Aduh

1296 Words
Dengan menggunakan hoodie, sunglasses, dan masker, Ran tampak terburu-buru memasuki sebuah kafé dekat mall Senayan. Napas gadis itu terengah-engah bukan karena habis berlari. Namun, karena gugup harus membeli perlengkapan make up sendiri dan setelah berjam-jam berkeliling di mall akhirnya Ran memutuskan beristirahat di kafé tersebut. Setelah memesan segelas jus melon tanpa gula, Ran membuka sedikit masker sambil memaju-mundurkan hoodie yang membungkus tubuhnya. Cuaca sore ini panas sekali, hingga membuat beberapa bulir keringat terlihat di wajah Ran yang tersembunyi. Jujur saja, Ran ingin membuka hoodie, topi, dan sunglasses-nya. Namun, ia lebih malu lagi jika ada orang lain melihatnya. "Ini jus melon dan pisang kejunya, Dek." Sang pelayan kafé datang ke meja Ran lalu meletakkan pesanan gadis itu. "Terima kasih," ucap Ran buru-buru, sambil menutupi wajahnya dengan masker, sedangkan pelayan itu hanya mengangguk lalu tersenyum ramah dan menatap aneh karena melihat penampilan Ran yang membungkus diri di saat cuaca panas. Setelah memerhatikan sekitar, Ran segera membuka topi dan maskernya. Ia memutuskan untuk tidak melepas sunglasses karena ingin tetap modis dengan hoodie yang ia lihat di majalah. Ketika asik menikmati jus melon dan menggigit satu pisang keju serta mendengar suara hilir mudik para pengunjung kafé, tiba-tiba wajah Ran terangkat mencari sesuatu yang berhasil menarik perhatian alat pendengarannya. "Adem, kayak penyanyi aslinya Crishye." Memiringkan dan menaikan kepala ke sana-ke mari, Ran bergerak gelisah mencari siapa yang sedang bernyanyi sambil memainkan gitar akustik. Aku tahu dia yang bisa Menjadi seperti yang engkau minta Namun selama aku bernyawa Aku kan mencoba Menjadi seperti yang kau minta Terhenyuk, Ran hanya menatap lurus ke arah penyanyi kafé yang sedang memainkan gitar akustik. Pembawaan yang begitu tenang memperlihatkan bahwa sang penyanyi sangat menghayati setiap penggalan kata dalam lirik lagu tersebut. "Mungkin ada sesuatu yang belum kupahami," bisik Ran hampir lupa mengerjapkan mata lalu kembali meminum jus melon dan menyantap pisang kejunya. "Kepopuleran enggak bakal diragukan lagi. Semangat, Ran!" Ran mengepalkan kedua tangan dengan suara yang sedikit lantang hingga membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh. Gadis itu tersenyum kemudian memperbaiki letak sunglasses-nya. *** "Ini buat Kak Adit, ini buat Om Zen, dan ini Balbal." Balinda melepas genggaman tangannya pada Adit lalu menyerahkan sebungkus permen gula yang ia beli ketika pergi ke Mall Senayan bersama Adit--lebih tepatnya Adit membelikan Balinda. "Lah, Kakak kira permen gulanya mau dihabiskan sendirian, Bal?" Adit membulatkan mata di depan pintu kafé menatap Balinda--keponakan Zen yang hanya tersenyum. "Balbal beli tiga jadi halus bagi-bagi. Beli satu juga halus bagi-bagi. Mama yang ajarin Balbal," ucap Balinda dengan aksen cadel menggemaskan hingga membuat Adit mencubit pipi adik kesayangannya. "Makasih, ya, Tuan Putri." Tidak puas dengan mencubit pipi Balinda, Adit pun menepuk pelan kepala Balinda lalu mengambil permen gula tersebut. Ketika mendengar suara yang sangat ia kenal, refleks Adit melirik ke arah panggung dan melihat Zen yang sedang bernyanyi. Bukan pemandangan yang baru bagi Adit melihat Zen dengan gitar akustik di kafé Ariska--kakaknya dan menyanyikan beberapa lagu. Tangan gue gatel mau daftarin lo ke audisi nyanyi, Zen, tapi namanya elo keras hati yang ada entar malah malu-maluin gue lagi. "Adit, lo ngalangin jalan." Ariska menarik lengan Adit agar sedikit menepi dari pintu masuk. "Mending lo pinggiran, deh ngerusak pemandangan indah di atas panggung aja." Wanita itu bertolak pinggang, sedangkan Balinda langsung berlari kecil mengahampiri Ariska lalu memeluk paha mamanya. Adit memperbaiki rambutnya lalu menatap ke arah Ariska--sosok yang ia kagumi, alih-alih berharap dapat menemukan sosok wanita tangguh seperti Ariska di masa depan. "Kak, kalau terpesona sama gue enggak perlu modus pake narikin lengan gue, deh." Ariska mengernyit memandang Adit yang sedang menaik-turunkan alisnya lalu segera menoyor kepala pemuda itu. "Ni bocah, geer bukan main." Menarik kursi kosong terdekat, Ariska duduk dan memangku Balinda kemudian meminta salah satu karyawannya untuk memberikan dua gelas kopi buat mereka. Adit yang mengikuti duduk di hadapan Ariska langsung mengelak dengan berkata, "Gue bukan bocah, Kak. Badan gue lebih tinggi dari Kakak dan gue ganteng tinggal dipermak dikit gue bakal keliatan dewasa dan Kakak bakal klepek-klepek jatuh cinta sama gue, ya, 'kan?" "Cih, mimpi aja lo, Dit. Sudah, ah gue kerja dulu lo di sini aja temenin Zen." Ariska menggandeng Balinda dan melupakan minuman yang ia pesan pada karyawannya. Adit mengembuskan napas hanya bisa memandang punggung Ariska. Sosok yang diam-diam ia kagumi karena sebagai seorang perempuan muda, Ariska tergolong tangguh sebab sanggup menjalani peran sebagai tulang punggung keluarga, single parent, bahkan menghadapi masalah ketika dalam masa kehamilan Balinda. "Kak Ariska memang benar-benar berlapang d**a, tapi enggak mau berlapang d**a buat nganggep gue cowok dewasa." Adit memalingkan wajahnya kemudian memberikan tepuk tangan setelah Zen selesai menyanyikan lagu pertamanya. Namun, tiba-tiba tepuk tangannya terhenti ketika sudut matanya melihat gadis berpenampilan aneh di meja sudut kafé. "Kayak gue kenal," bisik Adit. Gadis itu beberapa kali memperbaiki sunglasses-nya hingga sesekali Adit melihat sepintas seluruh wajahnya. Refleks sebuah senyum tersungging di kedua sudut bibir Adit. Ini anak memang di mana-mana penampilannya absurd, pikir Adit kemudian bergegas mengambil dua gelas minuman yang sebelumnya adalah milik Ariska dan dirinya kemudian segera menghampiri gadis berpenampilan absurd tersebut. "Hai, dunia ini sempit, ya? Mau minum? Gue punya dua gelas kopi." Adit meletakkan segelas kopi yang tidak disentuh Ariska di meja kemudian duduk di kursi yang masih kosong. "Kaget, ya, Ran? Santai aja, gue memang selalu penuh kejutan." Sambil meminum segelas kopi miliknya, Adit terus menatap Ran--gadis itu tampak kikuk dan Adit sangat suka melihatnya. "K-kak Adit, se-sedang apa?" Ran menggelengkan kepala. "Maksudku, hai." Mengangkat tangan kanannya, gadis itu tersenyum canggung. "Lo emang dari sananya lucu, deh. Enggak kepanasan apa badan lo dibungkus begitu?" Bergerak cepat, Adit mengambil tisu kemudian mengelap keringat jagung di kening Ran bahkan menyempatkan diri untuk melepas sunglasses gadis itu. "Lo pake sunglasses sudah kayak lagi nge-stalk orang aja atau lo lagi nge-stalking Zen, ya?!" Sontak mata Ran melebar terkejut dengan tuduhan yang diberikan Adit hingga membuatnya tergagap tidak sanggup bicara dan hanya bisa menggelengkan kepala. Adit tidak peduli--ia malah tertawa geli melihat reaksi Ran kemudian menarik tangan Ran ketika lagu kedua Zen berakhir. "Gue bakal bantu lo buat kenalan sama dia. Don't worry sweety." Adit menggenggam erat tangan Ran. "Bu-bukan begitu. Kak Adit salah paham, aku ke sini ...." "Udah tenang aja, entar kalau Zen bikin malu lo lagi, bakalan gue jampi-jampi itu anak atau gue oprasi matanya, masa iya dia nolak cewek manis kayak elo, Ran," ucap Adit, sambil terus menyeret Ran dan tersenyum ke arahnya. Ran berhenti mendadak, wajahnya memerah bahkan ia bisa merasakan hawa panas di telinganya. "Kakak bilang aku manis ...." Adit mengangguk mantap lalu berucap tanpa ragu, "Yes, of course!" "A-apa ini artinya ...." Prang! Tiba-tiba suara benda yang terjatuh mengalihkan perhatian seluruh pengunjung kafé, begitu pula dengan Ran, Adit, dan Zen yang masih berada di panggung. Ran memalingkan wajah melihat Zen tengah berlari menghampiri Balinda, disusul oleh Adit dan Ariska. Namun, Ran hanya diam di tempat, tubuhnya begitu kaku seakan lem terkuat di dunia sedang tertempel di alas sepatunya. Jangan lagi. Aku harus pergi sekarang sebelum semuanya terlambat. *** Zen tidak peduli dengan keributan para pengunjung di sekitarnya akibat kejadian yang dialami Balinda. Hatinya sangat khawatir saat ini. Namun, ia tidak tahu harus berbuat apa-apa selain segera mencari ponsel kemudian menghubungi ambulance. Peristiwa ini terjadi lagi dan kembali terjadi di waktu yang mendadak. Zen berlari kecil menghampiri Ariska yang sudah berada di sisi Balinda. Namun, sudut matanya menangkap Adit sedang menahan lengan seseorang di pintu keluar kafé, suatu peristiwa yang mengalihkan perhatiannya sesaat. "Balinda," bisik Zen, sambil memberikan beberapa minyak kayu putih untuk Balinda. "Bertahanlah, ambulance akan segera datang." Tidak ada respon dari Balinda yang sudah tidak sadarkan diri. Hal tersebut membuat Zen semakin cemas, begitu pula dengan Ariska. "Denyut nadi Balbal, Zen," bisik Ariska dengan wajah pucat pasi. "Tidak, please." "Beri aku ruang dan bantu aku untuk melonggarkan pakaiannya." Zen menengadah melihat siapa yang memberikan perintah sedemikian rupa. Apa yang lo mau, pikir Zen, sambil menatap tajam kesatu arah. Namun, perempuan itu tidak peduli dan segera mengambil tindakan, mengabaikan kenyataan bahwa tangannya saat ini sedang bergetar hebat. Jangan pikir kalau gue bakal luluh dengan trik murahan lo. Zen segera bangkit dari tempatnya menjauh agar gadis itu tidak menyadari keberadaannya. Ia sangat khawatir dengan kondisi Balinda, tetapi membiarkan gadis itu bertindak bukanlah hal yang salah. Zen kembali mencoba untuk menghubungi ambulance. Namun, seketika wajahnya menegang hingga membuat tangan kiri Zen mengepal. Selamatkan Balinda, batin Zen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD