Chapter 4

1474 Words
Marvella POV Malam harinya, sesuai janji.. Jouis menemani aku menyusup ke rumah utama Angelo, memeriksa keadaan Lexie dan Abang. Kami memilih rute halaman belakang rumah yang lebih rimbun dengan lebih banyak jebakan, tapi sedikit penjaga. Soalnya Auntie Mikael itu dokter, jadinya kalau ada anggota keluarga yang terluka, mereka pasti akan dirawat di rumah utama, bukan di rumah sakit. "Jules, kenapa kita harus lewat rute yang banyak jebakan seperti ini!?" Jouis memprotes, wajahnya kelihatan super duper cemberut. Refleks aku membungkam mulutnya, "Karena kalau lewat sini tidak ada penjaganya, Jouis. Diamlah, ada sensor suara di sini!" menjawab sambil berbisik. Tapi memang dasar orang gila, Jouis mah gitu.. dengan cueknya dia mengigit tangan aku yang membungkam mulut dia. Mendengus kesal ke aku. "Kalau kita terkena jebakan, maka percuma juga!" kembali memprotes. "Tidak akan! Aku hapal semua jebakan di sini!" Jawab aku pelan, supaya tidak mengaktifkan sensor suara dan jebakan-jebakan yang di pasang oleh Mama. Jouis pun berhenti protes, berjalan mengikuti arahan aku. Hingga akhirnya kami sampai di pintu samping rumah yang jarang dilewati, masuk sambil mengendap-endap mencari keberadaan Abang dan Lexie. Sementara aku serius memperhatikan arah dan mengawasi jalan, berhati-hati agar kami tidak tertangkap oleh penjaga.. Jouis malah dengan santainya menatap kagum kumpulan lukisan koleksi Tuan Sulvian. Dasar kurang ajar! Aku cuekin aja p*****l satu itu. Berjalan dalam diam tanpa ada pembicaraan sedikit pun dan tersenyum puas saat menemukan Abang, Lexie dan Auntie Mika di ruang keluarga. Mereka terlihat baik-baik saja, tertawa mendengarkan cerita Lexie, entah apa itu. Meski pun aku bisa melihat wajah abang yang sedikit pucat dan perban yang terlihat sedikit dari kerah leher bajunya, tapi aku cukup lega.. setidaknya itu bukan luka yang parah. "Sudah saatnya kita pergi, Jouis." Bisik aku, aku tidak berniat untuk menyapa mereka soalnya, hanya ingin memeriksa dan memastikan bahwa mereka masih hidup dan baik-baik saja. Ini pilihan aku. Hidup bersama dengan Jouis dan membuang kehidupan aku sebagai Marvella. Sedikit menyedihkan memang.. tapi waktu tidak bisa diputar kembali, meskipun aku pulang sekarang, semuanya tidak akan sama lagi. Aku yang sekarang tidak lagi pantas menyandang nama Angelo, sebab aku telah membiarkan diri aku jatuh dan hancur karena Jouis, hal itu telah menghancurkan harga diri dan kebanggaan aku selama ini, membuat aku tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Tuan Sulvian. "Tidak ingin menyapa mereka lebih dulu?" Tanya Jouis bodoh. Tolong ya!! Menyapa mereka? Dia minta dibunuh ya? Setelah menyusup ke rumah utama dan menculik anak keluarga Angelo, dia masih punya nyali? Sebesar apa kepercayaan dirinya hingga masih begitu berani berniat menyapa? Tidak langsung ditembak mati begitu terlihat aja sudah syukur banget! "Ya, kalau kamu mau dibunuh begitu menyapa.. di rumah ini banyak jebakan dan orang-orang yang terlatih untuk membunuh tahu!" Ketus aku memberitahu, lalu menarik tangan Jouis mengikuti aku. Kembali mengendap-endap keluar dari rumah, untung aja Jouis berhenti bertanya ini-itu, dia malah dengan riangnya mengamati barang-barang antik di rumah ini, memuji selera pemilik rumah. Tentu ajah seleranya bagus, ini kan rumah Tuan Sulvian yang terhormat! Idola aku! Setelah berjalan agak lama, keberuntungan kami seolah lenyap. Sebab Mendadak sebuah pintu terbuka tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, memunculkan sosok Vivi yang terkejut melihat keberadaan aku. "Marvella!?" Serunya. Wajah aku langsung memucat, terkejut setengah mati, takut tertangkap oleh Vivi. Refleks aku langsung menarik tangan Jouis, mengarah ke jendela. Berniat kabur dengan melompati balkon setinggi tiga meter itu. Tapi aku kalah cepat! Vivi keburu mencengkram tangan aku erat, mengarahkan sebilah pedang yang dia ambil dari atas lemari pajangan, mengarahkannya ke leher Jouis. "Lepaskan adik saya!" Perintah Vivi, terdengar dingin dan angkuh.. bahkan dia telah memakai bahasa sopannya. Tanda bahwa sisi psychopath-nya yang kami hadapi saat ini, kepribadian Vivi yang hampir tidak pernah aku lihat. "Tidak!" Tapi Jouis mah gitu.. Sama psychopath-nya dengan Vivi, dengan kasar dia melepaskan cengkraman tangan aku, mengantinya dengan pelukan erat di perut. Sembari mengarahkan pisaunya ke tangan Vivi yang mencengkram tangan aku yang lain. Refleks Vivi menyingkirkan tangannya, melompat mundur dan segera berlari mendekat kembali, menyerang Jouis. Aku yang menjadi bahan perebutan mereka pun di dorong dengan kasar oleh Jouis ke sudut ruangan, sementara dia berkelahi dengan Vivi yang menakutkan. Tatapan mata Vivi tajam, kelam dan dingin. Kakak aku yang anggun dan lembut itu mendadak terlihat sangat berbeda, tersenyum amat manis saat berhasil menyayat pipi Jouis.. TIDAK!! WAJAH TAMPAN-TAMPAN BENINGNYA LECET!? Ditambah lagi dengan Jouis yang malah menyeringai keji sembari mengusap pipinya, berjongkok dan mengarahkan pisaunya ke paha Vivi. DUK! Vivi berhasil mengelak, menendang kepala Jouis menggunakan sepatu bersol tebal berbahan besi itu. Ugh! Aku bahkan bisa melihat darah mulai mengalir dari kening Jouis, sementara Vivi tidak tergores sedikit pun. Dia siapa? Aku tidak pernah tahu bahwa Vivi sekuat itu? "JOUIS, KITA MUNDUR!! JANGAN MELADENIN VIVI!" Seru aku panik, menempatkan diri aku di antara mereka, melindungi Jouis dari serangan Vivi. Tapi Jouis mah gitu.. dia malah menarik tubuh aku, menempatkan aku di belakang punggungnya. Menatap menantang ke Vivi yang tengah menahan diri, kelihatan tidak berniat menyerang.. apa karena ada aku di antara mereka? "Bunuh aku dulu jika menginginkan wanitaku!" Ucap Jouis serius, jantung aku malah dengan kurang ajarnya deg-degan di saat yang tidak tepat. Habisnya.. dia bilang 'wanitaku' lho.. "Tentu saja, anda akan saya bunuh. Lagipula Marvella itu bukan wanita anda, melainkan adik saya." Balas Vivi tidak kalah serius dari Jouis, aku kembali tersentuh. Vivi peduli sama aku? "Sayang sekali, Nona. Jules milikku!" Bersamaan dengan pernyataan yang keluar dari mulut Jouis, dia kembali mendekati Vivi. Tapi kali ini membawa pedang yang dia ambil dari lemari penyimpanan senjata, tempat Vivi mengambil pedangnya tadi, kini mereka saling adu pedang. Sementara aku masih membatu bodoh menatap perkelahian mereka, tahu-tahu Vivi sudah terdesak, Jouis mengarahkan ujung pedangnya ke perut Vivi, berniat menusuknya. Aku mendekati Jouis, mencegahnya menusuk Vivi seraya menendang perut Vivi keras-keras hingga dia terlempar menabrak dinding. Memamfaatkan kesempatan itu, aku menarik paksa Jouis. "Jangan lukai kakak aku, Jouis!" Pinta aku memaksa. Kemudian merampas pedangnya dan melarikan diri, melompati balkon sebelum Vivi sempat berdiri kembali dan mengejar kami. "Marvella! Kenapa kamu lari?" Aku bahkan masih bisa mendengar suara Vivi yang memanggil aku, tapi aku abaikan. Terus berlari menarik Jouis melewati para penjaga yang tidak sulit kami hadapi. Melarikan diri dari keluarga aku sendiri.. Menyakitkan.. Tapi ini pilihan aku.. dan aku sama sekali tidak akan menyesalinya. Setelah lolos dari kejaran anak buah Tuan Sulvian, kami pun kembali ke hotel, merawat luka-luka Jouis akibat serangan Vivi. Pelan-pelan aku membersihkan lukanya, memasang perban. Si korban sendiri hanya diam sedari tadi. Mungkin dia shock kalah dari Vivi yang manis seperti boneka. "Jouis! Sudah selesai dari tadi tahu! Jangan bengong donk!" Seru aku, berusaha menarik perhatiannya. Meskipun dia tidak merespon aku dengan baik, tapi setidaknya Jouis masih menanggapai ocehan aku. Kemudian Jouis menatap aku datar, lalu mendadak menjatuhkan kepalanya ke pundak aku, aku bahkan bisa merasakan embusan napasnya di leher aku. Ugh! Deg-degan deh.. Terlebih ketika suara bening itu mulai terdengar.. "Jangan pernah pergi dariku, Jules.. kamu milikku, Julesku." Ucapnya seraya memeluk pinggang aku erat. Terdengar sangat tulus dan putus asa. Aku pun memberanikan diri memindahkan kepalanya ke pangkuan aku, memaksanya berbaring. Membuat posisi kami saling bertatapan, tangan kasar itu mengusap pipi aku lembut, sangat pelan dan terasa nyaman. Sorot matanya lembut dan hangat, tidak dingin dan menusuk seperti biasanya.. yang entah mengapa membuat aku begitu terpesona. Seolah-olah aku bisa melihat cinta dan ketulusan di sana, sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki oleh pembunuh berdarah dingin dan keji sepertinya. "Ya, aku milik kamu. Apa yang membuat kamu berpikir aku akan pergi?" Tanya aku, seraya mengusap rambut kasar seperti duri landak yang tidak pernah di sisir itu. "keluargamu." Jawabnya singkat. Aku terkejut, ternyata dia memikirkannya, padahal aku pikir Jouis sama sekali tidak peduli soal darah seorang Angelo aku. "Memangnya kenapa dengan mereka? Aku memilih kamu Jouis. Walau suatu saat nanti, mungkin saja kamu akan membunuh aku.. Aku tetap akan memilih kamu." Ucap aku yakin. Sebab Jouis lah yang memahami aku, memungut aku saat aku tersesat, memberikan kepercayaan yang tidak pernah aku peroleh dari siapa pun. Bukan keluarga aku, mereka tidak pernah memahami aku sebaik Jouis. "Benarkah? Aku tidak akan membiarmu pergi Jules, bila kamu coba-coba lari dariku.. aku akan membunuhmu." Ancamnya, entah kenapa aku malah tersentuh.. Padahal pria ini tengah mengancam aku. Aku rasa aku sudah gila.. Gila oleh tatapan bola mata hitam nan kelam itu, sebab ancaman yang terdengar amat posesif itu justru memperkuat keyakinan aku untuk tinggal bersama dengannya. Perasaan yang aku miliki bukan lagi suka, aku pun sadar.. Bahwa aku telah jatuh cinta sepenuhnya kepada Jouis. Sang malaikat pencabut nyawa, iblis yang telah membunuh Marvella, dan juga semua kebebasan yang aku miliki. Namun aku tidak keberatan akan hal itu, aku rela dikekang olehnya, rela menerima cinta dan siksaan ini secara bersamaan. Aku bahagia menjadi Julesnya. "Maka jaga dan ikat aku di sisi kamu, Jouis.." Balas aku, detik berikutnya dengan suka rela aku membiarkan menjatuhkan aku sekali lagi, menikmati tubuh aku seraya menghabiskan malam. Persetan soal keluarga! Aku sudah memilikinya, tempat untuk aku pulang, yaitu di dalam dekapan Jouis.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD