Untuk kesekian kalinya Zen harus menghadapi hal yang sama, di tempat yang sama, setiap kali ia selesai berurusan di ruang OSIS. Kali ini Zen kembali memasang earphone, tidak berminat untuk mendengar ucapan dari salah satu gadis di sisinya--salah satu dari sekian banyak gadis yang mengejar, mendekati, dan mendapatkan perhatian cowok tersebut.
"Ini buat lo, Zen. Eng ... gu-gue sudah lama ...." Gadis bertubuh kecil dengan sebuah jepit rambut biru di kepalanya memberanikan diri untuk melirik ke arah Zen. Memastikan bagaimana ekspresi pemuda yang sudah lama ia kagumi.
"Berikan pada orang lain." Zen memalingkan wajah, sedikit pun tidak melihat ke arah gadis itu dan kembali melanjutkan langkah dengan buku sastra di tangannya.
"Tu-tunggu! Sudah lama gue jatuh cinta sama lo!" Gadis itu sedikit mengeraskan suaranya. Namun, sedikit pun tidak membuat Zen menghentikan langkah atau sekadar mengatakan bagaimana tanggapan mengenai pernyataan cinta tersebut.
Sejak awal Zen memang tidak peduli.
Gadis itu mengejar, dia memiliki jiwa pantang menyerah dan kembali berdiri di hadapan Zen dengan memberikan bungkusan makan siang ke arahnya. "Gue mohon, gue ngebuat ini dengan tangan gue sendiri."
Zen tidak berekspresi, menatap gadis di hadapan yang tidak ia ketahui namanya. Namun, dari lambang kelas yang dikenakan gadis itu, Zen bisa tahu bahwa mereka seangkatan. "Berikan pada orang lain atau buang saja makanan itu." Sekali lagi Zen menolak lalu tanpa peduli pergi meninggalkan gadis itu.
Anehnya, sayup-sayup Zen bisa mendengar gadis tersebut berteriak histeris karena sikap penolakan yang ia berikan.
Tampak sekali kebohongan dan betapa murah harga dirinya. Itulah yang dipikirkan Zen setiap kali melihat sepintas para gadis yang mengejarnya. Diam-diam cowok itu mengumpat, mengatakan bahwa perempuan itu sungguh membuat dia muak dan jijik.
***
Di lorong kelas yang sangat ramai oleh festival tahunan sekolah, Zen menyempatkan diri untuk melihat-lihat sejenak sebelum ia pergi menuju rooftop demi mendapatkan sebuah ketenangan dan tenggelam dalam buku serta lagu-lagu yang ia dengar. Namun, sepertinya hal tersebut akan terhambat setelah sudut mata Zen menangkap sosok sahabat dengan seragam OSIS serta dua teman dekat berseragam tim basket berlari kecil ke arahnya. Mereka Adit, Rhoma, dan Boim.
Zen mengernyit ketika tiba-tiba saja Adit merangkul lengan Zen. "Lo bilang apa waktu rapat dadakan di ruang OSIS tadi, Zen?"
Zen melirik sejenak ke arah kepala Adit yang bersandar nyaman di bahunya. Hal yang berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Dengan sedikit kasar Zen menjauhkan kepala Adit. "Gue bilang lo kabur karena ...."
"Zen!!! Elo bener-bener enggak sayang gue, ya! Adit sebel, deh!" Adit menghentakkan kaki kanan lalu melangkah bersembunyi di balik tubuh Boim--satu-satunya teman dekat Zen dan Adit yang bertubuh tinggi besar.
Zen tidak terpancing dengan tingkah laku Adit dan hanya menatap jijik sahabatnya. "Gue cuma ngomong jujur," katanya datar yang sungguh membuat Adit semakin cemberut. Namun, hal tersrbut malah berhasil membuat para gadis berteriak histeris karena menganggap Adit imut nan menggemaskan.
Refleks Boim dan Rhoma tertawa dan tanpa sadar Rhoma merangkul bahu Zen, tidak peduli bahwa tubuhnya masih setengah lengket karena habis bertanding. "Zen, elo memang cowok paling the best yang pernah gue lihat, tapi sayangnya ...." Rhoma menggantungkan kalimatnya ketika menyadari bahwa ada orang lain yang mengamati mereka.
Mata Rhoma seketika membulat menatap sosok yang berdiri di belakang mereka, begitu pula dengan Boim. Namun, tidak dengan Zen dan Adit--mereka memandang dengan ekspresi berbeda--Adit menatap sambil menahan tawa, sedangkan Zen hanya menatap sekilas dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Lo adek kelas yang sering kena hukum sama dua teman lo itu, 'kan?" celetuk Adit dan tanpa ragu langsung berdiri di samping gadis berdandan berlebihan yang tidak lain adalah Almira Rania Effendi--Ran.
Gadis itu menatap ke arah Zen dengan ekspresi penuh ketegangan bahkan tidak menghiraukan keberadaan Adit yang baru saja menegurnya. Dilihat dari sudut mana pun, Ran terlihat seperti tidak menganggap keberadaan Adit, Rhoma, dan Boim.
Ran meneguk saliva, melegakan rasa haus yang tiba-tiba menyerang dirinya. Bergerak cepat, Ran maju selangkah agar lebih dekat dengan Zen kemudian menyorongkan kedua tangan yang memegang sebuah surat berbungkus amplop warna pink.
"Aku suka Kakak. Jadilah pacarku!" Ran menundukkan sedikit wajahnya, sadar bahwa suaranya sudah benar-benar nyaring hingga membuat banyak murid dari sekolahnya atau sekolah lain di sekitar mereka menghentikan aktivitas hanya sekadar terkejut mendengar pernyataan Ran.
Beberapa anak murid ada yang tertawa tertahan, mengolok atau bahkan syok dengan penampilan Ran yang tidak biasa dalam artian aneh. Mereka tertarik bukan karena pernyataan Ran barusan. Namun, karena penampilan gadis itu--make up tebal dengan rambut sanggul sasak tinggi.
"Gue dikacangin," bisik Adit lalu tersenyum dengan pandangan jenaka.
"Aku suka Kak Zen. Aku mau kita pacaran. Terima suratku!!!" Lagi-lagi Ran tidak bisa mengontrol rasa gugupnya hingga ia kembali berteriak. Namun, Zen hanya diam--melepas kedua earphone dan menatap Ran beberapa detik.
"Gue enggak tertarik."
Jawaban Zen otomatis membuat wajah yang menyaksikan menjadi kecewa lalu memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya. Namun, tidak dengan Adit yang tiba-tiba berlari ke kelas XI Bahasa-1 yang berada tidak jauh dengan mereka.
"Woy!!! Abang Zen ditembak adek kelas. Ayo kita dukung dia, biar Bang Zen kaga homo lagi!!" teriak Adit di antara suara speaker milik pembaca skor akhir pertandingan basket antara SMK Cordova dan SMA Nuri.
Ran semakin gemetar dan hal itu terlihat jelas pada kertas yang masih berada di tangannya. "A-aku ja-tuh cinta ...."
"Memuakan." Zen pergi meninggalkan Ran dan hal tersebut malah membuat Ran diam membeku, tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan perlakuan seperti itu.
Boim dan Rhoma yang melihat pemandangan tersebut mulai kebingungan antara harus memihak ke Zen atau ke arah gadis berpenampilan aneh itu. Namun, pada akhirnya mereka malah tidak melakukan apa-apa melainkan kabur saat salah satu dari anggota tim basket mereka memanggil.
"Gue cabut, Bro! Dek, jangan menyerah, ya." Boim melambaikan tangan diikuti oleh Rhoma, sedangkan Ran tidak mendengar apa yang dikatakan mereka karena terlalu sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri.
Di sisi lain Adit malah menahan langkah Zen dengan berdiri di hadapan cowok itu. "Jangan buat malu dia di tempat umum, Zen," bisik Adit.
Zen menatap balik. "Kalau lo suka kenapa bukan lo?"
"Zen, dia satu-satunya cewek yang berani kayak gitu. Lo ... bener-bener, ya!" Masih berbisik, Adit menekankan nada di kalimat akhir dan menunjukkan bahwa ia sungguh kesal dengan rasa kebencian Zen yang menurutnya tidak mendasar.
"Gue enggak peduli." Tanpa peduli Zen melanjutkan langkahnya, sedangkan Adit memilih untuk menghampiri Ran.
***
Ran hanya menunduk meletakkan surat berwarna pink di atas d**a, tidak memandang ke arah perginya Zen. Bahu Ran terlihat bergetar dan orang-orang pasti akan berpikir bahwa ia sedang menangis. Namun, senyataannya tidak karena Ran justru sedang berapi-api setelah menerima penolakan dari Zen.
"Kejar, Dek!"
"Kejar, jangan nyerah!"
"Abang Zen mah cuma jual mahal!"
Sayup-sayup Ran bisa mendengar suara dukungan di sekitarnya dan tentu saja hal tersebut membuat ia semakin bersemangat. Ran mengangkat kepala, ingin mengejar Zen. Namun, tindakannya tertahan ketika sebuah sentuhan terasa di bahu kanannya.
Adit berdiri di samping Ran, tersenyum bak pangeran yang sedang menghibur sang putri karena bersedih. "Nyali lo besar. Gue suka lo. Siniin suratnya dan ...." Adit menggantung kalimatnya, terlihat sedang menahan tawa. "Lo lucu, menggemaskan." Mengedipkan mata Adit pun pergi meninggalkan Ran dengan surat pink di tangannya.
Ran hanya melongo. Namun, segera tersadar dengan pipi yang merona. "Aku cantik! Aku cantik!" Ran tertawa kecil dan semua cowok yang mendengar langsung menyorakinya.
"Ya, gadis cantik, semangat!!!" Teman-teman sekelas Zen yang sebelumnya dipanggil Adit berteriak histeris ke arah Ran, lebih tepatnya mengolok. Namun, Ran menanggapinya sebagai pujian karena begitu banyak pikiran positif di kepalanya.
"Demi popularitas dan sekarang sudah selangkah lebih maju," bisik Ran, sambil mengepalkan tangan kanan tanpa menyadari bahwa suratnya telah berpindah tangan.
Buru-buru Ran menebarkan pandangan mencari dua temannya--Alice dan Dea. Namun, wujud mereka tidak terlihat hingga telinganya mendengar suara riuh godaan dari para cowok di belakang Ran.
"Alice, kata Rudi salam, noh! Kasian dia sudah diet ketat dan baca lusinan buku biar ter-upgrade dan buat lo ngelirik dia!"
"Dea! Kapan lo putus dari Yudi? Gue siap jadi pengganti Yudi."
Melihat kepada siapa pembicaraan tersebut Ran segera berlari kecil menghampiri Alice dan Dea lalu memeluknya. "El, D! Kalian denger, enggak? Kak Adit ... dia bilang 'aku lucu terus menggemaskan' pokoknya kita bakalan berhasil!" Ran terdengar bersemangat, sedangkan dua temannya hanya tersenyum tipis. "Aku bakalan bisa pacaran sama Kak Zen, 'kan? Terus aku bakalan populer kayak kalian."
Ngaca dulu, deh, pikir Alice, sambil memilin ujung rambutnya. "Yelah, elo sudah cantik berkat make up gue dan tatanan rambut ala J-Pop gitu."
Dea tersenyum lalu melirik ke arah sekelompok cowok yang menatap mereka secara diam-diam. "Kalian, teman gue ini sudah kelihatan lebih cantik, 'kan?" tanya Dea, sambil tersenyum.
"Tentu saja, dia paling cantik!" Kompak sekelompok cowok berteriak, padahal fokus mereka adalah Dea.
Mendengar semua itu wajah Ran kembali memerah bahkan mengalahkan warna perona pipi yang sudah terlihat seperti digampar ratusan massa.
"See?" tanya Dea.
Ran mengangguk.
"Gue tahu lo habis ditinggalin sama Zen, tapi bukan berarti elo ditolak. Dia cuma kaget." Dea tertawa kecil dan Alice mengikutinya.
"Aku baik-baik saja karena Kak Adit sudah bilang aku menggemaskan. Apa Kak Adit suka sama aku?"
Alice memutar mata lalu menarik tangan Ran menjauh dari tempat mereka dan menuju tempat yang lebih sepi.
Gue enggak mau lo sama Adit. Itulah yang ada di pikiran Alice, sedangkan Dea berjalan di belakang mereka sambil melihat foto make up tebal Ran.
***
Zen mengembuskan napas memandang ke arah dimana ia bertemu gadis aneh itu dan cenderung kampungan dari rooftop. Seperti dugaannya, setelah melihat semua ini gadis tersebut memang bodoh dan sayangnya ia malah mendapat teman seperti itu.
Aneh dan bodoh, tapi juga murahan sama seperti perempuan pada umumnya.
"Zen! Lo lihat, 'kan?" Adit berdiri di depan pintu rooftop yang terbuka. Terburu-buru, dia menghampiri Zen lalu mengambil tangan kanan Zen dan menyerahkan surat milik Ran. "Kasih dia kesempatan, Zen. Lo tahu, dia itu polos, manis, dan gue lihatnya menggemaskan. Maksud gue coba, deh ubah kebencian lo yang enggak mendasar itu."
Zen hanya diam, menatap Adit dan mengembuskan napas untuk kesekian kalinya. "Kalau lo suka, elo datangin dia karena semua perempuan itu sampah."
"Zen! Sadar lo barusan ngomong apa!! Gue enggak mau tahu, gue doain suatu saat lo bakal temakan dengan omongan lo sendiri." Adit pergi meninggalkan Zen dengan suasana hati yang cukup kesal akibat kebencian Zen terhadap sosok kesayangannya--perempuan.
Hal itu enggak akan pernah terjadi karena gue tahu seberapa busuk seorang perempuan.