Bab 8. Memulai menata masa depan
“Dasar bodoh, kenapa kamu juga ikut mengundurkan diri?” ucap Larasati setelah keduanya berkemas dan meninggalkan café tempat mereka bekerja selama ini.
“Aku kan setia kawan,” goda Sekar mencoba mencairkan ketegangan yang dirasakan sahabatnya.
“Dasar bodoh,” ucap Larasati dengan sedikit senyum di wajahnya yang pucat.
“Kita jadi pengangguran dan jomblo,” sahut Sekar sedikit kelakar tak mau sahabatnya larut dalam kesedihan. Mereka berjalan dengan berangkulan saling menguatkan. Larasati tahu Sekar tidak seharusnya keluar dari pekerjaan begitu saja. Dia punya keluarga di kampung yang bergantung pada gajinya. Untung saja tadi sebelum berpamitan Mona masih berbaik hati dengan membayarkan setengah gajinya.
“Aku pingin buka café sendiri, tapi modal dari mana ya?” gumam Larasati kepada dirinya sendiri.
“Apa aku jual saja rumah itu,” gumamnya lagi. Kali ini Sekar menatapnya dengan pandangan penuh selidik.
“Rumah yang mana?” tanya Sekar tak mengerti. Setahu dia Larasati hanya punya rumah yang dia tempati kini.
“Ya rumahku lah. Masak rumah kamu, mana kamu bolehin?” goda Larasati mencoba melupakan sejenak masalah rumah tangganya, Dia mau fokus membangun masa depannya. Selama ini dia hanya hidup demi membahagiakan suami dan ibu mertuanya. Dia tidak pernah berpikir untuk masa depannya sendiri. Dia pikir suami dan mertuanyalah masa depannya. Larasati tak pernah menyangka kalau suaminya sanggup berselingkuh darinya setelah apa yang sudah dia lakukan deminya dan juga ibunya.
“Maksudku apa ibu mertuamu ijinkan? Dia kan ngerasanya itu rumah hasil kerja keras anaknya yang b******k itu,” ucap Sekar tepat sasaran. Begitulah ibu mertuanya itu. Wanita paruh baya itu selalu mengecilkan perannya selama ini. Padahal sebelum putranya menjadi dokter spesialis dia sudah menemaninya. Bahkan sebelum lelaki itu memiliki uang untuk menopang rumah tangga mereka. Larasati yang membiayai kebutuhan rumah tangga.
Bahkan dia harus menjual rumah peninggalan orang tuanya demi membahagiakan ibu mertuanya yang ingin rumah lebih besar lagi. Jadi bisa dibilang rumah itu miliknya karena tanah tempat rumah itu dibangun memang menggunakan uangnya semua. Ibu bahkan suaminya tidak menyumbang satu rupiahpun. Makanya waktu itu suaminya mendaftarkan rumah itu atas namanya. Bukan nama suaminya atau nama ibunya.
“Kenapa nggak diijinkan? Rumah itu tertulis jelas atas namaku,” ucap Larasati tenang.
“Kau serius mau menjual rumah itu? Lalu kau akan tinggal di mana?” tanya Sekar prihatin dengan kondisi temannya itu.
“Kalau sudah laku, aku ingin membeli ruko. Aku mau buka café sendiri. Kecil-kecilan dulu,” ucap Larasati dengan pandangan menerawang ke depan. Seakan di depannya tergambar bayangan rumah beserta toko dua tingkat. Bagian bawah dia gunakan untuk membuka café miliknya.
“Wah, apa aku boleh melamar kerja di sana?” tanya Sekar dengan wajah cerahnya.
“Ini masih rencana, aku takut keluargamu tidak bisa menunggu sampai semuanya berhasil,” ucap Larasati khawatir kalau rencananya tidak berhasil. Sedang keluarga Sekar tiap bulan pasti butuh suntikan dana dari Sekar.
“Biar mereka mulai tidak bergantung padaku. Kau tahu adik-adikku bahkan sudah menikah semua. Harusnya mereka bukan tanggung jawabku lagi kan? Ayah ibu juga sudah tidak ada lagi.” Sekar akhirnya mengatakan kebenaran yang selama ini dia tutupi dari Larasati.
“Kau tidak pernah cerita kalau orang tuamu sudah tidak ada. Kapan itu? Kenapa aku tidak tahu?” tanya Larasati merasa buruk sebagai teman.
“Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Kamu saat itu juga sedang dalam masa berkabung ayah mertua kamu,” ucap Sekar.
“Ah, maafkan aku,” ucap Larasati memeluk Sekar penuh penyesalan, “tetap saja kau harusnya mengatakannya padaku.”
“Sudahlah, semua sudah berlalu,” ucap Sekar lagi.
“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Sekar lagi setelah mereka terdiam cukup lama.
“Bercerai tentu saja. Dia sudah tidak sabar menceraikan aku. Pengajuan perceraian sudah dia buat,” ucap Larasati sendu.
“Aku sungguh tidak menyangka, lelaki yang aku doakan tiap malam ternyata diam-diam berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku bahkan tidak melihat gelagatnya yang aneh. Dia yang terlalu pandai berpura-pura atau aku yang terlalu tidak peka?” ucap Larasati lagi. Sekar hanya bisa mendengarkan keluhan sahabatnya tanpa bisa berkomentar apapun.
“Aku juga tidak pernah menyangka kalau dokter Bayu sanggup mengkhianatimu. Aku tidak pernah melihat seorang lelaki yang begitu mencintai seorang wanita seperti dia memujamu. Tapi, hati orang siapa yang tahu?” ucap Sekar masih tidak percaya fakta kalau suami sahabatnya itu bermain hati.
“Yah, hati siapa yang tahu?” gumam Larasati yang juga tidak menyadari perubahan suaminya selama ini. Entah dia merasa sangat bodoh kini. Bisa-bisanya dia diselingkuhi sampai beberapa bulan tanpa dia menyadarinya.
“Apa dia tahu kalau kau sudah tahu perselingkuhannya?” tanya Sekar lagi.
“Tadi pagi sih belum. Tapi, sepertinya siang ini dia akan mengetahuinya. Oh ya, malam ini apa aku boleh menginap di tempatmu? Aku mau mengemasi barangku dan pergi dari rumah itu,” ucap Larasati canggung.
“Tentu saja, rumahku terbuka lebar untukmu. Tapi ya gitu kondisi rumahku,” ucap Sekar malu akan kondisi rumahnya yang sederhana.
“Kenapa? Aku pernah tinggal di rumah yang lebih sederhana dari rumahmu,” ucap Larasati tak mempermasalahkan kondisi rumah Sekar.
“Baiklah, supaya cepat kita naik gr*b saja ya,” ucap Larasati membuka aplikasi gr*b dan memesan mobil.
Tak lama ada mobil mendekat ke arahnya.
“Dengan ibu Larasati, saya Usman bu, yang di aplikasi gr*b,” ucap seorang lelaki paruh baya setelah keluar dari dalam mobil.
“Ya saya sendiri pak, tujuan ke kebayoran baru. Sesuai yang di aplikasi,” ucap Larasati.
“Baik bu, silakan masuk,” ucap bapak yang bernama Usman membuka pintu penumpang untuk Larasati dan juga Sekar. Setelah keduanya masuk, dia memutar ke arah pintu untuk ruang kemudi.
Selama perjalanan hanya keheningan yang tercipta, Larasati dan Sekar sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Begitupun dan sang supir yang tak berani mengganggu keterpakuan keduanya hingga tak berani bertanya apapun. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, sesekali berhenti saat lampu merah menyala. Hingga mereka tiba di rumah yang selama ini ditempati Larasati, suami dan ibu mertuanya.
“Terima kasih ya pak. Saya sudah bayar langsung di aplikasi,” ucap Larasati sembari melambaikan ponselnya.
“Iya, bu. Terima kasih. Jangan lupa tolong diberi bintang lima ya,” ucap sopir itu dengan senyum lebar.
“Tentu, pak. Terima kasih,” ucap Larasati lagi. Sopir itu sudah mau berlalu tetapi Sekar seakan ingat dengan sesuatu.
“Eh, pak. Tunggu dulu,” ucap Sekar menahan langkah sopir yang sudah mulai melangkahkan kakinya. Dengan bingung sopir itu berbalik menghadap kedua wanita itu.
“Iya, Bu?” tanya sopir itu dengan tatapan bertanya.
>>Bersambung>>
Makin penasaran nggak?
Kuy baca terus sampai tamat