Chapter 5

3083 Words
Marvella POV Esoknya, kami segera meninggalkan Jakarta menggunakan kapal, kapal imigrasi gelap yang menyelundupkan senjata. Sebab mustahil melewati bandara, karena semua penerbangan, hotel dan biro jasa lainnya telah di-hacking oleh keluarga Angelo. Tidak mungkin juga kami menampakan diri dan menghadapi mereka setelah melukai Abang dan membunuh beberapa bodyguard di rumah utama. Kabur adalah satu-satunya pilihan, setelah melewati negara ini.. maka kami kembali bebas. Tinggal menghapus jejak dengan hati-hati, maka mustahil kami ditemukan. Apalagi mengingat kastil Jouis yang berada di tengah hutan, tanpa listrik, tanpa jaringan internet dan sinyal untuk alat penyadap. Walau kami harus bersabar berlabu selama beberapa hari sih.. tapi tidak masalah juga kok. Soalnya bercinta di dek kapal tengah malam itu mendebarkan. Asik-asik gimana gitu.. bukan berarti aku jalang ya! Aku kan tidak jalang! Hanya sedikit bermain liar! Lihat saja sekarang, Jouis sudah dengan mesumnya remas-remas p****t aku! Padahal kami lagi makan di ruangan kapten. Si Pemilik kapal yang merupakan salah satu klien Jouis. Membahas pekerjaan baru, bayaran atas bantuannya menyelundupkan kami dari pengawasan keluarga Angelo yang tiran. Kalau pemilik kapal lain sih tidak berani, masih sayang nyawa mereka. Tapi orang ini berani, dia setuju mengambil risiko membantu pelarian kami dengan bayaran nyawa anak laki-laki seorang duta besar di Thailand. Laki-laki bodoh yang telah melukai hati putri satu-satunya pria tua ini. Tentu saja Jouis langsung setuju, mengingat membunuh anak seorang politikus jauh lebih mudah dari pada harus berurusan dengan Tuan Sulvian yang sekarang sudah mulai membajak semua radio komunikasi perusahaan-perusahaan tranportasi. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku, aku menyadari bahwa ternyata keluarga aku itu berkuasa dan berbahaya.. saking seringnya lihat kelakuan tidak bertanggung jawab dari Si Jalang.. pandangan aku terhadap keluarga aku sendiri menjadi remeh. Eh? Mantan keluarga maksud aku! Aku kan Jules! Ugh! Kadang pikiran aku suka gitu deh! Berhianat semaunya! Lagian buat apa aku ingat-ingat jalang satu itu lagi! Tidak penting! Buktinya aku baik-baik saja hidup dengan Jouis selama satu tahun ini.. "Jules.." Tuhkan! Suara merdu dan bening Jouis lagi-lagi menyadarkan aku dari pikiran bodoh aku, mata tajam dia mulai melirik-lirik m***m lagi. "Apa?" Tanya aku sambil tersenyum tulus. "Jangan memikirkan apapun selain aku!" Kyaaaa!! Tuhkan! Jouis mah gitu.. tahu benar kapan waktu yang tepat buat menyadarkan otak aku yang suka berhianat itu. Detik berikutnya, aku sudah diseret kembali ke bilik kapal, tubuh aku didesak ke pintu begitu kami telah memasuki kamar kami. Dengan liarnya Jouis mulai melumat bibir aku, meraba-raba punggung aku, memberikan sensasi mengelitik yang menaikan libido aku. Masa bodoh soal sarapan! Aku mau Jouis! Aku mau dimakan Jouis aja! Ikeh-ikeh kimochi di pagi hari itu yang terbaik tahu~. Aku melingkarkan tangan aku di leher Jouis, membalas ciumannya, membiarkan lidah aku menari-nari bahagia dengan lidah Jouis. Menikmati jari-jarinya yang nakal menjelajahi tiap inci tubuhku, berbagi kehangatan bersama. ∞ Setelah melewati berhari-hari yang panjang di lautan dan perjalanan lanjutan dengan pesawat kecil, kami tiba di Thailand, lebih tepatnya kota Bangkok. Hal pertama yang kami lakukan tentu saja mencari tahu tentang target kali ini, hanya bermodal sedikit uang tunai dan sebilah pisau. Sebab Jouis ingin membereskannya secepat mungkin, agar kami bisa pulang ke kastil dan langsung beristirahat. Itu lah sebabnya kenapa kami ada di sini malam ini, di sebuah area berbelanja, Terminal 21. Mengikuti seorang pria berumur 20-an yang tengah bercanda gurau dengan teman-temannya. "Jules.." Mendadak Jouis memanggil aku, refleks aku langsung menatapnya. "Apa?" bertanya apa mau dia. "Pergi ke sana, alihkan perhatian mereka. Aku akan menyeret target ke toilet dan membunuhnya!" Jawab Jouis, aku langsung mengangguk patuh. Pergi menghampiri segerombongan anak-anak kuliahan itu, berpura-pura tidak sengaja menabrak mereka. "Maafkan aku.." Ucap aku pakai nada bicara super menjijikan, agak dibuat manja dan mendesah-desah, pasang muka memelas ala-ala Vance, seme denial belok sesat itu. Tidak lupa mengoceh panjang lebar pakai bahasa perancis, berpura-pura jadi anak turis yang tersesat. Mereka pun panik, berusaha berbicara dengan aku pakai bahasa inggris sampai bahasa isyarat. Aku pura-pura bego aja.. berakting menjerit-jerit memanggil Mama yang entah ada di mana sekarang. Sampai-sampai mereka tidak sadar kalau salah satu temannya sudah menghilang. Setegah jam berlalu.. aku sudah duduk manis di sebuah kursi, menyerap jus jeruk yang mereka belikan. Tersenyum manis ketika melihat Jouis berjalan mendekati aku dengan baju baru, pasti bajunya sudah habis berlumuran darah. "Jules.. di sini rupanya kamu.." Ucapnya seraya mengendong aku. Aku tersenyum, memeluk lehernya manja.."Daddy..!" Panggil aku masih bersemangat berakting. Jouis mendelik kesal, matanya menatap aku sinis, sedangkan aku hanya menyengir lebar. Menikmati ekspresi kesalnya. "Terima kasih sudah menjaga anak saya, dia ini memang selalu tersesat." Ucap Jouis ke mereka. Tersenyum sok menjadi orang tua yang baik. Padahal.. Buuu!! Dia mah om-om p*****l m***m akut!! Setelah itu kami pun pergi, meninggalkan sekumpulan mahasiswa yang lega karena tidak perlu mengurus seorang anak tersesat lagi. Tanpa mereka sadari bahwa salah satu temannya telah menjadi mayat di toilet. ∞ Sejak pulang kembali ke kastil, Jouis mulai jarang mengambil pekerjaan. Entah karena apa, yang jelas aku tidak peduli.. tapi yang pasti dia benar-benar membuktikan perkataannya. Melatih aku dengan tegas dan kejam. Berkali-kali aku melirik ke arah phychopath gila itu, memperhatikan wajah tampan-tampan bening yang tampak kusut. Keningnya mengerut imut saat matanya sibuk menatap lurus ke arah layar laptopnya. Entah sedang melakukan apa, yang jelas aku jadi pengen mendorongnya hingga berbaring di lantai dan menyerangnya. Bukannya aku jalang ya!! Salahkan ekspresi wajah Jouis yang mengoda, bikin aku h***y. Tapi aku tidak menyerang dia kok, nanti Jouis marah karena aku ganggu, lalu dia tidak mau main dengan aku lagi. Kan gawat.. Akhirnya setelah menatapnya selama satu jam.. Aku putuskan untuk menghampiri Jouis aja. Duduk di belakang punggungnya, menyandarkan punggung aku ke punggung Jouis seraya menghirup aroma manisnya cokelat dari tubuhnya. "Bagaimana dengan tugasmu, Jules?" Tanya Jouis, menganggu ketenangan aku. Aku pun mendengus, "Sudah selesai!" menjawab dengan malas. Tugas yang dimaksud Jouis tuh.. Mengasah puluhan koleksi pisaunya, sungguh tugas yang menyebalkan dan membosankan. Tapi Jouis mah gitu.. Suka curigaan ke aku, jadinya mendadak dia membalikan badannya, bergeser ke samping, hingga aku jatuh terlentang di lantai. Sementara dia menatap mata aku lekat-lekat, mengecek apakah aku bohong atau tidak. Dasar hitman menyebalkan! Kenapa sih dia tidak pernah bisa mempercayai kata-kata aku sebelum mata kami bertemu pandang? "Bagus, Jules.." Ucapnya lembut seraya mengusap kepala aku sayang, setelah memastikan kalau aku jujur. Aku pun mengambil kesempatan, mengalungkan tangan aku ke lehernya, kemudian melumat bibir kasar itu gemes. Tapi sekali lagi aku bilang!! Jouis mah suka gitu.. Dia mendorong tubuh aku menjauh, memberi aku tatapan mata jengkelnya. "Dasar perempuan m***m. Kelakuanmu jalang sekali Jules. Jangan main-main sekarang, lebih baik kamu ke hutan dan memburu seekor rusa untuk latihan. Aku sibuk, Jules." Protes Jouis. Aku pun ikut protes. "AKU TIDAK m***m TAHU! KAMU YANG m***m! DASAR OM-OM p*****l!" Menendang kepala Jouis kasar, melampiaskan kekesalan aku. Aku tidak jalang tahu! Enak saja dia bilang aku jalang! Sedangkan Jouis? Si malaikat pencabut nyawa itu dengan mudahnya menghindari tendangan aku, kembali sibuk dengan laptopnya. Merasa usaha aku menganggunya sia-sia.. Aku putuskan untuk pergi meninggalkannya saja, menuju ke dalam hutan untuk berburu. Lihat saja nanti, aku akan pamerkan dua ekor rusa hasil buruan aku! Setelah itu kalau Jouis ingin mengajak aku making love, aku akan menolaknya. Aku kan tidak jalang, dia yang jalang. ∞ Sore hari, aku pulang dengan menyeret dua buah mayat rusa yang telah aku kuliti, berjalan menghampiri Jouis yang tengah bersantai minum cokelat panas di taman mawar. Begitu tatapan mata kami bertemu, aku lempar rusa-rusa itu tepat di bawah kakinya. "Tuh! Hasil buruan aku! Mana pujiannya?" Pamer aku sombong. Tadinya aku pikir Jouis bakalan mendengus lagi, tapi aku salah. Jouis malah tersenyum lebar seraya mengusap kepala aku. "Hebat, ini baru wanitaku." Pujinya tulus. Wajah aku langsung merona, rasanya malu sekaligus bahagia. Kata-kata spontan Jouis yang tidak berarti apa-apa itu, berhasil membungkam mulut aku. Membuat aku menundukan kepala gugup. d**a aku terasa penuh membucah, terutama karena kini Jouis tengah mengecup kening aku pelan. Dia pun menarik tangan aku, menuntun aku agar duduk di atas pangkuannya saat dia merapikan kunciran rambut aku yang kusut dan mengusap lembut pipi aku, membersihkan bercak darah yang menempel di sana. Setelah aku sudah bersih kembali, Jouis memeluk aku. Menyandarkan kepalanya di bahu aku, dengan kedua tangannya yang melingkar manis di pinggang aku. Membuat darah aku mendesir, hati aku ketar-ketir bergetar kala embusan nafasnya yang hangat itu menyapu permukaan kulit leher aku. Rasanya nyaman sekali.. Kami tidak berbicara, hanya diam menatap matahari yang mulai terbenam. Melupakan kekesalan dan berdebatkan kecil kami tadi, menikmati sensasi sentuhan kecil yang mengelitik hati satu sama lain. Saat-saat seperti ini lah.. Waktu di mana aku bisa merasakan kehangatan hati Jouis, sesuatu yang tidak sering dia tunjukan. Saat di mana kami bisa merasa saling memahami dan saling peduli tanpa perlu berucap, tanpa perlu berusaha keras menyampaikannya. Sebab dengan alami, perasaan itu telah tersampaikan dengan sendirinya. Kami pun lanjut menikmati acara minum cokelat panas sore yang telah menjadi acara minum cokelat panas memandang bulan. Dengan posisi, Jouis telah menindahkan aku ke atas meja tamannya, menarik kaki aku hingga bertumpu di atas pangkuannya. Sementara dia sibuk memijat kaki aku penuh perhatian dalam diam. Aku berfokus memperhatikan bola mata kelam itu, menghirup aroma tubuhnya yang manis. Tangan aku sedikit nakal memainkan kepalanya usil, mengusap rambut yang semakin lama.. semakin dia potong pendek nyaris botak. Waktu berlalu begitu saja, dalam suasana yang hangat, nyaman dan sunyi. Para pelayan yang bolak-balik datang mengantarkan kue serta cokelat baru yang masih hangat itu kami abaikan. Seolah-olah di taman mawar ini hanya ada kami berdua.. Tahu-tahu Jouis sudah melakukan pedicure dan medicure di kuku kaki aku. Melukis namanya dalam bentuk nail art yang manis dengan sentuhan gliter yang cantik. Setelah selesai dengan pekerjaan detail itu, baru lah pria aneh ini mendongkakan kepalanya menatap wajah aku. "Mana tanganmu." Pintanya memerintah. Langsung mengambil tangan aku, bahkan sebelum aku menyetujuinya. Dengan santainya Jouis mulai mengesek kuku tangan aku, pelan-pelan namun pasti.. kuku jari tangan aku berubah menjadi bersih dan indah seperti kuku kaki aku. Tentu saja dengan tambahan namanya di setiap sentuhannya. Barulah dia mengecup punggung tangan aku lama dan lembut. Sekali lagi, Pria sadis yang harusnya keji dan kejam ini berhasil menerbangkan aku. Tindakan-tindakan kecil tanpa dipikirnya itu selalu berhasil menyampaikan sebesar apa dia peduli ke aku, seberapa berharga aku di matanya. Ya setan.. aku benar-benar telah jatuh dalam pesonanya. "Aku menginginkanmu, Jules." Ucapnya lagi, memerintah. Aku mau! Mau banget! Aku juga menginginkan Jouis. "Bawa aku, lakukan apapun yang kamu mau!" Balas aku antusias, menganggukan kepala dengan bersemangat dengan wajar berbinar-binar bahagia. Jouis tertawa, tawa yang pelan tapi sangat indah, berbeda dengan tawa begis dan licik seperti biasanya. Aku berhasil melonggo dengan mulut terbuka, takjub melihat ekspresi lain yang membuat aku lagi-lagi jatuh cinta kepada Jouis. Debaran-debaran manis di rongga d**a aku menjadi musik selaras yang aliran rasa cinta di hati aku buat Jouis. Seolah belum cukup memberi aku kejutan, Jouis kembali melakukan hal yang mendebarkan. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah aku, menempelkan kening kami, membuat mata kami saling bertatapan dalam jarak yang tipis. Embusan hangat napas beraroma manis mengoda itu membuat aku semakin kikuk, kulit aku terasa panas-dingin tidak terkontrol. Belum lagi tangannya yang memeluk pinggang aku posesif. "Milikku. Kamu milikku, Jules. Sekarang dan seterusnya! Aku tidak peduli dengan hatimu, sekali pun kamu ingin pergi, sekali pun kamu tidak mencintai aku. Aku tetap akan mengurungmu di sisiku.. Hati, pikiran dan tubuhmu milikku!" Ucap Jouis bersungguh-sungguh. Aku bahkan sampai kehilangan kata-kata aku, terlalu tersentuh oleh kata-kata egois itu. Merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia karena dicintai olehnya. Bahkan aku tidak perlu mendengar kata 'cinta' keluar dari mulutnya untuk bisa melihat rasa cinta dari hatinya. "Ya.. aku milik kamu, Jouis." Balas aku dengan membawa semua harapan dan kepercayaan aku padanya. Mempersembahkan seluruh hati dan cinta aku untuknya. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku, aku menemukannya. Ketulusan cinta yang aku kira tidak ada, rasa damba dan tatapan memuja untuk aku. Dan yang terpenting.. seseorang yang menomor satukan aku, menjadikan aku satu-satunya orang yang terpantul jelas dari bola matanya. Dekapan hangat penuh kasih sayang dan rasa ingin melindungi Jouis tersampaikan dengan baik. Tidak ada suara lagi keluar dari mulut kami setelah itu, tidak ada ciuman panas penuh nafsu. Hanya ada dekapan hangat yang menyentuh hingga ke dasar hati aku. Dan ketika aku menutup mata aku dalam pelukan Jouis.. Aku bisa melihatnya. Bayangan ilusi hati terdalam aku yang tersenyum bahagia menyambut kedatangan Jouis. Tanpa aku undang, dia datang dengan seenaknya, menerobos masuk dan menghancurkan dinding pembatas kokoh yang aku bangun dari sakit ditolak dan rasa pilu akan kesepian. Mengantinya dengan rasa pahit dari perilaku kejamnya, serta rasa manis dari perilaku lembutnya di waktu yang bersamaan. Seperti cokelat yang menjadi favorite kami berdua. Keberadaan Jouis kini telah menjadi cokelat di hidup aku. Pahit namun manis di saat yang sama, beraroma memabukan dan mempunyai rasa bagai candu, tiap gigitan membawa kebahagian kecil yang sedikit-sedikit mulai terkumpul menjadi sesuatu yang di sebut kebahagiaan.  ∞ Hari ini Jouis menghilang entah kemana, alias pergi kerja tanpa pamit. Dia mah gitu.. selalu aja pergi dan pulang sesuka hati, bikin aku jengkel. Kalau tiba-tiba dia mati waktu kerja, aku kan tidak tahu mau memunggut mayatnya di mana, lalu tidak ada yang akan menguburkannya. Emangnya dia tidak mikir sampai ke situ apa? Dasar hitman bodoh! Sudah ah! Ngapain juga mikirin pria cantik itu, aku mau pergi berburu aja! Mengumpulkan tanduk rusa buat aku pamerin ke Jouis setelah dia pulang. Aku pun segera bersiap-siap, membawa senapan laras panjang milik Jouis yang sudah aku pasang peredam suara, tidak lupa berganti pakaian berburu dan membawa beberapa buah pisau dan karung untuk mengangkut hasil buruan aku. Berjalan dengan riang gembira memasuki hutan, mengendap-endap begitu telinga aku menangkap sebuah suara langkah kaki. Begitu yakin bahwa mangsa aku sudah dekat, aku menuduk. Bersembunyi di balik semak-semak, bersiap dengan senapan aku. Namun detik berikutnya, bukannya menarik pelatuk, aku malah terdiam shock. Lantaran si asal suara bukannya hewan liar yang biasa aku buru, melainkan seorang manusia yang sangat aku kenal. Dejavu.. Sekali lagi aku merasakan situasi di mana tangan aku mengarahkan senjata ke orang yang tidak akan pernah tega aku bunuh. "Keluar kamu Jalang! Aku tahu kamu bersembunyi di situ!" Umpat Vance kasar seperti biasanya, hanya dia yang selalu memanggil aku jalang. Aku bangkit berdiri, menurunkan senjata aku dan menatapnya bingung. Aku edarkan pandanganku ke sekeliling, mencari orang lain yang mungkin aja ikut dengan Vance ke mari. Namun nihil, bahkan tidak ada suara langkah kaki lain di hutan ini. "Kamu datang sendirian, Seme Denial?" Tanya aku heran. Vance mendengus, bersedekap dengan sombongnya. "Ya, aku sengaja datang sendirian dan tidak memberitahu siapa pun letak keberadaanmu." Tumben dia tidak marah aku panggil seme denial, apa setelah dua tahun kami tidak bertemu, dia sudah lurus kembali? "Kenapa?" Tanya aku kembali, merasa bingung kenapa Vance memutuskan datang sedirian tanpa memberitahu siapa pun, termasuk mommy kesayangannya itu. Walaupun bukan hal yang aneh jika dia bisa menemukan aku setelah wajah Jouis terekam di CCTV rumah utama, jaringan informasi Vance kan bertaraf internasional. Jauh lebih baik dibandingkan dengan Mama dan Si Jalang. Namanya juga mafia b***t. "Kenapa kamu tanya! Harusnya aku yang tanya kenapa Jalang? Kenapa kamu meninggalkan kami? Kenapa kamu lari dari Vivi? Kenapa kamu tidak pulang? Jawab aku!" Bentak Vance. Oke, aku mulai takut. Mendadak Vance mendekat, mencengkram kedua lengan aku yang kurus dengan kasarnya. Matanya menatap beringas penuh dengan kemarahan, jenis tatapan yang tidak pernah dia tujukan padaku. Tubuhnya yang entah sejak kapan sudah lebih tinggi dari aku itu mengintimidasi, belum lagi aura-aura mafia kejamnya yang bikin merinding ngeri. Tapi aku perempuan kuat, aku tidak akan membiarkan diriku takut ke Vance, tadi itu aku khilaf. Aku injak kakinya kuat-kuat hingga dia mengaduh dan melepaskan cengkeraman di lengan aku. Aku dorong dia hingga menjauh, berdiri tegak di hadapannya dengan menatapnya datar. "Apa peduli kamu? Bukannya kamu yang selalu bilang benci ke aku? Kamu yang selalu tidak sudi aku sentuh? Kamu yang selalu mengusir aku setiap kali aku datang berkunjung? Apa urusan kamu jika aku menghilang dari hidup kalian? Anggap saja Marvella sudah mati! Begitu aja susah!" Hardik aku, entah kenapa hati aku terasa remuk saat mengucapkannya. Vance terdiam, natap aku dengan pandangan mata berkaca-kaca, terlihat jelas rasa penyesalan di sana. Lalu dia kembali berjalan mendekati aku, menarik tangan aku dan mengengamnya erat, tapi tidak kasar seperti tadi. "Maafkan aku Marvella, aku sayang padamu. Kita kembar, ingat? Rasa sakitmu bisa aku rasakan. Kami semua mengkhawatirkanmu, aku janji tidak akan mengusirmu lagi kalau kamu datang ke rumahku. Ayo ikut pulang denganku." Bujuk Vance. Kali ini aku yang terdiam, menatapnya meneliti, mencari kejujuran di matanya, mata dan wajah yang sangat mirip dengan aku. Hanya saja dia lebih tinggi, lebih berisi dan memiliki otot yang terlatih. "Marvella, Mama dan Papa sampai meninggalkan pekerjaan mereka untuk mencarimu, ayo pulang." Bujuknya lagi, sementara aku masih terdiam. Sibuk dengan pikiran aku yang dipenuhi oleh Jouis, wajah seputih mayat yang aku sukai, sosoknya yang selalu bisa memahami aku, kata-katanya yang selalu bisa membuat aku melambung tinggi. Pria yang aku cintai. Ya, cinta dan hati aku sudah mendapatkan tempat untuk pulang, rumah keluarga Angelo bukan lagi rumah aku. "Tidak. Aku sudah berada di rumah." Tolak aku tegas, seraya memelepaskan gengaman tangannya. Vance langsung marah, dia mulai mengumpat, bukti bahwa tingkat kesabarannya setipis mommy-nya yang uke denial itu. "DASAR JALANG! SUDAH DI RUMAH KAU BILANG!? APA KAU KESENANGAN DITIDURI OLEH PRIA ITU HAH? JADINYA KAU TIDAK MAU MENINGGALKANNYA?" Bentak Vance kasar, memberi aku tatapan merendahkannya. Aku langsung menundukan kepala aku, tidak bisa membalas kata-kata merendahkan itu. Sebab dia benar, aku yang sekarang memang begitu rendah. "Ya, aku sudah tidak lagi memiliki harga diri tinggi seorang Angelo, Vance." Lirih aku. Vance kembali mendekat, mendesak aku ke pohon. "APA MAKSUDMU? KATAKAN APA YANG PRIA ITU LAKUKAN PADAMU!" Aku dorong dia sekali lagi, bergeser dan mudur menjauh, menjaga jarak darinya. "AKU SUDAH HANCUR BODOH! AKU JATUH! LIHAT AKU BAIK-BAIK VANCE! APA KAMU MASIH BISA MELIHAT SOSOK YANG SAMA DENGAN SEORANG MARVELLA AMORETTE ANGELO!? TIDAK BUKAN? PERGILAH! KATAKAN KE MEREKA KALAU AKU SUDAH MATI!" Bentak aku, lalu berlari pergi meninggalkan Vance. Tapi Vance mah gitu, dia mengejar aku. Memeluk aku erat dari belakang, tidak membiarkan aku lari darinya. Pelukan pertama yang aku terima darinya, terasa hangat dan sesak di saat yang sama. Airmata aku dengan bodohnya keluar begitu aja, terisak menyedihkan. "Ayo pulang Marvella.. seperti apapun dirimu, kamu tetap kakakku." Bisiknya lembut, menenangkan dan menghipnotis. Untuk sesaat aku hampir tertipu, berniat membalas pelukannya, tapi kemudian aku sadar. Ada yang salah di sini! Dia licik, Vance membius aku! Aku pun segera meronta saat merasakan sebuah jarum menusuk nadi aku, tapi sia-sia. Vance pasti memakai obat bius dengan dosis tinggi, mata aku mulai hilang fokus dan mengelap, menyisakan pandangan terakhir wajah Vance yang tersenyum licik. Aku benar-bener bodoh telah mempercayainya, harusnya aku ingat selicik apa seme denial sesat belok itu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD