Malam ini Varel mengutarakan niat untuk membawa Dara ikut ke luar negeri bersamanya, namun niat itu ditolak mentah-mentah oleh Alan. Sebagai ayah, Alan tidak akan mengizinkan putri satu-satunya yang masih remaja untuk ikut bersama laki-laki apa pun alasannya, selain ini pergi ke benua lain.
Terlebih lagi Varel adalah anak dari seorang pria tinggi hati. Alan masih ingat bagaimana Pras merendahkan pertanggungan saat membuat surat perjanjian yang akhirnya batal karena Dara sudah memperbaiki keguguran.
Dara keguguran adalah kesyukuran yang disyukuri oleh Alan dan Ineke, itu artinya Dara tidak perlu menikah, dan bisa kembali bersekolah.
"Om, aku berjanji akan membawa Dara di sana."
Alan menatap Varel dengan tajam. "Kalau mau pergi ya pergi aja, jangan ajak Dara. Kamu lupa dulu, kamu pernah bilang Dara itu jelek, jadi untuk kamu kamu mau dia mau ke sana?"
Ineke ikut menyetujui. "Dara maunya gimana? Menginap di Jakarta atau pindah ke luar negeri?"
"Dara mau ke luar, lagian di sini Dara enggak punya teman, Ma. Teman-teman Dara saat pergi, anak-anak di sekolah enggak ada yang suka sama Dara, dan di rumah juga Dara tolong sendiri karena Mama sama Papa sibuk kerja."
Sebagai seorang wanita, tahu bagaimana perasaan Dara. Dia gagal menjadi ibu karena tidak tahu apa yang terjadi di sekolah Dara.
Alan langsung menantang. "Enggak ada, di Jakarta aja hamil, ditambah di luar negeri? Mau jadi jalang kamu, hah?"
"AYAH!" Emosi Dara memuncak. "Aku enggak suka itu, oke aku kemarin emang salah, tapi bukan berarti aku jalang !"
Sifat Dara yang keras, turun dari sifatnya Alan. Mereka sama-sama keras, jadi sering sekali beradu argumen.
"Dengan atau tanpa izin Papa aku akan tetap pindah, aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaan di rumah ini."
"Terserah, tapi jangan harap Papa akan mengirim uang buat kamu!"
Dara terdiam, dia belum bekerja bagaimana bisa bertahan di negara orang dengan biaya pendidikan dan biaya hidup yang mahal.
"Biar Mama yang mengirim uang pakai Mama, kamu tenang aja."
Ineke tidak peduli dengan suaminya itu, mungkin ini saatnya Dara menemukan kebahagiaan, kebahagiaan selama ini hanya topeng, nyatanya Dara tidak benar-benar bahagia memiliki orang tua yang workaholic. Ineke juga tidak mungkin meninggalkan pekerjaan yang sudah dia jalani selama ini, begitupun dengan Alan.
"Izinin Dara pergi atau kita cerai?" alan Alan dengan santai.
Ucapan Alan bagai petir, Dara tidak mungkin membiarkan orang tuanya berpisah hanya karena keegoisan dirinya. "Oke, aku enggak bakal pergi."
***
Varel malam ini memutuskan untuk pulang, tidak enak dengan orang tua Dara yang berdebat karena ide konyol yang diusulkan oleh dirinya. Selama Varel keluar dari rumah, selama itu pula Pras tidak pernah mengirim pesan ke anaknya itu. Seakan Pras benar-benar tidak peduli.
"Mbak, Papa udah pulang?"
"Selama Mas Varel pergi, Bapak sakit, Mas. Enggak mau makan dan enggak mau minum obat. Giliran saya pengin hubungin Mas tapi Bapak larang, gengsi katanya."
Varel menghela napas, dia langsung ke kamar Pras, terlihat pria itu yang tidur membelakangi.
"Pa ... " Varel berjalan ke arah Pras, langsung menempelkan telapak tangannya ke kening ayahnya itu. "Suhu Papa tinggi."
Pras membalikkan badannya. "Papa enggak apa-apa."
"Pa, Papa sakit, yang Varel punya cuma Papa. Tolong jangan sakit." Varel berusaha menahan tangisnya. "Varel udah enggak punya Mama, enggak punya Kakak. Papa harus sehat sampai Varel tua." Air mata yang sedari tadi Varel tahan akhirnya tumpah juga.
"Pa, Papa harus makan. Maafin Varel yang terlalu egois."
Pras menggeleng. "Jangan tinggalin Papa, Rel. Yang Papa punya cuma kamu. Selama ini Papa enggak mau menikah lagi, karena Papa enggak mau kamu punya punya ibu tiri, Papa enggak mau kamu merasa tertekan. Maafin Papa."
Varel memeluk Papanya yang tengah berbaring. "Maafin Varel, Pa."
"Papa sayang banget sama kamu, cuma Papa enggak tahu cara tunjukinnya seperti apa, Papa bekerja keras, itu semua untuk kamu, Papa enggak mau kamu merasa kekurangan."
Hati Varel merasa teriris mendengar ucapan Pras, selama ini dia belum pernah mendengar Pras berkata seperti itu. Varel jadi merasa bersalah karena terlalu negatif thinking, sampai dia lupa semenjak kepergian sang ibu, Pras lah yang mengurusnya sampai sekarang, bahkan Varel belum pernah melihat Pras membawa wanita ke rumah ini.
"Pa, sekarang Papa makan, ya? Abis itu minum obat."
Varel mengambil nasi yang sudah ada sedari tadi, lengkap dengan sayur, lauk yang sehat. Dengan penuh kasih, Varel menyuapi sang ayah. Ini kali pertamanya, Varel melihat Pras selemah ini.
Setelah Pras menghabiskan sepiring nasi, lalu Varel membantunya untuk minum obat.
"Pa, sekarang Papa istirahat ya, nanti kalau butuh apa-apa tinggal panggil Varel."
Pras tersenyum lalu mengangguk, dia menggenggam tangan anaknya itu. "Makasih ya, Nak. Tolong jangan tinggalin Papa."
"Iya, Pa. Varel di sini kok."
Varel pun keluar dari kamar Ayahnya, langsung ke kamarnya. Dia membuka satu album foto yang sudah usang. Dulu pernah utuh, dan sekarang pecah. Varel benci itu.
***
"Dia kecelakaan?"
Wanita di seberang sana menangis tersedu-sedu. "Iya, sekarang dia lagi di ruang operasi."
"Yaudah aku ke sana sekarang."
"Cepat, Mas. Aku takut anak kita kenapa-napa."
Pria itu segera mengambil kunci mobilnya, tidak peduli dengan waktu yang sudah larut, yang ada di kepalanya Darel harus sembuh, jagoannya enggak boleh kenapa-napa.
***