangat keras kepala susah untuk di pengaruhi. “Aku sebenarnya kurang apa di matamu, Rum? Hingga kamu tidak mau memberikan kesempatan untuk aku berjuang.” “Kak Elang gak ada kurangnya. Hanya saja Rumi tidak bisa menerima niat baik, Kakak.” “Kasih satu alasan. Biar aku bisa memutuskan akan melanjutkan atau berhenti sampai di sini.” “Berhenti saja, Kak. Kak Elang pantas mendapatkan Perempuan yang sepadan.” Elang terkekeh mendengar ucapan Arumi. “Aku tidak butuh perempuan yang seperti itu. Asal kamu tahu saja, Rumi!” Arumi memalingkan wajahnya ke samping, air matanya kembali mengalir. Dadanya kembali sesak mendengar nada tinggi dari Elang. Hidupnya sudah penuh dengan masalah hutang. Kini dia harus menghadapi sikap keras kepala dari Pria yang masih gigih mengejarnya. “Maaf kalau Rumi salah bicara,” ucapnya lirih. “Jangan selalu minta maaf, Rumi. Tidak semua masalah bisa kamu selesaikan dengan kata ‘Maaf’,” jawab Elang. “Aku tidak mengerti kenapa kamu sangat keras kepala sekali, Rum. Kalau kamu menolak bantuanku tidak menjadi masalah karena kita baru saja mengenal satu sama lain. Tapi, dengan tawaran bantuan dari Nala. Kenapa kamu juga menolaknya? Kamu tahu ‘kan Rum dua milyar itu bukan uang yang sedikit?!” Arumi mengangguk. Dia menghapus air matanya dengan kerudung yang dikenakannya. “Iya, Kak. Rumi tahu dua milyar bukan uang yang sedikit buat kami. Keluarga ku memang miskin tidak memiliki uang sebanyak itu. Tanpa Kak Elang perjelas aku sudah tahu akan hal itu.” Arumi menjeda kalimatnya, dia masih berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak di tempat umum. Kalimat Elang memang sudah menampar dirinya secara tidak langsung. “Arumi punya alasan untuk tidak menerima bantuan dari siapapun. Sekalipun dari sahabat sendiri.” Arumi terkekeh dengan nasibnya. “Terima kasih, Kak. Sudah membantu mengingatkan jika Rumi seharusnya tidak terlalu dekat dengan Kak Elang. Pasti malu ‘kan mengenal seorang perempuan dari keluarga miskin dan memiliki banyak hutang? Maka dari itu, Kak Elang keukeuh ingin membantu melunasi hutang keluarga Rumi.” “Rumi, aku tidak bermaksud seperti itu,” ucap Elang dengan lirih. Dia menyesal sudah salah bicara. Arumi tersenyum getir memandang lurus ke arah Elang. “Tidak usah merasa bersalah, Kak. Rumi tidak akan marah. Lagi pula tidak ada hak untuk marah juga ‘kan?” “Rum ...” “Lebih baik kita tidak saling menegur sapa lagi, Kak. Anggap saja selama ini Kak Elang tidak pernah mengenal Rumi, Bapak dan Ibuk. Semua barang pemberian Kak Elang besok akan Rumi kirim ke apartemen.” Arumi meninggalkan Elang yang masih diam mematung. Dia sudah menyakiti perasaan gadis yang dicintainya. Arumi berjalan dengan cepat meninggalkan cafe untuk mencari ojek yang dapat membawanya menuju ke kota Magelang setelah itu kembali ke Jogja menggunakan taxi online. “Kak Rumi mau kemana?” teriak Dinda. “Kakak, kenapa Kak Rumi naik motor dengan pria tadi? Memangnya dia mau kemana?” kini Dinda mencecar sang Kakak. Dia panik saat melihat Arumi menangis. “Ayo kita pulang!” Elang berteriak memanggil Dhafi yang masih berada di dalam cafe. Dia tidak mau sampai ketinggalan jejak dari Arumi. Sepanjang perjalanan Dinda terus saja menangis, dia khawatir dengan keadaan Arumi. Apalagi, sekarang ini hari sudah mulai gelap. “Kak Elang tadi ngapain Kak Rumi sih?! Pasti mulut pedas Kakak sudah nyakitin hati Kak Rumi ‘kan. Ayok ngaku saja! Dinda bakal lapor sama Mami biar Kak Elang di sunat lagi!” Elang meremas rambutnya, dia kini sedang bingung mencari Arumi. Ditambah suara teriakan adiknya membuat kepalanya semakin ingin pecah! *** “Bapak, apa Arumi benar-benar belum sampai rumah?” tanya Elang lagi. Dia kini masih berada di rumah orang tua Arumi. “Sebaiknya Nak Elang pulang saja sekarang. Hari sudah sangat larut, Nak. Bapak lelah ingin segera beristirahat.” Hasyim mirip sekali dengan Arumi. Dia sangat tenang dalam menghadapi masalah. Seharusnya, dia sudah memberikan beberapa kali pukulan pada wajah tampan Elang. Namun, kenyataannya Hasyim tetap bersikap ramah dan lembut dengan. “Bapak, maafkan Elang, Pak.” “Tidak perlu meminta maaf, Nak. Mungkin ini sebagai jawaban atas keresahan hati Bapak selama beberapa bulan ini. Tidak seharusnya Bapak membiarkan Rumi dekat dengan Pria yang berasal dari keluarga kaya. Kalau sejak awal Bapak bisa tegas, Putri kesayangan Bapak tidak akan merasakan sakit hati.” “Pak ...” “Nak Elang, Bapak mohon jauhi Rumi mulai dari sekarang. Biarkan dia kembali pada kehidupannya semula sebelum mengenalmu. Meskipun usianya baru 18 belas tahun, dia sudah banyak sekali menanggung beban. Bapak tidak bisa melihat Arumi diam-diam menangis setiap selesai shalat malam. Hati Bapak ikut sakit, Nak.” Hasyim tersenyum namun air matanya mengalir di kedua pipi yang sudah banyak memiliki keriput. Orang tua mana yang tidak merasa hancur hatinya ketika putri kesayangannya di sakiti oleh Pria yang berjanji akan menjaganya. “Pak ...” “Sudah ya, Nak Elang pulang sekarang. Bapak harus kembali bekerja besok,” usir Hasyim dengan sopan. Elang berulang kali mengucapkan kata maaf sebelum benar-benar pergi. Dia teringat ucapannya pada Arumi soal ‘tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf'. Kini kalimat itu justru berbalik padanya. Dia hanya bisa mengatakan kata ‘Maaf’ saat bicara pada Hasyim. “Ahhhh .... sial!” teriak Elang dengan menjambak rambutnya. Dia hanya berniat menggertak Arumi agar mau menerima bantuan darinya atau dari Nala. Elang tidak menyangka jika Arumi salah paham pada ucapannya tadi. Gadis itu kini benar-benar tidak mau berurusan lagi dengannya. Keesokan harinya ... “Rahma.” “Iya, Pak Elang. Ada yang bisa saya bantu?” “Arumi tadi masuk kerja?” “Rumi ijin, Pak. Katanya, sedang ada urusan keluarga.” “Kalau boleh saya tahu, urusan apa?” “Maaf, Pak Elang. Saya tidak tahu pastinya urusan apa yang dimiliki oleh Arumi.” “Terima kasih, Ma. Kalau ada kabar dari Arumi tolong beritahu saya ya?” “Iya, Pak.” Elang pergi meninggalkan ruang istirahat para juru masak, dia berniat meminta bantuan Ace untuk meminta maaf pada Arumi. Meskipun, dia tahu konsekuensinya akan menjadi samsak oleh sepupunya terlebih dahulu. Saat baru masuk ke dalam ruangan Ace, Elang langsung diberi hadian satu pukulan tepat di wajah sebelah kanan. Satu tendangan juga tepat mengenai perut bagian depan membuat Pria itu tersungkur ke lantai. “Aku sudah pernah bilang jangan sakiti Arumi. Kalau hanya ingin bermain-main jangan dekati dia!” suara dingin milik Ace menggema dalam ruangan. “Siapa yang bermain-main? Aku serius ingin menikah dengannya!” “Lalu apa yang kamu lakukan sekarang, ha?!” “Aku akui aku salah bicara dengannya. Tapi, semua ini hanya salah paham Ace.” Ace meninggalkan sepupunya yang masih terduduk di lantai. Dia duduk di sofa panjang lalu mengambil ipad nya. Informasi mengenai kejadian Magelang langsung di ceritakan Oleh Dinda saat gadis itu menginap di rumah mertuanya. Ace benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Elang. Bisa-bisanya dia memaksakan kehendak pada gadis polos seperti Arumi. “Apa Rumi baik-baik saja sekarang ini?”. “Aku tidak tahu. Lagi pula keadaan Arumi bukan menjadi urusanmu. Mulai dari sekarang kamu harus menjauhinya.” “Mana bisa seperti itu? Aku benar-benar mencintainya.” “Cinta?” tanya Ace dengan nada mengejek. “Kamu itu sudah dewasa pasti tahu mana cinta dan hanya penasaran saja!” “Maksudmu apa?” “Jangan menyangkal lagi, Elang! Bukankah Arumi hanya kamu jadikan pelarian saja?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD