Salsa menatap dari jauh sosok Habib yang berjalan dengan penuh senyuman menujunya, setelah hendak memfotokopi persyaratan untuk pemeriksaan Salsa dibuat terkejut dengan sosok anak kecil yang mendatanginya itu.
Salsa lebih terkejut saat ia tahu bahwa Habib mengikutinya, bahkan saat Salsa menanyakan dimana orang tuanya ia hanya berkata jika ia tersesat. Oleh karena itu, Salsa yang tidak tega meninggalkan Habib mengajaknya menuju koridor umum dan berencana mengantarkan Habib kembali ke orang tuanya saat selesai pendaftaran.
Salsa menitipkan Habib pada kakaknya yang terlihat sudah membaik dari sebelumnya. Sedangkan ia mengurus sisa persyaratan pendaftaran. Namun, setelah hampir 15 menit Salsa berdiri di depan resepsionis tiba-tiba Habib memanggil dirinya.
Salsa berjongkok menyesuaikan dirinya dengan Habib lalu menatap Habib yang berpamitan kepadanya. Salsa melihat arah pandang Habib, ia menunjuk sosok laki-laki yang Salsa ingat memang orang tuanya. Pak Fajar dan istrinya, ada satu laki-laki lain yang Salsa lihat yang ia duga adalah saudara Pak Fajar.
"Sal, kakak masuk dulu ya." Salsa menatap kakaknya yang berdiri dari tempat duduk, saat Salsa hendak berdiri menemani kakaknya ia malah di tolak. Resya meminta Salsa untuk menunggu di luar.
"Kakak yakin gak perlu Salsa temenin?" tanya Salsa lagi memastikan.
"Gak kok, kakak bisa. Tunggu ya," ucap Resya lalu berjalan masuk ke sebuah ruangan yang Salsa tahu itu adalah luang pemeriksaan.
Saat Salsa sedang duduk menunggu Resya selesai diperiksa, ia merasakan seseorang duduk di sampingnya namun ia tidak berniat untuk menoleh karena merasa takutnya terjadi ketidak nyamanan di antara mereka berdua.
"Kakak," ucap suara yang menurut Salsa tidak asing.
Salsa menoleh ke arah sampingnya, tapi begitu terkejut saat melihat seorang anak kecil menatapnya dengan penuh senyum yang lebar.
"Habib Kak," ucapnya dengan ceria.
"Kok kamu bisa di sini?" tanyaku bingung, aku menatap matanya mencari kebenaran.
"Aku tersesat," jawab Habib.
Salsa terdiam selama beberapa saat, ia bingung harus bersikap bagaimana. Ia harus menunggu Resya tapi pasti orang tua Habib kebingungan juga mencarinya.
"Kamu hafal nomor telepon keluarga kamu ga?" tanya Salsa menatap Habib cemas, ia takut jika orang tuanya kesulitan menemukan Habib.
Sebuah gelengan di dapat oleh Salsa dari Habib, napas berat di hembuskan oleh Salsa. Ia memikir sejenak untuk bersikap seperti apa.
"Cari orang tua kamu yuk," ajak Salsa yang di sambut gembira oleh Habib.
"Gak mau," ucap Habib cepat namun tetap membuat aku terkejut.
"Loh, kenapa gak mau pulang?" tanyaku lagi.
Habib ini sedikit unik, saat anak lain yang tersesat pasti menangis minta pulang atau minta bertemu dengan orang tuanya. Tapi dia tidak, sikap Habib sangat tenang dan seakan tidak takut sama sekali.
"Gak mau aja, main yuk kak?" ajak Habib dengan senyumnya yang lebar, ia bahkan terlihat sangat ceria sekarang.
"Habib, maaf banget Kakak di sini lagi nemenin kakaknya Kakak buat konsultasi sama dokter. Kita mainnya lain kali aja ya," ucapku lembut mencoba memberi pengertian padanya.
Wajah Habib mendadak berubah menjadi kesal, ia mengerucutkan bibirnya.
"Iya deh," ucapnya lembut.
Aku tersenyum lebar, mengusap rambutnya lembut lalu berdiri dari dudukku.
"Ayo," ucapku menggandeng tangannya, Habib mengangguk lalu kami mulai berjalan.
"Kamu ingat ada di mana?" tanyaku pada Habib, ia mengangguk lemah dan menuntunku berjalan.
Kami terus berjalan, hingga akhiranya Habib menunjuk seseorang yang menurutku tidak asing. Dengan tarikan dari Habib aku berjalan, semakin dekat dengan sosok yang ditunjuk Habib.
"Papaa!" panggil Habib sedikit berteriak, ia bahkan melepaskan tanganku dan berlari menuju sosok itu.
Aku berjalan mengikuti langkah Habib, saat sosok yang dipanggil oleh Habib dengan sebutan 'papa' menoleh.
"Pak Fajar," ucap Salsa yang juga terkejut setelah melihat sosok itu.
Entah mengapa Salsa terkejut, mungkin karena ia baru sadar jika sosok yang di panggil dengan sebutan 'papa' itu adalah dosennya.
"Kamu ....," ucap Fajar terhenti, ia sebenarnya mengingat wajah gadis di depannya ini tapi tidak ingat namanya.
"Saya Salsa," ucapku menjawab kebingungannya.
"Papa kenal?" tanya Habib penuh tanda tanya menatap ke arah Fajar.
Beberapa saat kemudian pintu di buka, sepasang suami istri keluar dari dalam ruangan tersebut.
"Mama," sapa Habib lembut pada wanita yang menurutku juga tidak asing.
"Sama siapa nih Fajar?" tanya suami kakaknya itu.
"Ini, mahasiswa yang jadi asisten praktikum di labor."
Salsa tersenyum ramah, ia juga bingung harus bersikap seperti apa.
"Loh, kita pernah ketemu 'kan. Saya gak sengaja nabrak kamu terus kamu nolong saya," ucap seorang perempuan, selama beberapa saat Salsa terdiam karena bingung.
"Oh, iya. Saya ingat," ucap Salsa setelah beberapa saat.
"Kamu sakit?" tanya perempuan itu lagi.
"Ah enggak, saya nemenin kakak saya. Saya ke sini mau nganterin Habib aja, saya permisi dulu takutnya kakak saya nungguin."
salsa baru teringat jika aku ke sini untuk menemani Resya, ia takut jika Resya sudah selesai diperiksa dan malah kebingungan mencarinya.
"Pak saya permisi dulu," ucap Salsa yang dibalas anggukan oleh Fajar.
Setelah pamit, Salsa melangkahkan kakinya kembali menuju poli umum tempat kakaknya sedang diperiksa.
Untung saja saat kembali sepertinya Resya belum keluar dari ruang pemeriksaan, Salsa duduk kembali sambil menunggu kakaknya itu.
Perasaanya sedikit campur aduk, mengapa Resya terlalu lama melakukan pemeriksaan. Apakah kakaknya sedang sakit yang cukup parah, namun Salsa langsung menepis pikirannya itu.
Terdengar suara pintu yang dibuka secara tiba - tiba, Salsa menolehkan pandangannya menatap Resya yang baru keluar. Salsa bingung saat pandangan mata Resya kosong seakan ia terkejut karena sesuatu.
"Kak, ada apa?" tanya Salsa berdiri lalu mengenggam tangan kakaknya itu.
Namun, pertanyaan Salsa itu justru tidak di jawab oleh Resya. Pandangan mata Resya terlihat kosong, membuat Salsa ikut panik.
"Kak," panggilku lembut lalu memegang pudak kakanya itu.
"Iya Sal," ucap Resya dengan senyum yang terlihat terpaksa.
"Kakak kenapa?" tanya Salsa mengulangi pertanyaannya lagi.
Pandangan mata Resya masih sendu, namun Salsa tidak enak hati menanyakan alasannya karena takut Resya malah merasa semakin sedih.
"Kakak gak apa - apa, kita pulang aja."
Resya tersenyum kecil lalu berjalan lebih dulu melewati Salsa yang masih berdiri kaku selama beberapa saat. Salsa mempercepat langkah kakinya, menyamai langkahnya dengan Resya.
Saat di depan, Resya lebih dulu masuk ke dalam taksi lalu di susul oleh Salsa. Selama di perjalanan, Resya hanya diam menatap ke luar. Salsa tidak berani untuk mengajak Resya berbicara, namun ia tahu satu hal jika Da sesuatu yang terjadi pada Resya.
"Kak, benar gak apa - apa 'kan?" tanya Salsa, ia tak tega hati melihat kakaknya itu.
"Gak apa - apa," saut Resya cepat dengan senyum yang terlihat terpaksa.