Senja

1245 Words
"Siapkan DC Shock, sekarang!" ucap seorang dokter dengan nada tinggi dan tampak khawatir dengan pasien lelaki tua yang tidak berdaya. Ran berdiri tidak jauh dari dokter dan beberapa perawat bersama mamanya--melihat pemandangan tersebut sungguh membuat Ran khawatir mengenai keadaan kakeknya. "Kakek, kumohon bertahanlah." Ran menggenggam tangan Mamanya dan berdoa agar sang dokter--papa Ran berhasil menyelamatkan Kakeknya. "Kakek akan baik-baik saja, Nak. Kita hanya harus terus berdoa, apa pun yang terjadi itu bukan salahmu karena Ran sudah berusaha." Mama Ran memeluk putrinya yang dari tadi hanya diam dan sedih--menahan tangis. "Dok ...." Salah seorang perawat di sisi Papa Ran terhenyuk dan tiba-tiba semua aktivitas terhenti saat alat monitor jantung terdengar nyaring. Ben--Papa Ran menatap jam dinding, menyebutkan waktu dan tanggal kematian pasien yang merupakan mertuanya sendiri. Dengan langkah berat Ben mengundurkan diri, melangkah pelan lalu memeluk Ran serta istrinya yang refleks menangis karena kepergian sang kakek. "Ini salah Ran, Pa. Ran enggak melakukan RJP dengan benar untuk Kakek." Ran menangis di pelukan Papanya. "Kita dilahirkan untuk mencoba dan gagal. Ini bukan salah Ran," bisik Benjamin, sambil mengusap rambut Ran dan istrinya. *** Tangan Ran gemetar saat meraba denyut nadi gadis kecil yang terlihat tidak sadarkan diri kemudian dengan terburu-buru langsung mendekatkan telinga di bagian jantung gadis itu. "Jantungnya melemah dan ...." Ran menggigit bibir, kenangan masa lalu mengenai sang kakek membuatnya takut mengambil tindakan,tetapi juga tidak bisa membiarkan anak kecil di hadapannya mengalami hal terburuk. Kita dilahirkan untuk mencoba dan gagal. Gagal sebagai seorang pecundang atau gagal sebagai pejuang. Ran mengangguk lalu segera membuka hoodie dan tanpa menunggu lagi ia bertekat untuk menolong serta memperbaiki kesalahan di masa lalu. Denyut nadinya hampir tidak teraba dan menunggu tidak akan menyelamatkannya. Aku harus memberikan tindakan. Mengembuskan napas panjang Ran berusaha menenangkan diri, membuang jauh kenangan buruk dan hari ini di waktu senja ia akan mengulangnya kembali dan membayar kesalahannya di masa lalu. Aku pasti bisa melakukannya, Papa sudah mengajariku dengan baik mengenai hal ini. Dengan penuh keyakinan, Ran memeriksa bagian d**a gadis kecil itu dan melakukan RJP. Untuk kali ini dia benar-benar memohon pada Tuhan agar anak ini selamat. Ran melakukan gerakan memompa di bagian d**a gadis kecil tersebut dan memberikan napas buatan. "Saya mohon selamatkan Balbal, anakku." Suara wanita itu terdengar lagi saat ia melihat anaknya tak kunjung sadarkan diri. Ran mengangguk cepat dan setelah beberapa kali memberikan napas buatan, anak perempuan itu--Balbal atau Balinda terbatuk dan kembali sadarkan diri, seiring dengan kedatangan ambulance. "Lo baik-baik aja, kan?" tanya Adit saat Ran terduduk lemas setelah berhasil melakukan RJP dengan benar. Ran tidak menjawab dan hanya menyaksikan para petugas medis membawa Balinda ke dalam ambulance dan diikuti oleh seorang wanita yang Ran pikir adalah Mamanya. "Thanks," ucap seorang lelaki yang suaranya tidak asing di telinga Ran. Namun, Ran sama sekali tidak menghiraukannya dan masih menatap ke arah ambulance yang bersiap untuk pergi. Ran tidak peduli siapa sosok yang mengucapkan terima kasih atas tindakannya. Kali ini ia merasa begitu bahagia karena bisa menyelamatkan anak perempuan bernama Balbal. Aku yakin Kakekku sangat bangga melihat apa yang kulakukan saat ini. *** Cakrawala sore terlihat jingga di ufuk barat dan bulan terlihat malu-malu menampakkan diri. Ran berjalan pelan kemudian berdiri di pinggir jalan depan kafé, memandang langit jingga yang tampak sangat indah sore itu. Wajahnya memancarkan kebahagiaan tanda kepuasan dengan apa yang baru saja dia selesaikan. "Ran, apa yang barusan lo lakuin ... hebat. Maksud gue, lo hebat. Gue suka dan enggak nyangka lo bakal sekeren itu." Seseorang tiba-tiba berdiri di sisi Ran yang sudah lengkap dengan atribut penyembunyi identitasnya. Ran menoleh ke arah suara tersebut kemudian lansung menaikan masker agar menutupi wajah, sadar bahwa Adit telah berdiri di sampingnya. "Kak Adit, se-sejak kapan? Em ... maksudku, kakak kenal aku?" Jujur saja Ran tergagap tidak menyangka bahwa Adit akan mengenali penyamarannya. Tawa Adit memenuhi telinga Ran yang berbaur dengan suara kendaraan di kala senja dan pemuda itu menepuk pelan kepala Ran. "Gue bakal ngenalin elo dengan mudah, Ran." Mengusap tengkuk, Adit memalingkan pandangan sejenak ke arah Zen yang berdiri tidak jauh dari mereka--dia sedang melangkah lebar ke arah mobil milik Ariska. "Ran, thanks karena sudah nyelamatin Balbal. Itu ucapan yang ingin dikatakan ...." "Enggak perlu, Kak. A-aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. M-maksudku, a-aku enggak mau hal buruk terjadi hanya karena ketakutan masa lalu." Ran menunduk memandang kedua kakinya. Diam-diam wajah Ran memerah karena sebelumnya Adit telah menepuk kepalanya dan hal itu sangat manis bagi Ran. "Lo hebat, Ran. Mau ke mana habis ini?" tanya Adit, tampak ingin membawa Ran ke suatu tempat. "Pulang. Hmm ... sudah terlalu sore. Sa-sampai jumpa!" Ran mengangkat tangannya lalu berlari menyebrang jalan meninggalkan Adit tanpa membiarkan pemuda itu mengucapkan sepatah kata. Kali ini Ran yakin bahwa ada perasaan suka dari Adit untuknya dan terlalu lama berdiri di sisi kakak kelas itu membuat suhu tubuh Ran selalu meningkat. Namun, lagi-lagi misi kepopuleran SMA membuat Ran harus menampik semua yang terjadi atas sikap Adit. Sesampai di sebrang jalan Ran menoleh dan masih melihat Adit berdiri di sana--melambaikan tangan--Ran tersenyum canggung kemudian membalasnya--Adit pun pergi menuju mobil terios hitam yang mungkin saja adalah milik Ariska sebab wanita itu telah terlebih dahulu pergi dengan menggunakan ambulance. Adit masuk ke jok penumpang di samping jok kemudi mobil yang telah diduduki Zen. "Lo seharusnya bilang sendiri ke Ran, Zen. Lo liat 'kan gimana dia nyelamatin Balbal dan apa kata petugas medis kalau Ran enggak kasih pertolongan pertama?" Adit memasang sabuk pengaman lalu memandang wajah sahabatnya yang selalu tanpa ekspresi. "Ucapan terima kasih dari lo sudah cukup dan gue enggak percaya dengan kebaikan perempuan." Zen menyalakan mesin mobil kemudian mengendarainya dengan kecepatan normal--pergi menuju rumah sakit untuk menyusul Balinda dan Ariska. "Lo terlalu kaku, Zen. Hidup lo terlalu gelap, gue bingung harus ngomong apa supaya lo bisa bedain mana yang tulus dan mana yang enggak." Adit melipat tangan di atas d**a. "Asal lo tahu, prediksi gue tentang cewek enggak pernah salah dan gue yakin Ran tulus suka sama lo dan tulus nolong Balbal." Melirik sesaat ke arah Adit, Zen mempercepat laju mobilnya. Sedikit rasa kesal mengusik jiwanya hingga mengalir pada ekspresi wajah yang membuat rahangnya mengeras. "Semua perempuan penuh kepalsuan." Zen mencengkram kuat setir mobil. Dan gue tahu dia hanya bersandiwara. Beberapa menit di perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah sakit, Zen dan Adit langsung berlari menuju unit gawat darurat kemudian segera menghampiri Ariska yang sedang berdiri khawatir menatap Balinda. "Zen ...." Suara Ariska terdengar lirih ketika melihat Zen berdiri tidak jauh darinya kemudian tanpa menunggu langsung memeluk adiknya dan menangis pelan. Zen hanya diam kemudian memeluk pinggang Ariska dengan tangan kiri dan di waktu bersamaan mengelus punggung kakaknya dengan tangan kanan--alih-alih hal tersebut akan membuat wanita di hadapannya akan lebih tenang. Zen mengalihkan pandangan, masih dalam kebisuan menatap Balinda yang sedang tertidur dengan alat pendeteksi jantung. "Balbal ... dia, memiliki ...." "Isirahat, Kak. Jangan memaksakan diri." Masih dalam posisi yang sama Zen berusaha menenangkan Ariska, hingga seorang perawat menghampiri mereka bertiga. "Keluarga Balinda, kita pindahkan Balinda di ruang perawatan, ya," ucap perawat tersebut dan dibalas anggukan oleh Zen serta Adit. Ariska masih tampak diselimuti kesedihan. "Kita bicarakan semuanya di ruang rawat inap dan setelah itu aku mau kakak pulang, biar aku yang jaga Balinda." Zen merangkul pundak Ariska kemudian menggiringnya mengikuti para perawat yang membawa Balinda menuju ruang perawatan, sedangkan Adit berjalan di belakang mereka--memerhatikan dengan seksama sikap Zen terhadap Ariska. Hati lo lembut, tapi ada kegelapan yang mengaburkannya. Lo butuh sesuatu buat ngilangin hal itu, Zen dan gue enggak bakal diam di tempat. "Balbal, bakal kuat dan hal buruk enggak akan terjadi pada anak sebaik Balbal dan ibu sekuat Kak Ariska," bisik Adit, sambil terus menatap Ariska dan Balinda secara bergantian. Jujur saja, jauh di lubuk hati yang terdalam Adit menyayangi keluarga Zen seperti keluarga sendiri dan ia juga tidak siap jika hal buruk menimpa mereka--terutama setelah melihat ekspresi Ariska ketika mereka sampai di UGD beberapa waktu lalu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD