Suasana kantin tidak kalah ramai dengan suara speaker di lapangan bahkan murid-murid dari tim basket sekolah lain banyak yang memilih untuk sekadar bersantai sementara waktu di kantin. Di sisi lain, tampak Ran yang beberapa kali mengibaskan rambut mengikuti gaya Alice yang baru saja ia pelajari serta menggulung lengan seragam seperti Dea.
"Pulang nanti, jangan lupa buat kecilin baju lo biar sama kayak kita dan masalah make up biar nanti kita yang urus." Alice mengait tangan Ran dengan lengannya melintasi sekolompok gadis berpenampilan biasa.
Kelompok itu menatap Ran dengan pandangan simpati. Kasihan karena gadis itu sudah bepernampilan seperti badut.
"Lea coba lo kasih pencerahan ke dia. Gue kasihan lihat Ran digituin sama mereka. Ran anaknya baik jadi ...."
"Dia yang memutuskan bergaul dan jadi populer jadi gue cuma bisa memerhatikan, lagi pula kami enggak sedekat itu."
Telinga Ran mendengar sedikit perbincangan Lea dan beberapa teman KIR-nya. Namun, ia memilih untuk mengabaikannnya karena benar kata Dea jika dia terlalu lama bergaul dengan anak-anak seperti mereka, maka kesempatan untuk menjadi populer dan mendapatkan cinta pun hanya nol persen.
"Udah enggak usah dipikirin." Dea mencubit sebelah pipi Ran lalu menarik tangan gadis itu agar segera menjauh. "Orang populer punya haters itu biasa. Makin banyak haters tandanya makin populer. Coba bandingin level lo sama mereka, sudah beda kan sekarang?"
Ran mengangguk. "Karena setiap keinginan harus ada pengorbanan."
Dan ada pembodohan, pikir Dea menambahkan ucapan Ran.
Alice mengibaskan rambut pelan dan duduk di salah satu meja kantin diikuti oleh Dea dan Ran. Ran yang baru saja melihat tingkah laku Alice pun memutuskan untuk ikut mengibaskan rambut, meskipun terlihat kaku dan sudah terlihat sama persis seperti tokoh Patricia Fernandez di serial Betty La Fea. Tanpa disengaja kibasan rambut tersebut malah mengenai cowok yang duduk di dekat Ran.
"Apaan, sih, rambut lo?!" Suara berat dan besar terdengar hingga membuat bahu Ran bergidik, begitu pula dengan Alice dan Dea.
Ran menoleh ke arah suara tersebut dan buru-buru berkata, "Ma-maaf, aku ...."
"Pfftt, cantiknya." Cowok yang tadinya terdengar hendak marah tiba-tiba memandang Ran dengan tatapan jenaka--dia menahan tawa lalu berkata, "Sorry, gue ...."
Peraturan nomor sekian bersikap ramah dan tunjukan ketertarikan. Ran tersenyum selagi berkata sambil mengedip-mengedipkan kedua mata, "Aku tertarik sama kamu."
Cowok itu malah melongo mendengar perkataan Ran yang begitu tiba-tiba, sedangkan Alice dan Dea memberi isyarat agar cowok tersebut tidak akan membuat hatinya terluka. Seperti mengerti dengan kode yang diberikan dua gadis di belakang Ran, dia pun mengangguk. "Gue juga suka lo, tapi lo ... maksud gue, gue ...."
"Dia punya gue." Tiba-tiba Adit muncul dan merangkul bahu Ran hingga membuat punggung Ran menegang. "Jangan macem-macem sama dia."
Seketika semua orang terdiam, memandang sesaat ke arah Ran dan Adit lalu kembali berpaling karena tahu apa yang sebenarnya Adit lakukan. Alih-alih mereka berpikir bahwa semua orang yang berhubungan dengan si gadis malang--Ran hanyalah sekadar untuk mempermalukannya.
Di sudut kantin Lea juga sedang memerhatikan Ran dengan tangan yang mengepal bukan karena kesal pada Alice dan Dea, tetapi lebih menjurus pada Ran. Lea teman sekelas dan teman satu ekstra kulikuler Ran yang sebelumnya pernah hampir menjadi teman dekat. Namun, ia memutuskan untuk menjauh karena tahu bahwa Ran memiliki misi lain di sekolah yaitu menjadi sosok populer dan akhirnya keinginan tersebut malah membuatnya menjadi orang bodoh.
"Bodoh, tapi itu keinginanmu untuk menjadi orang lain." Lea membuang muka memutuskan untuk tidak peduli dengan tontonan yang menurutnya sudah masuk ke dalam kasus pem-bully-an secara psikologi hanya saja sang korban terlalu bodoh dan tidak sadar.
Adit masih merangkul Ran kemudian mengambil ponsel dari sakunya, menyamakan tinggi badan dengan membungkuk dan mengambil foto selfie bersama. "Senyum, ya. Jarang-jarang gue ngajak cewek selfie duluan dan ini karena lo spesial maksud gue ya ... karena lo lucu bikin gemes."
Ran tidak menjawab, hatinya menjadi tidak keruan dan akhirnya tersenyum kaku sebelum Adit berhasil mengambil beberapa gambar mereka.
"Sudah, bakal gue simpan, ya, Cantik. Ah ... lo pasti sudah tahu nama gue, tapi nama lo ...."
"Eng ... anu ... Ran." Sungguh kali ini Ran tampak kikuk.
"Gue Alice dan ini Dea." Alice ikut bersuara dan membuat Adit menoleh.
"Hai." Mengangkat tangan Adit melemparkan senyum ke arah dua gadis itu. "Gue cabut dulu, hari ini lo ...."
"Adit!!! Lo sini, gak! Mau gue timpuk pake mangkok? Kita lagi rapat lo malah kabur!" Suara cempreng seorang cowok membuat Adit dan seisi kantin menoleh.
"Apaan, sih, Dim?! Gue lagi kenalan lo ganggu aja." Cemberut, Adit menatap ke arah Dimas sang bendahara OSIS kemudian segera pergi menghampiri pemuda tersebut dan meninggalkan Ran dengan sebuah tepukan di pundak.
Di waktu bersamaan Dea dan Alice hanya menatap Ran dengan tatapan kesal. Namun, segera kembali menjadi tatapan bersahabat saat Ran menoleh ke arah mereka dengan wajah yang luar biasa merah.
"Enggak usah nongkrong di sinilah, enggak guna! Kita ke rencana selanjutnya. Pokoknya hari ini lo harus serang Zen habis-habisan karena waktu adalah emas." Alice berdiri dan langsung menarik lengan Ran.
"Slow down, Alice," bisik Dea yang sadar bahwa sahabatnya sedang kesal luar biasa.
***
Zen sedang duduk di tepi pagar rooftop sambil membaca buku King Lear salah tulisan dari sastrawan besar Inggris William Shakespeare. Orang lain akan berpikir bahwa ia sedang serius membaca pada saat itu. Namun, kenyataannya saat ini pikiran Zen sedang berkecamuk terutama setelah ia mendapat pesan dari orang yang tidak ingin ia hadirkan dalam kehidupannya lagi.
"Kenapa harus hadir setelah semua yang terjadi." Zen menutup buku memutuskan untuk segera pergi dan mengalihkan perhatian.
Ponsel Zen bergetar, antara enggan untuk melihat siapa yang menelepon ia memutuskan untuk mengabaikannya kemudian segera pergi meninggalkan rooftop. Biar bagaimana pun kehadirannya masih dibutuhkan dalam kegiatan festival sekolah dan larut dalam permasalahan pribadi bukanlah diri Zen yang sebenarnya.
Di lorong, seperti biasa Zen kembali mendengar teriakan tertahan dan bisikan penuh kekaguman, sesuatu yang akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap cowok. Namun, tidak bagi Zen karena menurutnya semua itu hanya sebatas kepalsuan belaka.
"Kak Zen!" Suara lantang seorang gadis memanggilnya dari belakang.
Zen masih ingat suara itu dan merasa tidak perlu untuk menoleh. Namun, langkahnya tertahan ketika gadis itu menyusul dan berdiri tepat di hadapannya.
Wajah Zen mengeras, ingin memaki agar gadis itu pergi dari hadapannya.
"Tunggu ...."
Zen tidak melihat ke arah gadis itu dan malah menggeser tubuh menjauhi gadis tersebut kemudian melanjutkan perjalanannya.
"Lo berhenti ganggu gue." Zen berhenti mendadak membuat gadis itu hampir menabrak punggungnya.
"Perkenalkan, namaku Ran. Aku suka Kakak dan aku mau jadi pacar Kak Zen."
Tangan Zen mengepal erat, ingin sekali melemparkan tinju ke mana saja untuk melampiaskan emosinya. Namun, ia berusaha agar tetap tenang tidak memerlihatkan emosinya di depan publik karena bagaimana pun dirinya adalah seseorang yang memiliki jabatan di sekolah ini, sehingga Zen berbalik menghadap Ran kemudian menatap tajam.
"Gue enggak butuh perempuan kayak lo jadi menjauh dari gue." Zen berbicara pelan, berat dan hanya Ran yang bisa mendengar. Sebuah penolakan yang to the point. Namun, malah ditanggapi Ran sebagai kalimat jual mahal dari Zen.
"Aku akan tetap menyukai Kakak."
Zen memasukkan sebelah tangan ke saku celana kemudian memandang sekilas ke arah Ran tanpa ekspresi. Wasting time, pikirnya lalu segera memutar badan dan melanjutkan langkahnya tidak peduli bahwa di balik punggung Ran turut mengepalkan tangan bertekat kuat untuk mendapatkan Zen serta impiannya menjadi populer.
Haters adalah penggemar terselubung dan Kak Zen akan menjadi penggemar terselubungku. Bukan! Kak Zen bakal jadi pacarku.
***
Setelah mengambil tas ransel di kelas, buru-buru Zen pergi menuju ruang piket meminta izin untuk pergi lebih dulu. Pikirannya sungguh tidak tenang terutama setelah orang itu kembali menghubunginya, meskipun Zen sendiri tidak tahu darimana orang tersebut mendapatkan kontaknya. Ia hanya mengkhawatirkan keselamatan keluarganya.
Semua ini karena orang itu dan perempuan penghancur yang merusak kebahagiaan keluarga gue.
Di dekat parkiran motor Zen mengambil ponsel mencari nomor kontak Adit, satu-satunya orang yang ia percayai selain keluarganya. Setidaknya memberitahu Adit tentang kepergianya akan membuat anak itu akan menggantikan tugasnya sebagai ketua OSIS jika diperlukan.
"Jangan cari gue sampai festival selesai besok."
Klik.
Zen segera mematikan ponsel tanpa mendengar persetujuan Adit lalu dengan gerakan tanpa bersalah Zen membawa barang-barang pemberian dari para penggemarnya ke pos satpam yang sebelumnya berjajar rapi di atas motor ninja putihnya. Zen muak dengan sikap gadis-gadis itu, baginya mereka adalah makhluk pengganggu.
"Wah, dapat bingkisan banyak lagi, ya hari ini?" tanya Pak Satpam dengan mata berbinar karena selalu kebagian hadiah dari penggemar Zen setiap hari yang akan membuat anak-anaknya merasa senang.
Zen hanya mengangguk lalu meletakkan bingkisan-bingkisan tersebut di atas meja satpam. Lagi-lagi ia mendengar nada kekecewaan dari sudut parkiran dan dia tidak peduli kemudian pergi meninggalkan sekolah sebelum mengucapkan salam kepada satpam sekolah yang cukup dikenalnya.